Mungkin kita sudah membaca berita tentang kondisi negara Indonesia akhir-akhir ini.
Bagi yang masih waras seperti saya, tentu rasa muak, sebal,
dan sesak akan memenuhi dada. Namun, bagi yang masih tidak waras atau tertutup
hati nuraninya, tentu semua akan terasa biasa-biasa saja.
Kita hidup di Indonesia. Sebuah negara yang menjunjung
tinggi demokrasi. Negara yang memiliki banyak aturan yang disepakati.
Tujuannya, agar negara ini bisa menjadi negara yang aman, nyaman, tertib, dan
maju.
Sebagai warga negara, tentu saya punya hak dan kewajiban
yang melekat. Kewajiban saya tentu banyak sekali. Mulai membayar pajak, menaati
aturan lalu lintas, menjaga keamanan dan ketertiban, serta berbagai kewajiban
yang harus saya jalani.
Selama ini, meski tidak sempurna, saya menjalani kewajiban
tunduk pada negara sesuai peraturan perundang-undangan. Selama ini pula, saya
dan mungkin Anda semua yang membaca tulisan ini patuh dan melaksanakan apa yang
menjadi kewajiban sebuah negara.
Sebagai warga negara, tentu saya dan Anda semua memiliki hak
sama. Mulai dari menggunakan fasilitas umum, menggunakan hak suara, dan
memperoleh berbagai hal yang memang menjadi hak kita. Dalam beberapa hal, hak
yang seharusnya kita dapat memang sudah kita dapat.
Akan tetapi, dalam beberapa waktu belakangan ini, rasanya
hak-hak tersebut mulai tercerabut. Contoh gampangnya adalah ketersediaan BBM
bersubsidi dan transportasi umum. Sebagai warga yang harus bekerja, tentu kita
butuh keduanya. Entah menggunakan kendaraan pribadi atau umum, tentu
ketersediaan keduanya menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya sesuai dengan
Pasal 33 UUD 1945.
Namun, keduanya seakan sulit untuk didapatkan. BBM
bersubsidi yang makin jarang dan terbatas, transportasi umum yang belum
memadai, dan tentunya kemacetan parah yang terus berulang. Dalam kaitannya
dengan Jakarta, tentu pemandangan penuh sesak dalam gerbong-gerbong KRL
terus-menerus hinggap di linimasa kita setiap hari.
Hak-hak yang tercerabut tidak hanya pada masalah itu.
Pembatasan usia kerja, zonasi sekolah, dan konflik agraria yang membuat banyak
orang harus terusir dari tempar tinggalnya adalah sekian hal yang menjadi dasar
bahwa sebenarnya kita sedang tidak baik-baik saja. Belum lagi, kasus
perundungan di pendidikan kedokterasn spesialis yang membuat beberapa dokter
melakukan bunuh diri.
Pun demikian dengan kebocoran dan pribadi serta mudahnya
para peretas mengakses data penting negara sehingga hajat hidup orang banyak
menjadi terganggu. Semuanya bermuara kepada mereka – lebih tepatnya keluarga
rakus – yang ingin terus melenggangkan kekuasan. Apapun dan bagaimanapun
caranya.
Makanya, dengan berbagai akrobat yang mereka tunjukkan saat
ini, usaha itu akan terus mereka lakukan untuk menjajah Indonesia. Uniknya,
usaha mereka didukung oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Saya tidak mempermasalahkan
mereka yang mendukung dari kalangan bawah yang minim informasi dan literasi.
Yang saya sayangkan adalah mereka banyak yang berasal dari
kalangan terdidik, terpelajar, dan bisa mengakses informasi dengan mudah. Dengan
berbagai argument yang sebenarnya tidak masuk akal sama sekali, mereka begitu
mendukung keluarga itu dan terus menggaungkan bahwa Indonesia sedang baik-baik
saja.
Tidak.
Indonesia tidak sedang baik-baik saja.
Saya tahu kita ingin hidup damai, aman, tentram dengan
pekerjaan yang kita lakukan. Namun, sebagai orang yang bermartabat, apa bisa
kita diam tunduk seperti anjing yang mendapat tulang dari tuannya? Tidakkah kita
berpikir bahwa apa yang kita perbuat akan dimintai pertanggungjawaban di kehidupan
nanti?
Rasa sesak yang ada dalam diri semakin menyeruak ketika anak
bungsu dari keluarga itu sedang berlibur menggunakan private jet di saat rakyat
sedang kelaparan. Seseorang dari anggota keluarga itu bahkan mengunggah makanan
seharga 400 ribu rupiah di saat ada seorang bapak ojek yang meninggal akibat
kelaparan di Medan. Jika sudah begini, apa bisa kita tidak memikirkannya?
Saya tidak tahu, apa yang ada di benak Anda yang masih
begitu mempertahankan prinsip bahwa semua yang terjadi ini masih bisa
dimaafkan. Jika Anda berpikir demikian, maka mohon maaf, kita berada di
persimpangan jalan. Semoga hidup Anda tenang dan tidak berakhir seperti gambar
di sinetron azab.
Jika Anda berada dalam satu pemikiran dengan saya harap mari
rapatkan barisan. Tetap fokus mencapai tujuan demi kemerdekaan. Abaikan suara
miring yang berkeliaran. Jangan sampai perjuangan ini terhenti di tengah jalan.
Akhir kata: Lawan!
Jujur saya antara kecewa dan kadang sulit percaya pemimpin kita jadi kek gitu. Meskipun awal kemunculannya di publik dulu agak diam-diam menghanyutkan, tapi berharap banget sama si Bapak untuk bisa membawa perubahan yang lebih baik kepada bangsa ini.
ReplyDeleteTapi, setelah bolak balik semacam terang-terangan kayak gitu, hanya bisa ternganga :(