Bagaimana Cara Orang Dulu Menentukan Lokasi Pembangunan Suatu Candi?


Penasaran kenapa banyak candi dibangun di kaki gunung?

Saat berkunjung ke sebuah candi, selain mengagumi arsitekturnya, tentu seringkali kita bertanya dan berpikir mengapa sebuah candi dibangun di sebuah tempat tertentu.


Contohnya, Candi Borobudur yang dibangun di atas sebuah bukit. Candi Gedung Songo yang berdiri megah di kaki Gunung Ungaran. Demikian pula Candi Gebang yang berada di dekat area persawahan. Mengapa candi-candi tersebut berada di tempat yang bisa dikatakan cukup sulit dijangkau?

Ternyata, orang zaman dahulu tidak asal menentukan lokasi sebuah candi. Sama halnya saat ini para pengembang properti tidak begitu saja membangun mall di tempat yang random. Mereka tentu butuh pertimbangan khusus untuk membangun bangunan megah. Lantas, bagaimana proses sebuah tempat akan dijadikan sebuah candi?

Dalam kitab Manasara-Silpasastra, urutan proses ini dirangkai secara jelas. Sebelum candi dibangun, ada seorang yang mempunya ide untuk membangun sebuah candi. Orang semacam ini disebut sebagai Yajamana.

Saat Yajamana memiliki ide untuk membuat sebuah candi, maka ia akan menghubungi pemuka agama atau pendeta. Pemuka agama tersebut harus menjadi seorang Accarya. Dia biasanya juga seorang guru besar dalam agama Buddha. Dalam Theravada, sebutan ini juga digunakan untuk biksu Buddha yang telah melewati sepuluh vassa.

Setelah dihubungi oleh Yajamana, maka Acaryya akan menghubungi para seniman, seperti Sthapati (ahli arsitektur), Sutagrahin (pemimpin umum teknis/mandor), Tatsaka (ahli pahat), dan Wardakin (ahli seni ukir). Nah, jika candi yang dibangun akan dipuja oleh semua penduduk negeri, maka Yajamana tersebut adalah sang raja. Proses pra pembangunan akan lebih cepat dilakukan layaknya seorang Presiden RI yang meneken peraturan soal pembangunan IKN.

Candi yang sudah disetujui untuk dibangun tidak langsung dibangun begitu saja. Ada sidang dahulu yang dihadiri oleh pejabat kerajaan dan pejabat daerah. Para seniman pahat, ahli sastra, dan berbagai ahli juga disertakan dalam rapat tersebut. Tidak ujug-ujug seperti IKN yang bentuk istanya kini menjadi bahan olok-olok. Pembangunan candi zaman dahulu ternyata dilakukan secara demokratis agar hasilnya memuaskan seluruh penduduk negeri sehingga mereka mau datang ke candi dan melakukan pemujaan.

Setelah rapat setuju dengan pembangunan candi, maka raja akan menujuk seorang brahmana menjadi seorang Stapaka (kepala pembangunan). Ia akan bertanggung jawab penuh dalam proses pembangunan agar candi bisa berdiri kokoh dan megah. Biasanya, seorang Stapaka adalah brahmana yang juga ahli di bidang arsitektur. Jadi, pada zaman dulu ternyata pemuka agama juga piawai dalam ilmu tata bangunan.

Stapaka akan dibantu oleh Sthapati, Sutagaharin, Tatsaka, dan Wardakin. Mereka akan menjadi satu tim pembangunan candi hingga selesai. Mereka akan dibagi menjadi kepenaitiaan khusus dengan seksi tertentu sehingga memiliki tugas dan pokok fungsi masing-masing.

Tentu, langkah pertama yang mereka lakukan adalah mencari lokasi pembangunan candi. Lokasi ini disebut sebagai bhumisamgraha. Ada syarat utama yang harus dipenuhi agar suatu tempat memenuhi syarat sebagai bhumisamgraha. Syarat tersebut adalah lokasinya harus dekat dengan sungai. Dalam sebuah kitab Silpapraksa, seorang pujangga menulis, “Jangan mendirikan candi di lahan tanpa sungai karena air sungai memiliki sifat menyucikan dan menyuburkan”.

