Tidak Lagi Menghadiri Pengajian Gus-Gusan

Ilustrasi. - Tempo.co

Keluarga dan lingkungan terdekat saya adalah penganut Islam yang sangat menghormati ulama, terutama Gus-gusan.

Maklum, saya tinggal di Jawa Timur sehingga tradisi untuk menghormati ulama - kyai, gus, dan sebagainya - sangat kuat. Setiap ada pengajian yang mendatangkan ulama, pasti keluarga besar dan lingkungan terdekat saya hadir.

Dulu, saya masih ingat saat bocil sering diajak menghadiri salah satu ulama besar kondang waktu itu. Jamaahnya bisa ribuan, bahkan mungkin ratus ribuan. Tempat parkir sangat penuh dan seringkali jamaah berebut tempat sebelum pengajian dimulai.

Lantaran masih kecil, saya manut saja untuk menghadiri pengajian tersebut. Kegiatan ini saya lakukan sampai saya SMA. Saya juga masih rutin ikut ziarah ke makam wali dan masih ikut pengajian gus-gusan berskala besar.

Namun, semua berubah saat saya kuliah. Persinggungan saya dengan banyak orang membuat saya kritis mempertanyakan kesetaraan derajat manusia dalam Islam. Saya kok, merasa bahwa jika selama ini saya - dan keluarga besar saya - terlalu berlebihan dalam melakukan penghormatan kepada mereka.

Bagi saya sih mereka cukup diambil pelajarannya, didengarkan isi ceramahnya, dan dihormati sebatas manusia biasa. Namun, banyak tindakan yang menurut saya cukup berlebihan. Semisal, ayah saya yang mengoleksi gambar dan kalender para kyai dan gus di rumah untuk dipajang. Meski akan ada pertanyaan toh bukan artis yang membuat mudharat, tetapi bagi saya itu cukup berlebihan.

Dulu, sempat foto berbagai ulama menghiasi ruang tamu melebihi foto keluarga. Bayangkan, ada teman saya yang menanyakan itu foto siapa dan saya juga tidak tahu itu foto siapa. Dia bilang, apa ada manfaat dari pemajangan foto tersebut. Maksudnya, apa ada tindakan yang bisa mendatangkan kebaikan dari adanya foto-foto itu. Tentu, saya jawab tidak. Ada atau tidaknya foto mereka ternyata tidak berdampak pada kehidupan keluarga.

Makanya, saya berani protes mengenai foto-foto ulama tersebut yang menurut saya berlebihan untuk dipajang. Sedikit demi sedikit, foto mereka pun diturunkan dan disimpan oleh ayah saya untuk diganti dengan foto keluarga. Hanya menyisakan sebuah kalender tahunan besar yang bagi saya tak masalah.

Semakin hari, saya seakan semakin jauh dari aliran Islam yang berada di lingkungan terdekat saya. Puncaknya, sebelum lulus kuliah, saya memutuskan berpindah aliran ke seberang karena bagi saya lebih realistis dan masuk akal. Salah satunya adalah tidak adanya pengkultusan berlebihan dalam aliran yang saya yakini hingga saat ini.

Penghormatan kepada orang yang lebih berilmu dari kita cukup cium tangan saja saat bertemu. Tidak perlu memasang foto dan sejenisnya. Tidak perlu menyebut dengan sebutan “gus” karena yang bersangkutan adalah keturunan kyai. Jadi, prinsip egaliter lebih masuk akal bagi saya.

Dampaknya, kini saya tidak lagi mengikuti pengajian gus-gusan semacam itu. Pengajian yang saya datangi ya pengajian berskala kecil yang sesuai dengan aliran yang saya yakini. Meski bagi saya sama saja, tetapi ternyata ada juga akibat yang saya dapatkan. Semisal, pertanyaan mengapa saya tidak mau lagi ikut pengajian gus-gusan.

Kadang, saya dipertanyakan ikut aliran menyimpang. Padahal ya isi pengajian saya tidak jauh. Hanya saja saya lebih suka penyampaiannya yang lebih tenang dan sejuk. Tidak pakai musik aneka rupa yang membuat saya kurang nyaman.

Belum lagi, beberapa waktu lalu ada kejadian miris yakni ada gus-gusan yang menghina martabat perempuan. Saya makin mantap dengan apa yang saya yakini saat ini. Kultus berlebihan akhirnya berdampak pada relasi kuasa antara gus dan jamaahnnya. Ada juga gus-gusan yang hidup mewah bergelimang harta. Ia kerap pamer naik mobil mewah. Pengajiannya juga sering menggunakan musik DJ dan sound horeg. Aduh, diajak dengan cara apapun saya juga tak berminat.

Semua memang kembali kepada keyakinan masing-masing. Bagi saya yang mau ikut pengajian ya silakan. Cuma kalau saya sih tidak ya.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya