Pedagang asongan menjajakan buku mewarnai |
Keberadaan pedagang asongan menjadi salah satu warna dari perjalanan bus antar kota.
Mereka kerap naik dan turun di terminal, pertigaan atau perempatan, hingga pintu keluar jalan tol. Secara silih berganti, pedagang asongan berteriak menjajakan dagangannya demi menyambung hidup. Mereka pun menjajakan aneka bahan dagangan, mulai dari makanan, minuman, hingga beberapa barang lainnya.
Sayang, sebagian besar pedagang tidak bisa menjual barang dagangannya hingga habis. Malah, kebanyakan mereka harus menerima kenyataan tidak mendapatkan uang sepeser pun karena tak ada barang dagangan yang laku. Meski sudah naik turun beberapa bus, tetap saja mereka belum bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Sebagai penumpang, sebenarnya saya juga merasa iba dengan mereka. Kadang, saya membeli beberapa barang yang memang saya butuhkan. Air mineral adalah barang yang paling sering saya beli karena rasa haus yang tak tertahankan. Meski demikian, saya juga memiliki bujet yang terbatas untuk pulang atau kembali ke perantauan. Bisa jadi, pemikiran saya ini juga dimiliki oleh beberapa penumpang lain. Terutama, mereka yang harus sering bolak-balik dari rumah ke tempat kerja menggunakan bus.
Para pedagang asongan pun sebenarnya juga sudah maksimal dalam menjajakan barang dagangannya. Berbagai trik mereka gunakan mulai dari berteriak hingga melucu untuk menarik perhatian penumpang. Trik umum yang mereka gunakan adalah memberikan barang dagangan mereka dahulu agar bisa dilihat oleh penumpang. Mereka akan menarik kembali barang dagangan tersebut jika semua penumpang sudah mereka tawarkan.
Trik ini memang cukup jitu karena beberapa penumpang penasaran dan ingin membeli barang dagangan mereka. Sayang, seringkali tangan hampa pun harus mereka dapat tatkala meski sudah berjalan dari ujung depan ke ujung belakang bus, tak satu pun barang dagangan mereka terjual.
Lantas, mengapa penumpang enggan untuk membeli barang jualan pedagang asongan?
Pertama, harga barang yang dirasa lebih mahal.
Anggapan ini sebenarnya relatif. Pasalnya, pedagang asongan menjual barang dagangan di tempat yang ramai orang. Sejak dulu, adagium ini memang sudah ada dan banyak orang menahan diri tidak membeli barang di dalam bus. Meski demikian, masih banyak barang dagangan yang menurut saya dijual dengan harga wajar.Contohnya adalah air mineral yang saat ini rata-rata dijual dengan harga 5.000 rupiah per botol. Harga ini sama dengan harga di warung atau minimarket dalam terminal. Bahkan, beberapa pedagang asongan juga membawa termos berisi es agar air minuman yang mereka jual tetap dingin. Tentu, usaha ini patut dihargai karena dengan harga air mineral sebesar itu, penumpang bisa mendapatkan minuman dingin. Meski begitu, ada saja oknum pedagang asongan yang menjual air mineral di atas 5.000 rupiah.
Beberapa waktu yang lalu, ada seorang ibu di dalam bus yang saya naiki protes karena harga gorengan yang dijual seorang pedagang asongan dirasa mahal. Pedagang tersebut menjual satu buah gorengan seharga 3.500. Jika membeli sebanyak 3 buah, maka harganya hannya 10.000 rupiah. Sang ibu tersebut merasa harga gorengan itu terlalu mahal karena biasanya maksimal hanya 2.000 rupiah. Walau masih mengeluh, ia tetap membeli karena merasa lapar.
Kedua, dagangan yang dijual tidak terlalu dibutuhkan oleh penumpang
Penumpang bus akan membeli barang jualan pedagang asongan jika dirasa barang tersebut mereka butuhkan. Apesnya, akhir-akhir ini saya juga merasa para pedagang menjual barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh penumpang. Contohnya adalah gelang manik-manik, syal, topi, kacamata hitam, dan beberapa aksesoris wanita. Tentu, barang tersebut tidak begitu dibutuhkan terutama bagi para pekerja yang bolak-balik naik bus.
