Mengapa Jastip Makanan Makin Booming?

Ilustrasi. Lala  move

Kalau Anda senang melihat video Tiktok soal kuliner, maka fenomena jasa titip (jastip) akan sering muncul di beranda Anda.


Fenomena jastip ini seolah menggeser eksistensi dari cabang-cabang kuliner yang sudah ada. Bahkan, kini usaha kuliner baru yang sedang viral dan digandrungi oleh masyarakat kebanyakan menjual produknya dengan sistem jastip. 

Jastip merupakan sebuah kegiatan menjual barang kepada orang lain dengan imbalan sejumlah jasa. Mulanya, jastip digunakan untuk mereka yang pergi ke sebuah wilayah lalu membeli oleh-oleh atau barang khas di tempat tersebut. Nantinya, mereka akan membuka jastip barang apa saja yang bisa dibeli dan dijual kembali kepada mereka yang belum berkesempatan mengunjungi tempat tersebut.

Semisal, jasa jastip yang sering ada adalah jastip oleh-oleh dari Thailand. Rekan saya sempat membeli baju khas LGBT pelangi karena memang suka sekali dengan aneka yang bermotif pelangi dari jasa jastip Thailand. Ia mengatakan susah mencari baju khas LGBT di sini karena kita tahu orang Indonesia sangat anti terhadap eksistensi LGBT. Makanya, untuk menambah koleksinya, ia membeli lewat jastip seseorang yang sedang berlibur ke Thailand.

Tak hanya barang dari luar negeri, barang dari dalam negeri pun tak luput dari jastip. Saya sempat membeli bumbu ayam betutu khas Bali saat ada rekan yang membuka jasa jastip. Walau tentu lebih mahal dari aslinya, tetapi saya puas karena barangnya masih bagus dan enak. Dibandingkan membeli langsung lewat tokonya, harganya jauh lebih murah karena tanpa ongkir. Hanya ongkos teman saya yang sudah membelikan ke tokonya.

Jadi, jika melihat konsepnya, jastip adalah kegiatan menitip barang kepada orang lain untuk dibelikan dahulu lalu sang pembeli membayar harga barang dan jasa kepada orang tersebut. Uniknya konsep ini mulai merambah ke dunia kuliner lokal dengan munculnya banyak jastiper dari sebuah usaha yang sedang viral.

Dari konten FYP, setidaknya ada tiga usaha kuliner yang sedang viral dengan jasa jastip yang lumayan banyak. Tiga usaha itu adalah Sop Buah Irine, Salad Buah Rajata, dan Kedai Kiki Jupe. Tiga usaha ini selalu muncul di beranda FYP Tiktok saya dengan anake jastipnya.

Sop Buah Irine yang menjual sop buah, salad buah, bakaran, nasi padang, dan nasi kremes ayam memulai fenomena jastip ini. Mulanya, sang owner menjual daganganya di sebuah mobil dengan keliling. Lambat laun, banyak orang yang menitipkan barang untuk dibeli kepada orang yang membeli langsung. Seiring bertambahnya waktu, jumlah orang yang menitip ini semakin banyak.

Ada yang sampai membeli barang dengan harga di atas 5 juta rupiah. Ada juga yang sampai di atas 10 juta rupiah sehingga sang owner mulai kewalahan. Akhirnya, ia melakukan restrukturisasi jastip di tempatnya. Para jastiper harus menulis nomor antrean di depan rumahnya agar tidak berebut.

Bukannya makin sedikit, jumlah jastiper malah makin banyak. Selama beberapa waktu saya tidak terlalu mengikuti kegiatan ini. Sekarang, mereka membatasi satu hari sebanyak 30 buah jastip yang dilayani untuk dijual kembali ke berbagai tempat.

Tentu, harga makanan di jastip berbeda dengan harga di kedai milik owner. Selisihnya adalah 5 ribu rupiah. Semisal, harga salad buah yang paling kecil jika membeli di owner harganya 10 ribu rupiah. Sedangkan, jika membeli di jastip maka harganya menjadi 15 ribu rupiah. Selisih harga ini yang cukup menggiurkan sehingga para jastiper rela datang pagi buta atau berjualan hingga malam.

Apa yang terjadi di Sop Buah Irine juga terjadi di dua usaha lain. Bedanya, mereka menjual varian makanan dan minuman lain. Untuk Rajata sendiri selain sop buah dan salad buah, mereka juga menjual aneka es seperti es manado. Sedangkan, untuk Kedai Jupe sendiri lebih banyak menjual aneka makanan pedas seperti mie jebew, ceker pedas, dan lain sebagainya.

