Olimpade Musim Panas yang Selalu Seru

Momen dua atlet AS yang memberi penghormatan kepada peraih emas asal Brazil. - ABC news

Selain Piala Dunia, Olimpiade Musim Panas bagi saya adalah gelaran yang selalu ditunggu.

Berbeda dengan Piala Dunia, keseruan olimpiade musim panas tentu lebih besar. Tak hanya mempertandingkan cabang olahraga sepak bola saja, tetapi berbagai cabang olahraga yang bisa jadi saya tidak familiar mengikutinya. Tentu, negara kita juga bisa turut serta melalui atlet terbaiknya.

Nah, saya mengenal olimpiade pertama kali sebenarnya sejak 1996. Walau tak paham apa itu olimpiade karena masih kelas 1 SD, tetapi saya ingat rumah saya begitu ramai oleh orang-orang yang menonton pertandingan final antara Ricky Subagja/Rexy Mainaky asal Indonesia dengan pasangan ganda putra Malaysia Yap Kim Hock/Cheah Soon Kit.

Saya yang masih bocil saat itu bingung bagaimana sistem poin yang digunakan. Lantaran, beberapa orang dewasa yang menonton sering mengatakan pindah bola. Saya tidak terlalu paham apa itu pindah bola karena sepehaman saya bolanya selalu berpindah. Yang saya ingat adalah pemain dikatakan menang jika bisa meraih 15 poin.

Nah, pada pertandingan berikutnya saya menonton final Mia Audina dengan Bang Soo Hyun asal Korea Selatan. Pada pertandingan yang akhirnya dimenangkan oleh atlet Korea Selatan tersebut, ternyata sistemnya berbeda. Pemain dikatakan menang jika bisa meraih 11 poin. Saya baru bisa mencerna ketika ada seorang mas-mas tetangga yang menerangkan pada saya bahwa karena yang bermain atlet tunggal, maka jumlah poin maksimalnya lebih sedkit.

Yang saya ingat saat itu adalah durasi pertandingan yang lebih lama dari sekarang. Lantaran, pemain baru bisa dikatakan mencetak skor jika sudah dua kali memenangkan bola. Alhasil, jika sering terjadi pindah bola, maka pertandingan tak kunjung usai. Mengcapek.

Saya tak ingat lagi pertandingan apa yang saya tonton saat Olimpiade Atlanta tersebut. Saya baru benar-benar mengikuti dengan saksama saat Olimpiade Sydney 2000 kala sudah duduk di bangku kelas 4 SD. Saat itu, saya sudah memiliki buku RPUL yang sering saya baca. Di sana, lengkap termuat informasi mengenai tuan rumah olimpiade dan segala hal tentang bulu tangkis.

Saya juga melihat upacara pembukaan Olimpiade Sydney yang cukup megah. Saat ayah saya membeli koran, saya juga tak lupa untuk melihat update perolehan medali. Saat itu, dua negara berebut untuk menjadi juara umum, yakni Amerika Serikat dan Rusia. Saya lupa stasiun TV mana yang menyiarkan pertandingan ini yang jelas, saya senang sekali saat melihat kedua negara itu bersaing memperebutkan medali pada cabang yang menghasilkan banyak medali, yakni renang dan senam.

Untuk Indonesia sendiri sudah pasti saya masih ingat saat pertandingan final antara Tony Gunawan dan Candra Wijaya melawan pebulu tangkis asal Korea Selatan Lee Dong-soo/Yoo Yong-sung. Pasangan Indonesia tersebut bisa meraih medali emas setelah menang dengan rubber set skor 15-10, 9-15 dan 15-7. Duh, saya masih ingat mereka yang menang di set pertama harus kalah di set kedua. Pada set ketiga, rasanya deg-degan.

