Mana yang Terbaik, Bayar Tiket BRT di Dalam Bus atau di Halte?

Penumpang Trans Semarang di Halte Simpang Lima


Alasan utama seseorang naik transportasi umum adalah harganya yang murah. 

Dibandingkan dengan kendaraan pribadi atau ojek online, dalam rentang jarak yang hampir sama, biaya yang dikeluarkan untuk naik kendaraan umum jauh lebih murah. Terkecuali, jika seseorang naik angkutan umum yang dioperasikan oleh oknum nakal. Semisal, saat naik angkot dan mematok tarif tak wajar.

Nah, Bus Raya Terpadu (BRT) hadir untuk menghindari penumpang mendapatkan tarif yang tidak semestinya. Setiap BRT tentunya memiliki tarif yang berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Uniknya, dari sekian model-model BRT yang ada di Indonesia, Transjakarta malah yang paling murah. Tarif Transjakarta sangat murah yakni 3.500 rupiah.

Bandingkan dengan Suroboyo Bus dan Trans Jatim sebesar 5.000 rupiah atau Trans Semarang sebesar 4.000 rupiah. Hingga tulisan ini ditulis, walau ada wacana kenaikan tarif, nyatanya banyak pihak yang kontra sehingga kebijakan tersebut diurungkan.

Sistem off-board dan on-board


Berbeda dengan angkutan konvensional, BRT memiliki sitem pemungutan tarif off-board. Pada sistem ini,pembayaran tarif dilakukan di luar BRT. Biasanya, sistem yang digunakan adalah sistem barrier-controlled. Artinya, penumpang akan membayar terlebih dahulu tiket yang sesuai tarif yang dikenakan. Petugas halte akan mempersilakan penumpang masuk ke halte untuk menunggu bus tiba.

BRT yang dioperasikan beberapa tahun setelah Transjakarta biasanya menggunakan sistem ini. Trans Jogja dan Trans Semarang contohnya. Para penumpang akan dipersilakan untuk masuk halte oleh petugas halte setelah mereka membayar tiket.

Namun, jika bus sudah datang, biasanya petugas halte akan mempersilakan penumpang masuk tanpa membayar terlebih dahulu. Penumpang akan membayar di dalam bus dibantu kondektur dengan tarif yang sama. Sistem ini disebut sebagai sistem on-board.

Tentu, sistem semacam ini memiliki kekurangan karena biasanya penumpang membayar tiket dengan uang tunai. Petugas halte harus mempersiapkan uang recehan yang tentunya cukup menyulitkan. Walau pembayaran secara nontunai sudah mulai digalakkan, tetapi pembayaran tunai di halte masih menjadi opsi utama.

Sistem pembayaran on-board dilakukan oleh beberapa BRT yang baru saja beroperasi beberapa waktu terakhir. Contohnya adalah Trans Jateng, Trans Jatim, dan Suroboyo Bus.

Ketiganya menugaskan kondektur untuk berkeliling mengecek penumpang yang baru naik dan belum membayar. Ketiga BRT tersebut tidak memiliki sistem barrier-controlled sehingga penumpang akan langsung naik saat bus tiba di halte.

Petugas Suroboyo Bus sedang menarik tiket penumpang. BRT ini menggunakan sistem on board. - Dokpri

Kelemahan sistem on board


Kelemahan sistem semacam ini adalah proses pembayaran yang tidak efektif. Terlebih, jika bus dalam kondisi penuh. Kondektur harus memecah konsentrasinya antara mengatur pergerakan penumpang dan memandu pembayaran. Belum lagi jika banyak penumpang yang naik untuk jarak dekat. Kondektur bisa saja kewalahan dan akhirnya ada beberapa penumpang yang tidak membayar atau lupa tidak ditarik tiket.