Ada juga pedagang yang menjual satu set alat dapur dan satu set perlengkapan berupa korek api, alat cukur kumis, dan cutton buds. Saya heran bagaimana bisa mereka mendapatkan ide barang jualan seperti itu. Padahal, jika mereka mau melihat apa yang dibutuhkan penumpang, maka ada barang lainnya yang semestinya bisa mereka jual.
Saya juga makin sulit menemukan pedagang yang menjual permen sachet yang menjadi andalan para penumpang untuk teman menunggu bus. Malahan, saya sering menemukan penjual permen jahe yang tidak begitu digemari. Seorang mbak-mbak yang duduk di samping saya pada sebuah perjalanan juga bercerita sebenarnya saat itu ia membutuhkan peniti atau jarum pentul untuk kebutuhan hijabnya. Namun, tak satu pun pedagang asongan yang menjual barang tersebut.
Ketiga, dagangan yang dijual sudah dimiliki oleh banyak penumpang
Satu hal lagi yang membuat barang jualan pedagang asongan tidak laku adalah mereka menjual barang yang sudah banyak dimiliki oleh penumpang. Contoh utamanya adalah headset. Walau mereka menjual dengan harga 10 ribuan, tetap saja hampir tak ada penumpang yang mau membeli.
Pasalnya, sebagian besar penumpang sudah memiliki headset atau TWS sendiri. Dengan harga 10 ribu rupiah, tentu penumpang enggan untuk membeli karena kualitas suara yang dihasilkan akan jauh berbeda dengan headset atau TWS milik mereka. Alhasil, pedagang headset ini seringkali gigit jari karena tak satu pun barang dagangannya terjual.
Terakhir, barang dagangan dijual pada waktu yang kurang tepat
Di suatu pagi saat naik dari Terminal Purabaya, saya ditawari cilok kuah oleh seorang pedagang asongan. Saya melirik jam di tangan masih pukul 6 pagi. Sebenarnya, saat itu saya lapar karena belum sarapan. Namun, saya berpikir bahwa kalau saya belum makan nasi dan makan cilok, maka perut saya akan sakit. Meski demikian, saya tetap membeli cilok seharga 5.000 rupiah tersebut untuk saya makan jika sudah sampai di Malang dan sarapan.
Dari pengalaman ini, saya merasa beberapa pedagang asongan menjual barang dagangan mereka pada waktu yang tidak tepat. Andai saja mereka menjual nasi bungkus saat pagi, tentu akan banyak penumpang yang membeli. Sambil menunggu bus berjalan, rasanya mereka akan bisa sarapan nasi bungkus di dalam bus. Lagi-lagi, saya tak menemukan pedagang nasi bungkus yang berjualan.
Pada hari yang berbeda, saya mendapati seorang pedagang cilok yang menjual dagangannya sore hari saat jam pulang kerja. Barang dagangannya pun laris manis karena banyak penumpang yang ingin mengisi perutnya sementara sepulang kerja. Itulah mengapa waktu jualan sangat menentukan keberhasilan seorang pedagang asongan dalam menjajakan jualannya.
Dari beberapa alasan tadi, sebenarnya sudah saatnya kini para pedagang asongan lebih jeli lagi dalam berjualan. Sayang rasanya usaha mereka yang berpeluh keringat harus sia-sia padahal ada peluang besar yang bisa mereka dapatkan. Inilah pentingnya peran pemerintah atau NGO dalam meningkatkan taraf hidup mereka.
Semisal, memberikan pelatihan bagi mereka agar lebih mengetahui potensi pasar di dalam bus. Berbeda dengan calo yang meresahkan, keberadaan mereka sebenarnya masih dibutuhkan dengan penataan yang lebih baik.
Di media sosial TikTok, saya sering melihat konten-konten mengenai upaya menaikkan UMKM agar bisa naik kelas. Mulai dari menata gerobak dagangan mereka, memberikan seragam, dan pelatihan. Sayang, konten dan upaya semacam ini belum menyentuh para pedagang asongan. Padahal, jika ada upaya besar semacam ini, maka missing link antara pedagang asongan dengan penumpang akan bisa terkoneksi dengan baik. Pedagang asongan bisa meraup untung sementara penumpang bisa tercukupi kebutuhannya terutama selama perjalanan.
Lalu, menurut Anda, solusi apa yang pas bagi pedagang asongan ini?
Tags
Catatanku