Fenomena Kotak Kosong Pilkada Serentak, Bukti Demokrasi Indonesia di Ambang Kehancuran

Ilustrasi. - https://belitongekspres.bacakoran.co/

Pemilukada serentak 2024 tinggal menghitung hari.


Berbeda dengan pemilukada tahun sebelumnya yang tidak dilakukan dalam waktu berbeda tiap daerah, edisi pesta demokrasi daerah kali ini dilakukan secara bersamaan. Semua provinsi, kota, dan kabupaten melakukan pilkada pada hari yang sama. Tentu, dengan adanya pilkada serentak ini berdampak pada upaya efektivitas agar kegiatan dan dana yang begitu banyak tidak dikeluarkan secara berulang.

Ribuan pasang calon kepala daerah sudah mendaftar dan ditetapkan oleh KPU sebagai peserta. Ada satu daerah yang memiliki lebih dari dua pasang calon, ada yang memiliki dua pasang calon, dan ada yang hanya memiliki satu calon tunggal.

Nah, diantara sekian daerah yang melakukan pemilukada, daerah yang hanya memiliki satu calon tunggal ini yang menarik untuk dibahas. Lantaran, dengan kompleksnya permasalahan daerah serta kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan di daerah, mengapa hanya ada satu calon tunggal. Mengapa tak ada calon lain yang mencoba untuk melawan pasangan tersebut dalam kontestasi pemilukada.

Dukungan Partai Pada Calon Tunggal


Tentu, jawaban dari pertanyaan tersebut susah-susah gampang. Kita tahu bahwa untuk bisa maju sebagai calon kepala daerah, seseorang butuh dukungan partai politik atau KTP warga jika mendaftar sebagai calon independent. Dukungan tersebut tidaklah mudah meski Mahkamah Konstitusi telah merevisi UU Pilkada akibat Gerakan Indonesia Darurat kemarin.

Saat ini, calon kepala daerah bisa maju pemilukada jika mendapat dukungan sebanyak 7,5 persen suara pemilu dari partai politik, baik yang ada dalam parlemen atau pun tidak. Syarat ini jauh lebih mudah dibandingkan sebelum adanya revisi UU Pemilukada yang mensyaratkan dukungan 20% bagi calon yang akan maju.

Walau tak sebesar pemilukada sebelumnya, nyatanya banyak sekali daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Tercatat ada sekitar 41 daerah yang hanya ada satu calon melawan kotak kosong. Diantara sekian daerah, apesnya salah satunya adalah tempat saya bekerja. Apalagi kalau bukan Kota Surabaya.

Di Kota Pahlawan ini, hanya ada satu calon tunggal yang akan berkontestasi dalam Pemilukada 2024 ini. Mereka adalah Eri Cahyadi dan Armudji, petahana yang sudah menjabat sejak 2020 menggantikan Tri Rismaharini. Keduanya diusung oleh hampir semua partai politik sehingga tak ada calon lain mendaftar ke KPU.

Masalah Tidak Bisa Diselesaikan dengan Calon Tunggal  


Fenomena ini cukup menarik karena kita tahu Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia dengan segala permasalahan kompleksnya. Selama 4 tahun ke belakang, masih banyak masalah yang harus diatasi dan dijadikan pijakan untuk pembangunan 5 tahun ke depan. 

Salah satunya adalah masalah transportasi. Walau selama 4 tahun ke belakang sudah ada pengembangan cukup baik mengenai transportasi umum di Surabaya. Sebut saja halte yang belum layak, headway yang lama, hingga beberapa insiden kecelakaan seperti masuknya Wira-wiri ke sungai. Tak hanya masalah transportasi, masalah lain seperti banjir dan kemacetan juga layak menjadi perhatian.

 


Berbagai masalah tersebut semestinya bisa dijadikan dasar kontestasi Pemilukada di Surabaya tidak hanya diikuti oleh satu calon. Semestinya, masyarakat punya banyak pilihan dan alternatif untuk mencari pemecahan atas permasalahan Kota Surabaya yang rumit ini. Perlu banyak ide dan solusi yang tidak hanya berasal dari satu pihak saja.

Namun, malang bagi warga Surabaya, mereka tak punya pilihan lain. Jika pun ada, warga Surabaya harus memilih kotak kosong sehingga satu-satunya calon yang maju tidak bisa dilantik. Walau pilihan ini menjadi pilihan satu-satunya, tetapi akan berimplikasi besar. Salah satunya adalah mandegnya kebijakan penting di Surabaya karena selama kurun waktu tertentu, kota ini akan dipimpin oleh pelaksana tugas atau pj.

