Melatih Sikap Kritis dengan Porsi Tepat Sedari Dini

Ilustrasi. - www.actasurya.com

Akan ada selalu banyak pertanyaan yang timbul dari diri kita dalam kehidupan sehari-hari.


Itulah yang kerap saya tekankan pada murid-murid saya di kelas dulu, terutama sebelum memulai pelajaran. Waktu literasi yang hanya beberapa menit memang menjadi salah satu momen bagi saya untuk menggali pertanyaan kritis dari mereka. Sebagai guru yang mencoba tidak hanya menggunakan waktu ini sebagai pengguguran kewajiban saja, saya selalu berusaha untuk menggali potensi kritis dari murid-murid saya.

Tidak hanya saat waktu literasi saja, tetapi saat pelajaran berlangsung, dorongan agar mereka bertanya pun coba saya lakukan. Saya senang ada beberapa diantara mereka yang hampir selalu bertanya dan menggali apa yang sebenarnya terjadi dari sebuah fenomena.

Saya senang di balik waktu singkat mereka dalam membaca, masih ada saja pertanyaan unik nan menarik yang timbul. Misalkan, saat saya membahas politik apatheid di Afrika Selatan dan memajang gambar kursi yang hanya bisa diduduki oleh orang kulit putih, dengan segera sebuah pertanyaan pun muncul.

Apa yang akan terjadi jika ada orang kulit hitam duduk di kursi tersebut? Apa yang akan dilakukan oleh orang kulit putih? Apakah orang kulit hitam tidak memiliki kursi sendiri?

Tentu, jawaban yang saya berikan tidak akan mungkin bisa memuaskan mereka. Meski demikian, itulah tujuan saya ketika mencoba menggali rasa kritis murid-murid saya di sekolah. Lantaran, ada beberapa diantara mereka yang masih mencari informasi lebih lanjut mengenai bahan diskusi yang sudah saya bahasa sebelumnya.

Saya selalu memegang prinsip bahwa pendidikan untuk bisa kritis sedari dini memang penting. Sebagai manusia yang dibekali akal oleh Tuhan, pertanyaan Mengapa akan sering muncul dalam benak kita. Sungguh sayang jika kemampuan ini tidak digunakan sebaik-baiknya.

Saya juga sedih ketika ada seorang anak bersama orang tuanya yang ada di tempat umum bertanya banyak hal tetapi disuruh diam dengan bentakan. Terlebih, jika sang anak yang semula sangat antusias melihat apa yang ada di sekelilingnya tiba-tiba menjadi murung karena bentakan itu. Tampak nyata bahwa orang tuanya melarang dirinya untuk berpikir kritis.

Namun, saya amat gembira ketika ada orang tua yang dengan telaten menjawab berbagai pertanyaan dari sang anak. Terlebih, jika ia mampu memberi jawaban sesuai porsi yang tepat bagi sang anak atas pertanyaannya yang cukup melenceng. Semisal, mengapa dedek bayi ada di perut ibu dan seterusnya.

Menjaga potensi kritis bagi anak memang sangat dibutuhkan. Anak akan lebih bisa berkembang dengan berbagai potensinya tetapi juga memiliki prinsip yang ia teguh.

Ketika ia akan diperintah dengan seusatu yang tidak benar, maka ia akan mempertanyakan dan mempertimbangkan berbagai hal yang akan ia hadapi. Tidak saja melakukan berbagai hal yang diperintahkan kepadanya yang bisa jadi menjerumuskan dirinya. 

Ini pernah saya alami sendiri ketika saya harus berhadapan dengan beberapa pihak yang mencoba bermain anggaran ketika bekerja dulu. Pernah suatu ketika, ada catatan keuangan yang mengharuskan saya memasukkan pembelian CD pembelajaran buku tematik. Padahal, jelas-jelas perangkat lunak dalam isi CD tersebut bisa diunduh secara gratis lewat portal Kementrian Pendidikan.

Alhasil, meski sempat beradu argumen, saya tetap bisa mengkritisi pengeluaran kurang penting tersebut dan akhirnya transaksi tersebut bisa dihapuskan. Dari sini saya semakin sadar jika sikap kritis amatlah penting agar kita tetap juga memegang teguh prinisip.

Dalam kaitannya dengan esensi kehidupan, sikap kritis adalah inti dari kehidupan itu sendiri. Kita hidup berproses dan pasti ada banyak pertanyaan seputar proses dalam kehidupan kita. Salah satu proses yang sering menimbulkan pertanyaan kritis saya adalah masalah kesehatan yang saya alami.

Pada suatu titik, saya merasa ada gangguan kesehatan yang menerpa tubuh saya semisal bersin yang tiada henti. Padahal, saya tidak pernah makan es krim atau berkontak dengan orang lain dalam beberapa waktu. Ketika ada pikiran bahwa saya terkena covid-19, saya mulai mengkritisi diri saya.

Mengurai beberapa penyebab saya batuk dan bersin yang ternyata disebabkan oleh cuaca. Dari pikiran kritis tersebut, saya pun mancari cara bagaimana agar batuk dan bersin yang saya derita tidak berkepanjangan. Memberikan rasa hangat pada tubuh pun saya lakukan dan ternyata berhasil.

Tidak hanya dalam masalah kesehatan, pada penerimaan kegagalan pun saya mencoba kritis terhadap apa yang saya lakukan sehingga gagal. Mulai dari usaha yang belum maksimal hingga ada pikiran lain yang membebani. Mencoba untuk kritis pada diri sendiri semacam ini memang menjadi salah satu kegiatan saya sejak sekolah dulu.

Meski demikian, bersikap kritis harus tetap kita lakukan pada porsi yang tepat. Ada kalanya kita menerima apa yang menjadi garis kehidupan kita. Ada saat ketika kita memang harus patuh dengan berbagai norma yang telah mengikat kita dalam kehidupan sehari-hari.

Dan yang paling penting adalah walau kita memiliki sikap kritis dan berbagai pertanyaan, tetapi penyampaian pemikiran tersebut harus dilakukan dengan baik. Bagaimanapun, bersikap kritis haruslah tetap mempertimbangkan adab.

Post a Comment

Next Post Previous Post