Saya masih ingat pertandingan dilakukan saat jam mengaji usai. Jadi, saya bisa melihat bersama teman-teman sehabis mengaji. Sata itu juga ada pertandingan antara pasangan Indonesia Minarti Timur dan Tri Kusharyanto dengan pasangan China China, Zhang Jun/Gao Ling. Sempat menang di set pertama, sayang keduanya harus kalah di dua set berikutnya dan meraih medali perak. Saya baru ngeh Minarti Timur ternyata sepantaran dengan ibu saya yang saat itu usianya sekitar 33an mendekati 34.

Selain bulu tangkis, saya juga mengikuti olahraga angkat besi yang pertama kali menyumbang medali perak dan perunggu lewat almarhumah Lisa Rumbewas dan Sri Indriyani. Nah, cerita keduanya menarik. Awalnya, Lisa Rumbewas memenangkan medali perunggu. Namun, ternyata sang peraih medali emas asal Bulgaria menggunakan doping sehingga Lisa naik menjadi meraih perak. Sementara, Sri Indriyani yang awalnya menempati posisi keempat akhirnya naik meraih medali perunggu.

Sejak saat itu, saya baru paham apa itu doping dan kenapa dilarang. Pada koran Jawa Pos yang saya baca, termuat beberapa atlet angkat besi Bulgaria harus didiskualifikasi akibat doping ini. Kalau tak salah, kasus doping ini merupakan salah satu kasus yang sangat kontroversial sepanjang gelaran olimpiade.

Sayangnya, saya tak begitu mengikuti olimpiade Athena 2004 karena waktu tanding yang malam. saya hanya mengikuti update perkembangan atlet Indonesia lewat Headline News Metro TV. Apalagi, saat Taufik Hidayat meraih emas kategori Tunggal putra.  Demikian pula Olimpiade 2008 dan 2012 yang keberlangsungannya saya pantau lewat Facebook. Saat itu memang Facebook menjadi andalan media sosial saya sehingga ketika ada update medali, maka saya melihat Facebook.

Saya baru mengikuti lagi dengan saksama saat Olimpiade 2016. Kebetulan, saat itu sedang ada akreditasi di sekolah saya sehingga saya kerap lembur hingga malam. Nah, saat jeda mengerjakan tugas, saya selalu menonton pertandingan olimpiade di TV sekolah.

Olimpiade 2020 yang digelar 2021 juga saya ikuti seksama karena saat itu berlangsung PPKM Darurat. Tak ada kegiatan lain yang bisa saya lakukan selain menonton pertandingan demi pertandingan. Tentu, kemenangan Greysa Poli dan Rahayu Apriani adalah momen yang paling membekas karena menjadi penyambung tradisi medali emas di cabang bulu tangkis.

Walau tahun ini cabang tersebut gagal, tetapi saya masih mengikuti Olimpiade Paris. Apesnya, acara pertandingan harus saya saksikan melalui aplikasi. Berbayar pula. Saya harus merogoh kocek untuk melihat para atlet yang sedang berjuang. Padahal, seingat saya dulu sebagian besar pertandingan olimpiade disiarkan langsung di TVRI. Semoga saja nanti saat olimpiade 2028 di LA bisa kembali tayang di TV.

Bagi saya olimpiade tak sekadar memenangkan emas. Ada saja momen berkesan dan membahagiakan serta menyedihkan yang terjadi pada seorang atlet. Momen berkesan saya adalah saat dua atlet AS, Simone Biles dan Jordan Chiles memberi penghormatan untuk peraih medali emas, Rebeca Andrade asal Brazil.

Momen ini cukup unik karena dua atlet Paman Sam tersebut benar-benar menghargai sang pemenang utama yang pantas untuk meraihnya. Momen ini juga menjadi ajang sportivitas paea talet setelah mereka bertanding. Walau beberapa cabang sempat ada protes, tetapi sebagian besar momen pemberian medali diakhiri dengan selfie bersama untuk merayakan keakraban.

Kalau Anda sendiri, momen mana yang paling berkesan selama menonton olimpiade?

Post a Comment

Next Post Previous Post