Jika mengacu pada konsep BRT yang semestinya, maka sistem barrier controlled pada Transjakarta adalah contoh yang tepat. Semua pembayaran dilakukan secata nontunai menggunakan kartu uang elektronik. Penumpang tinggal mengetap kartu uang elektronik dan secara otomatis pintu halte akan terbuka. Penumpang bisa masuk halte dan menunggu bus.

Sistem barrier controlled pada Trans Jogja yang tidak seketat Transjakarta. - Dokpri


Lagi-lagi, sarana dan prasarana yang belum memadai menjadi penghalang utama. Kondisi penumpang yang belum terbiasa juga jadi alasannya. Transjakarta pun perlu waktu bertahun-tahun untuk mengubah sistem pembayaran tunai menjadi nontunai secara penuh.

Sistem pembayaran nontunai secara penuh baru bisa dilakukan oleh jaringan Teman Bus yang memasang mesin tap on bus (TOB) di dekat sopir.

Saat baru naik, penumpang langsung mengetap kartu uang elektronik (KUE) atau melakukan pemindaian QRIS dan menujukkannya ke sopir. Jika sopir sudah mengecek dan yakin bahwa pembayaran berhasil, maka penumpang bisa duduk atau berdiri di dalam bus.

Nah, bagaimana dengan skema tarif yang dikenakan?

Berbasis Waktu vs Berbasis Halte


Keunggulan BRT dengan angkutan umum konvensional adalah pada skema tarif yang digunakan. Pada angkutan umum konvensional, penumpang harus membayar lagi jika harus berganti rute. Sementara, pada BRT penumpang tidak perlu melakukannya dengan beberapa catatan tertentu.

Setidaknya, ada dua macam skema tarif BRT yang ada. Pertama adalah berbasis halte dan yang kedua adalah berbasis waktu. Pada BRT dengan skema tarif berbasis halte, penumpang tidak dikenakan tarif kembali jika ingin berpindah rute atau transit selama tidak meninggalkan halte.

Mesin tap pada feeder Batik Solo Trans yang merupakan bagian dari layanan Teman Bus. Saldo tidak akan terpotong jika kurang dari 90 menit. - Dokpri


Konsep skema tarif berbasis halte ini diadopsi oleh Trans Semarang, Trans Jogja, dan Transjakarta. Sementara, pada BRT dengan skema berbasis waktu, penumpang tidak akan dikenakan tarif jika belum melebihi dari waktu awal pembayaran. Sistem seperti ini diadopsi oleh Suroboyo Bus, Trans Jatim, dan layanan Teman Bus.

Untuk Suroboyo Bus dan Trans Jatim, penumpang akan diberi tiket oleh kondektur. Pada tiket tersebut tercantum waktu pembayaran. Nantinya, penumpang bisa menggunakan tiket tersebut untuk naik bus di halte mana pun asal belum 2 jam dari waktu pembayaran. Semisal, ada seorang penumpang yang naik Suroboyo Bus pada pukul 07.00. Maka, ia bisa menggunakan tiket tersebut hingga pukul 09.00.

Penampakan tiket Trans Semarang yang menggunakan aturan berbasis halte dan Suroboyo Bus yang berbasis waktu. - Dokpri


Sementara, pada layanan Teman Bus, aturan semacam ini berlaku hanya 90 menit. Itu pun jika penumpang membayar menggunakan KUE. Satu KUE juga hanya bisa digunakan untuk 1 orang penumpang. Sistem TOB akan membaca waktu tap awal penumpang membayar secara otomatis. Setiap berpindah rute, penumpang wajib mengetap kartu pada TOB.

Jika belum 90 menit, maka saldo tidak akan terpotong. Namun, jika penumpang membayar menggunakan QRIS, maka setiap berpindah rute, penumpang wajib melakukan scan QRIS dan saldo akan terpotong.

Lantas, menurut Anda, lebih baik menggunakan skema tarif berbasis halte atau berbasis waktu?

Post a Comment

Next Post Previous Post