Sebuah rumah kuno di dalam kampung di Semarang |
Salah satu kegiatan saya sebagai seorang flaneur selain naik angkutan umum adalah mblusuk kampung.
Kegiatan ini sebenarnya sudah saya gemari sejak SMP saat masih naik angkot. Saya senang sekali menyusuri kampung-kampung yang baru pertama kali saya lewati. Terutama, kampung yang berada di jalur angkot utama di kota saya.
Mblusuk kampung menjadi kegiatan saya sebagai healing
setelah penat ujian atau saat jam sekolah pulang agak pagi. Biasanya, saya
pergi ke toko buku Gramedia atau Perpusatakaan Umum sembari melewati
kampung-kampung di Malang yang terkenal unik.
Keunikan kampung di Malang terletak pada topografinya yang
naik turun tidak rata, sebagian besar berada dekat aliran Sungai Brantas. Saya senang
sekali mblusuk naik turun tangga yang biasa digunakan warga untuk beraktivitas.
Kadang, saya menemukan lorong-lorong kecil yang hanya bisa dilewati satu orang
saja.
Lorong itu menjadi salah satu spot favorit saya saat mblusuk
kampung. Alasannya, saya bisa menemui banyak warga yang dengan aneka
kreativitasnya memasuki lorong tersebut demi bisa berpindah tempat. Sesuatu yang
mustahil bagi sebagian orang, tetapi harus dilakukan oleh warga kampung.
Meski kini mulai jarang saya lakukan, tetapi kegiatan ini terus
saya coba untuk lanjutkan karena beberapa alasan. Selain sebagai healing, saya
juga ingin mencari jalur tikus yang siapa tahu pada suatu saat saya membutuhkannya.
Semisal, saat ada kemacetan luar biasa atau penutupan jalan utama sehingga saya
harus mblusuk kampung untuk berpindah.
Di sisi lain, saya juga bisa belajar sejarah dari eksistensi
keberadaan kampung tersebut dihuni. Semisal, sejak kapan muncul pemukiman di
kampung tersebut. Adakah hubungan antara penamaan kampung tersebut dengan kondisi
di sekitarnya.
Semisal, saat saya mblusuk ke daerah Klojen Kota Malang,
saya kerap bertanya kenapa kampung tersebut dinamakan Klojen. Nama ini kurang
familiar dan tidak ditemukan di tempat lain. Ternyata, nama Klojen berasal dari
kata ke-Loji-an atau tempat banyak Loji Belanda. Makanya, hingga sekarang
banyak sekali bangunan loji Belanda terdapat di wilayah yang menjadi pusat
pemerintahan dari Kota Malang ini.
Bangunan tua di Klojen, Malang |
Kampung-kampung di Klojen juga asyik untuk dijelajahi. Selain
kaya akan kuliner khas Malang, topografi yang sebagian berada di lembah sungai
dan dataran yang datar membuatnya unik. Kita akan sering melihat gapura kampung
berada di jalan yang datar sementara sebagian besar rumah di kampung tersebut
berada di lereng yang naik turun. Namun, di beberapa sisi, ada tanah lapang
cukup luas yang biasanya digunakan sebagai lapangan sepak bola atau tempat
pertemuan.
Banyak kampung di Malang memiliki kontur tanah yang naik turun |
Lain halnya saat saya mblusuk di kampung-kampung di
Surabaya. Meski sebagian besar berada pada tanah datar, tertapi perpaduan
lansekap dengan gedung pencakar langit menjadi salah satu hal menarik yang selalu
ingin saya jelajahi. Saya sering kagum pada warga kampung yang bisa tetap eksis
di tengah gedung pencakar langit megah yang mengepung kampung mereka.
Salah satu contohnya adalah Kampung Keputran. Kampung ini tepat
berada di jantung Kota Surabaya dan merupakan area CBD kota ini. Banyak
bangunan perkantoran terbangun megah di sini. Beberapa diantaranya adalah Gedung
Praxis, Intiland, dan lain sebagainya.
