Foto bersama |
Sejak nenek saya meninggal tahun 2015, praktis saya hanya mengunjungi Kediri - tempat lahir ayah saya setahun sekali saat momen lebaran.
Kunjungan saya pun hanya singkat, yakni hanya bertujuan menghadiri acara reuni atau halalbihalal yang dilakukan oleh keluarga besar ayah saya. Acara reuni keluarga ini rutin digelar sejak saya masih SMP, sekitar tahun 2005an.
Dulu, sebelum ada acara itu, saya dan keluarga biasanya beranjangsana dari satu rumah ke rumah lainnya. Dari satu desa ke desa lainnya untuk menemui sanak saudara, baik yang cukup dekat, maupun jauh. Kini, sejak ada acara halalbihalal keluarga besar tersebut, kami tidak perlu lagi berkunjung dari rumah ke rumah. Alasannya, hampir semua anggota keluarga berkumpul jadi satu di sebuah rumah salah satu keluarga.
Keluarga besar ayah yang berkumpul adalah keluarga besar dari satu canggah. Canggah adalah urutan keluarga dalam bahasa Jawa yang artinya kakek/nenek dari kakek/nenek. Kalau dalam bahasa Indonesia generasi kelima di atas generasi kita. Jika dilihat dari generasi sekarang karena generasi saya rata-rata sudah berputra, maka keluarga besar yang berkumpul adalah wareng.
Acara dibuka dengan pengajian |
Dalam masyarakat Jawa, tidak dikenal atau jarang dikenal dengan marga. Berbeda dengan suku lain seperti batak, minahasa, dan lain sebagainya. Meski tidak punya marga, tetapi ikatan kekeluargaan orang Jawa sangat erat. Biasanya, mereka sering berkumpul dalam canggah yang sama setiap lebaran. Contohnya ya keluarga besar saya ini yang berkumpul dalam satu canggah yang sama.
Sampe ada yang atur parkir |
Canggah di keluarga saya kalau tidak salah namanya Bani Mursyid. Saya kurang paham juga siapa Mbah Mursyid ini. Kalau dari paparan salah seorang anggota keluarga, beliau berasal dari Jawa Tengah. Namun, pada tahun-tahun terakhir ini, keluarga adik dari Mbah Mursyid ini juga bergabung. Namanya Mbah Sulaiman. Jadi, acara halalbihalal yang dilakukan adalah acara dari keluarga Bani Mursyid wa Sulaiman. Bukan marga, tetapi biasanya kami menyebut nama itu yang dibuat banner berukuran besar.
Berkumpul sebanyak ini |
Kalau tidak salah, keturunan pertama dari Bani Mursyid wa Sulaiman ini ada 7 orang. Maka, tiap tahunnya, ada pergiliran dari masing-masing keturunan ini yang menjadi tuan rumah. Kebetulan, pada tahun ini tuan rumah berada keturunan ibu dari nenek saya yang ditempatkan di rumah adik dari nenek saya karena punya halaman luas.
Paling banyak anggora keluarga perempuan |
Dulu, pernah ada giliran rumah yang ketempatan berada di dekat Bandara Dhoho yang dibangun sekarang. Cuma, rumah tersebut terdampak proyek pembangunan bandara sehingga ybs kaya mendadak. Asli, keluarga besar saya yang punya lahan dan rumah dekat bandara ini alhamdulillah juga kecipratan rezekinya. Tinggal saya menunggu bagian punya saya. Eh.
Ini yang lebih banyak |
Kembali ke masalah halalbihalal, jadi setiap pertemuan, tiap keluarga diminta iuran sebesar 25 ribu rupiah untuk konsumsi dan sebagainya. Bagi saya jumlah ini cukup kecil dibandingkan dengan iuran di keluarga besar ibu saya, yakni 50 ribu rupiah. Padahal, acara semacam ini di keluarga ibu saya hanya satu buyut dengan jumlah peserta lebih sedikit dan setahun dilakukan sebanyak 2 kali.
Uang yang terkumpul akan diberikan kepada tuan rumah untuk digunakan sebagai konsumsi. Pada kegiatan itu, juga dikumpulkan uang untuk santunan anak yatim piatu yang berada di keluarga besar saya. Sebagian uang juga dikumpulkan untuk kas yang digunakan untuk membuat banner, dan lain sebagainya.
Santunan ke anak yatim piatu |
Sebenarnya sih, acara halalbihalal bagi saya mirip pengajian. Ada pembacaan sholawat dan tahlil. Ada pembacaan surat yasin dan surat lainnya. Maklum, keluarga besar dari ayah adalah pengikut NU kuat meski sejak beberapa tahun terakhir saya memutuskan menjadi pengikut Muhammadiyah.
Nah, jika kebetulan tuan rumah yang ditempati mampu alias memiliki pendapatan per kapita di atas rata-rata, maka acara pun akan meriah dan wah. Contohnya di tempat adik dari nenek saya ini. Kebetulan, beliau punya usaha warung Nasi Pecel dan Tumpang yang cukup ramai di tepi jalan raya. Alhasil, acara yang digelar mendirikan tenda dengan cukup besar. Ada sound system yang menggelegar dan aneka makanan melimpah.
Makan dulu |
Bahkan, menu makan yang disajikan sama dengan menu saat hajatan pernikahan. Menu tersebut adalah sego manten. Berupa sambal goreng kentang, acar, dan suwiran ayam dengan cukup banyak. Plus ditambah kerupuk, menu ini biasanya hanya terjadi saat acara penikahan. Biasanya, peserta halalbihalal disuguhkan bakso atau soto.
Penasaran sama menunya |
Tidak hanya itu, saat pulang, para peserta diberi bingkisan kue dan minuman yang juga hanya ada saat pernikahan. Memang, untuk acara ini seringkali tuan rumah jor-joran. Berbeda dengan acara serupa di kota yang minimalis. Uang yang terkumpul biasanya lebih sering digunakan untuk kebutuhan transportasi jika ingin jalan-jalan ke tempat tertentu. Yah beda orientasi ya.
Ini menunya |
Beberapa tahun sebelumnya, malah ada tuan rumah yang mengundang kyai khos terkenal di Kediri. Saya lupa siapa nama beliau yang jelas beliau sering mengisi ceramah di TV Lokal dan tabligh akbar. Peserta yang datang saat itu hampir mencapai 500 orang. Makanya, dengan acara ini, ada dampak positif yang didapatkan yakni dari satu orang bisa mengumpulkan ratusan orang.
Dapat bingkisan |
Saya mengira, acara ini hanya ada di keluarga saya atau keluarga tertentu. Namun, hampir di sebagian besar wilayah Kediri juga melakukan kegiatan ini. Bahkan, ada yang sudah eksis sejak tahun 80an. Artinya, kegiatan ini memang sudah menjadi tradisi. Selain memudahkan silaturahmi, juga mempertegas bahwa meski tidak ada ikatan marga, orang Jawa ternyata punya cara sendiri untuk mengumpulkan keluarga besarnya.
Tags
Catatanku
Klo di jogja, trah atau bani biasanya mas nyebutnya. Kami juga punya kumpulan semacam itu. Sempat off semenjak covid, kemarin sempat ada trah lagi, Biasanya yang masih kenal yang angkatan tua-tua. yang anak-anak hanya sekedar "ikut" :-D
ReplyDelete