Tentu, kewenangan pelaksana tugas tidak sebesar walikota definitif terutama dalam mengambil kebijakan penting. Padahal, beberapa kebijakan sudah sangat mendesak untuk diselesaikan. Masalah ini akan membuat warga Surabaya terganggu aktivitasnya jika tidak segera dilaksanakan. Contohnya, beberapa pembangunan fasilitas umum atau jalan raya. Alhasil, keberadaan calon tunggal pun menjadi salah satu titik mundur dari pembangunan.

Kotak Kosong Mundurnya Demokrasi  


Tak hanya itu, adanya calon tunggal juga menjadi salah satu tanda dari mundurnya atau bahkan hancurnya demokrasi bangsa ini. Bagaimana tidak, semua kekuatan politik berkumpul dalam satu gerbong. Mereka pun akan susah untuk melakukan check and balance kekuasaan seperti yang diharapkan. DPRD akan selalu setuju dengan berbagai kebijakan kepala daerah meski kebijakan tersebut sangat merugikan warga.

Fenomena calon tunggal juga terjadi di tetangga Surabaya, yakni Gresik. Wilayah kabupaten penyangga Surabaya ini hanya memiliki satu calon tunggal pada Pilkada serentak 2024. Hanya pasangan petahana, Fandi Akhmad Yani dan Asluchul Alif yang maju. Mereka akan melawan kotak kosong, sama halnya dengan calon tunggal di Surabaya. Kota Pasuruan juga menjadi daerah ketiga di Jawa Timur yang hanya memiliki satu calon tunggal.

Walau tak ada pilihan lain, daerah yang hanya memiliki calon tunggal juga cukup menarik untuk disimak dinamika politiknya. Kini, masyarakat mulai mengkampanyekan untuk memilih kotak kosong agar ada pemilu ulang tahun mendatang. Jujur, kampanye ini tidaklah terlalu baik karena jika pemilu diulang, maka tentu butuh biaya lagi. Calon yang ada pun bisa jadi kembali muncul calon tunggal.

Meski demikian, kampanye untuk memilih kotak kosong adalah hak warga negara. Kampanye ini muncul dari tidak berfungsinya partai politik untuk melakukan kaderisasi guna memunculkan calon kepala daerah potensial. Belum lagi, banyak calon kepala daerah yang berasal dari kalangan artis sehingga kapasitas mereka untuk memimpin daerah patut dipertanyakan. Lebih jauh lagi, banyak diantara mereka yang tidak berasal dari kader partai dan diusung berdasarkan kepopuleran semata.

Fenomena lain cukup menarik terjadi di Kabupaten Tegal. Di wilayah yang beribukota di Slawi ini, ada pasangan calon bupati muda yang rela meninggalkan zona nyamannya untuk maju dalam kontestasi politik. Kehadiran mereka melawan calon kuat yang didukung hampir semua partai politik. Kehadiran mereka juga mencegah adanya kotak kosong dalam Pilkada Kabupaten Tegal.

Mereka adalah Bima Eka Sakti dan Muhammad Syaeful Mujab. Keduanya masih sangat muda. Bima adalah ASN yang rela mundur untuk maju sebagai calon Bupati. Sementawa calon wakilnya, Syaeful Mujab adalah penerima beasiswa LPDP lulusan perguruan tinggi di Inggris. Hadirnya dua anak muda ini menarik karena menjadi simbol perlawanan dari gerbong politik yang ingin memajukan calon tunggal. Walau masih muda, usia keduanya sudah memenuhi syarat batas pencalonan bupati tanpa adanya permainan perubahan aturan di Mahkamah Konstitusi. Sosok seperti keduanya inilah yang diharapkan muncul di berbagai daerah untuk memperbaiki daerah dan melawan calon tunggal.

 


Akhir kata, meski peraturan memperbolehkan calon tunggal, harus dipahami bahwa semakin banyak daerah yang melaksanakan pilkada dengan kotak kosong, maka demokrasi kita berjalan mundur. Sama mundurnya dengan kritik yang dibungkam dan diolok-olok demi keberlanjutan koalisi plus-plus.

Post a Comment

Next Post Previous Post