Saat saya mblusuk Kampung Keputran, saya sangat takjub
dengan warga yang bisa hidup berdampingan dengan gedung pencakar megah
tersebut. Kadang, saya mengikuti beberapa warga yang akan keluar dari kampung
menuju jalan utama saat saya agak bingung jalan. Hidup di kampung seperti itu
ternyata juga butuh keahlian untuk bisa keluar dari labirin yang berliku.
Nama Keputran sendiri ternyata berasal dari Ke-Putren yang berarti
tempat tinggal para putri keraton. Nama ini
kemudian berubah menjadi Keputran seiring berjalannya waktu. Jadi, kampung ini
merupakan kampung tertua di Surabaya yang sudah dihuni sejak era Keraton
Surabaya. Makanya, ketika saya berjalan-jalan di kampung ini, saya menemukan
fenomena menarik di kampung ini yakni cara bicara masyarakatnya yang cukup
halus untuk ukuran masyarakat Surabaya. Entah kebetulan atau tidak, selama saya
mblusuk di kampung ini dan mendengar warganya berbicara, belum ada yang
mengumpat dengan umpatan Jancok seperti di wilayah lain.
Menelusuri kampung-kampung bekas Keraton Surabaya |
Nah, berbagai fenomena menarik memang menjadi salah satu hal
yang membuat saya gemar mblusuk. Saat melakukan kegiatan ini di Sidoarjo, saya
menemukan sebuah kampung yang sebagian besar tanah warganya merupakan lahan
sewa pada PT KAI. Pengalaman ini tak sengaja saya ketahui saat makan bakso di
sebuah warung.
Di sana, ada beberapa warga yang berkeluh kesah soal biaya
sewa yang semakin tinggi. Saya baru tahu juga bahwa mereka menyewa lahan tersebut
dari pihak ketiga alias makelar. Alhasil, harga sewa tanah mereka semakin
tinggi dan hingga kini belum ada solusi.
Beberapa gerbang kampung di Surabaya diberi pagar demi keamanan |
Fenomena ini cukup mengagetkan saya karena hampir semua
bangunan di kampung itu adalah bangunan
permanen. Artinya, meski tahu bukan milik mereka, tetapi mereka rela membangun
dengan bangunan permanen. Uniknya, fenomena ini juga terjadi di Malang saat
saya mblusuk kampung di daerah Sukun. Banyak rumah warga ternyata berdiri di
atas lahan milik sebuah pabrik gula. Sama dengan apa yang saya temui di Sidoarjo,
sebagian besar warga kampung menyewa lahan dari pabrik tersebut.
Dari kegiatan mblusuk kampung, saya juga sering mendapatkan
stigma sebuah kampung menjadi buruk di masyarakat. Salah satunya adalah kampung
di wilayah Semarang Utara. Pada 2019, saya pernah menginap di kampung ini dan
menemukan banyak ibu-ibu menggendong anak sambil merokok. Tak hanya itu,
beberapa anak muda yang teler setelah minum conyang – bir khas asli Semarang.
Walau agak ngeri dan sempat menyesal kenapa menginap di sana,
ternyata saya menemukan keramahan warganya, terutama saat tahu ada ada
pendatang seperti saya. Saat saya tanya warga yang sedang nongkrong sambil
minum conyang, mereka juga menjawab dengan ramah dan tidak melakukan tindak kriminal
terhadap saya. Profil kampung ini juga pernah dibahas apik di program Asumsi
Distik. Persis dengan apa yang saya alami.
Salah satu sudut kampung di Semarang Utara yang mulai mengalami penurunan muka tanah. |
Walau kini kegiatan ini jarang dilakukan akibat ekspansi bisnis ojek online, tetapi saya masih mencoba terus melakukan kegiatan ini. Dari semua kegiatan ini, ada satu pelajaran berharga yakni mereka tetap berusaha untuk hidup dan berharap agar anak mereka bisa hidup lebih baik dari mereka.