Dalam perjalanannya, jastip pun tak lagi sekadar jasa titip. Mereka lebih berfungsi sebagai penjual eceran dari produk yang dijual. Lantaran, pembeli yang mereka layani sebagian besar sudah tidak menitip atau memesan dahulu. Kebanyakan adalah pembeli yang datang ke tempat jualan mereka.

Para jastiper biasanya akan menginformasikan rute keliling mereka dan estimasi kedatangan di tempat mereka mangkal. Jika mereka sudah berada di tempat tersebut, maka mereka akan melakukan live di TikTok. Para calon pembeli seperti saya akan memantau di manakah posisi mereka berjualan terdekat sehingga bisa membeli produk yang diinginkan.

Nah, sistem penjualan seperti ini nyatanya menarik perhatian. Lantaran, tidak setiap hari mereka berjualan di tempat yang sama. Para pembeli - terutama yang baru - akan penasaran dengan rasa dan tampilan produk yang dijual. Alhasil, para pembeli selalu menunggu para jastiper datang.

Saya sempat penasaran apakah mereka mampu menjual semua barang yang dijual. Dari seorang jastiper yang sering berkeliling di wilayah Krian, Sidoarjo, mereka mengatakan bahwa produk yang mereka bawa seringkali habis. Kalau tidak habis, paling banyak sekitar 5 buah dan bisa mereka makan. Makanya, saat mereka berjualan, mereka menyediakan es batu dengan jumlah banyak agar produk salad dan sop buah bisa tetap fresh.

Walau sangat menggiurkan dan bikin penasaran, sistem penjualan jastip semacam ini tidaklah efektif. Selain pembeli harus sering membuka TikTok untuk melihat jastiper mana yang akan berjualan, kadangkala barang yang dijual tidaklah fresh. Saya sekali pernah membeli salad buah dari jastiper dalam kondisi tidak fresh. Walau sang jastiper mau mengganti barang saya keesokan harinya, tetapi tentu kasihan juga jika kejadian ini berulang.

Harap diketahui, kebanyakan owner usaha makanan ini berada di Gresik, Sidoarjo, dan Pasuruan. Sementara, para jastiper menyebar ke berbagai wilayah di Jawa Timur mulai Banyuwangi hingga Ngawi. Bahkan, saya sempat melihat ada jastip yang melayani area Sragen dan Rembang Jawa Tengah. Bayangkan, makanan yang harus dimakan segera malah berputar dahulu mengelilingi berbagai kota.

Meski para jastiper dan owner menjamin makanan yang mereka jual tetap fresh, tetap saja namanya makanan yang tidak ada pengawetnya akan mengalami penurunan kualitas. Seenak apapun makanannya, tentu rasanya akan lain jika membandingkannya dengan makanan yang masih fresh.

Saya sempat heran kenapa para owner tidak membuka cabang di berbagai kota dengan tempat yang menetap. Selain menjaga kualitas barang, tentunya memudahkan pembeli yang akan mencoba aneka barang yang mereka jual. Pembeli tak usah bingung membuka live Tiktok para jastiper saat mereka akan membeli. Kualitas barang pun akan terjaga dan pastinya masih fresh.

Namun, sang owner memang tetap menjaga sistem penjualan seperti ini. Mereka mungkin berpikir dengan jastip yang berpindah lokasi, maka rasa penasaran masyarakat akan tinggi. Mereka tidak berpikir untuk mencari pembeli loyal asalkan produk mereka lebih dikenal banyak orang. Kalau saya sih, sebenarnya lebih senang membeli makanan di tempat tertentu yang masih fresh. Untuk salad buah sendiri, saya juga sudah punya langganan penjual salad yang sudah membuka berbagai cabang. Lebih enak saja rasanya memakan salad yang masih fresh.

Konsep jualan semacam ini juga tetap dipertahankan karena sang owner tidak perlu pusing memikirkan cabang di berbagai tempat. Dengan membuka cabang, tentu banyak sekali biaya yang harus dikeluarkan belum risiko yang harus dihadapi. Model penjualan dengan jastip seperti ini juga menekan biaya produksi. Sang owner tinggal membuat aturan mengenai jastipan agar tidak saling bersinggungan antara satu jastiper dengan jastiper lainnya.

Bagaimana dengan Anda, lebih suka membeli lewat jastip atau cabang?


1 Comments

  1. Saya belum pernah menggunakan jastip apapun, biasanya beli langsung di tempat atau paling banter pakai jasa gofood kalau dekat, belum pernah beli makanan yang di luar kota atau luar daerah, emang jastip ini lagi booming ya..macem"aja barangnya ,kadang harga juga cukup mahal, tapi orang tetap aja beli.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post