Parit yang mengelilingi Candi Jawi



Inilah alasan hampir semua candi pasti dekat sebuah sungai. Salah satunya adalah Candi Sumberawan di Malang. Di dekat candi ini mengalir sungai dengan mata air yang begitu jernih. Pengunjung candi sering bermain air bahkan mandi di sungai tersebut. Saya sendiri sangat senang jika berkunjung ke sana karena airnya begitu jernih dan segar.

Nah, dalam pemilihan lokasi candi, saya baru tahu ternyata ada 4 kasta tanah sesuai kasta dalam agama Hindu. Ada tanah berkasta waisya yakni tanah dengan kandungan pasir yang tinggi, berwarna kuning, berlumpur, dan berbau garam. Ada tanah sudra yang mengandung lumpur, berwarna gelap, dan berbau tidak enak. Kedua jenis tanah seperti itu tidak akan dipilih sebagai lokasi pembangunan candi.

Candi Sumberawan yang dekat aliran air


Candi akan dibangun di tanah dengan kasta brahmana dan ksatria. Tanah dengan kasta brahmana mengandung lempung, konon katanya bercahaya, dan harum baunya. Sedangkan, tanah dengan kasta ksatriya memiliki warna kemerahan sedikit bercahaya seperti darah segar. Dua kasta tanah inilah yang akan dipilih sebagai lokasi candi. Saya sendiri tidak begitu paham perbedaannya. Hanya saja, saat jalan-jalan ke candi, saya memang menemui keanehan soal tanah ini.

Biasanya, jalan menuju candi tanah yang saya tapaki benar-benar tidak baik. Mulai dari berlumpur hingga berbau tidak enak. Namun, saat saya sudah sampai di candi, tanah benar-benar padat dan enak untuk diduduki. Bahkan, saya sering sampai berfoto dengan duduk bersila karena memang nyaman untuk melakukannya. Bisa jadi, kasta tanah yang menentukan lokasi candi inilah yang menjadi penyebabnya.

Candi Ngempon dengan kontur tanah yang padat.


Nah, setelah menemukan lahan yang tepat, maka langkah selanjutnya adalah pengamatan di lapangan mengenai 9 fisik tanah. Sembilan fisik tanah tersebut antara lain kontur, warna, bau, rupa, rasa, sentuhan, kerataan, permukaan, dan sifat tumbuhan yang hidup di sekitarnya. Jika sudah ok, maka stapaka akan melakukan bhupariksa, yakni menguji tanah dengan teknik tertentu.

Teknik yang dilakukan adalah dengan membuat lubang persegi sedalam lutut orang dewasa lalu diisi dengan air. Ia akan menunggu selama 1x24 jam apakah air di dalamnya terserap atau tidak. Jika terserap, maka tempat tersebut tidak layak dijadikan candi. Jika masih ada air yang menggenang, maka tempat itu layak dijadikan air. Saya jadi ingat Candi Tikus di Mojokerto yang penuh dengan genangan air di dalamnya.

Selain dengan teknik tersebut, pengujian apakah sebuah lokasi layak dijadikan candi juga dilakukan dengan meletakkan lampu minyak di calon lokasi pembangunan. Jika lidah api berdiri tegak, maka lokasi tersebut akan mendatangkan kebahagiaan. Jika miring ke utara, maka candi tersebut akan dikenal banyak orang. jika miring ke selatan, maka candi itu akan membawa kemakmuran. Namun, jika nyalanya kecil dan akhirnya padam, maka lokasi tersebut tidak layak dijadikan sebagai candi.

Genangan air di dalam Candi Tikus


Apabila calon lokasi pembangunan candi sudah layak berbagai uji kelayakan, maka akan disucikan dulu oleh para Bramana. Salah satu ritual yang dilakukan adalah mahapurasammandala yakni ritual yang dilakukan tepat di tengah candi. Biasanya ada sebuah batu dengan goresan menyilang dari diagonal-diagonal area candi. Batu semacam ini masih bisa kita temukan di beberapa candi seperti Candi Prambanan.

Dengan rumitnya proses pra pembangunan candi, maka sesungguhnya nenek moyang kita memiliki kemampuan luar biasa dalam membangun sebuah bangunan suci. Banyak candi masih bisa berdiri hingga sekarang meski harus mengalami pemugaran. Pertanyannya, mengapa kini kita tidak belajar dalam menentukan lokasi yang pas untuk sebuah bangunan? Mengapa banyak bangunan dibangun seenaknya tanpa perencanaan matang? IKN misalnya.

Post a Comment

Next Post Previous Post