Nostalgia Masa Kecil di Pasar Mergan Malang

Lorong Pasar Mergan Malang

Pasar Mergan adalah salah satu tempat yang memiliki kenangan masa kecil tak terlupakan.

Hampir dua atau tiga hari sekali, saya selalu diajak ibu atau almarhumah nenek berbelanja di sini. Pasar ini merupakan salah satu pasar tradisional yang masih eksis di Kota Malang. Letaknya sangat strategis berada di persimpangan jalan dan menghubungkan wilayah pusat kota dan pinggiran kota.

Pasar yang dikelola oleh Dinas Pasar Kota Malang ini memang menjadi tempat yang sangat spesial bagi saya. Meski sekarang saya jarang sekali datang ke sini karena kesibukan di luar kota, tetapi ketika saya datang berkunjung ke sana, memori akan masa kecil akan selalu terngiang.

Salah satunya adalah para penjual ayam yang berada di bagian luar pasar. Deretan penjual ayam ini begitu saya ingat karena saat masih kecil saya jarang sekali makan ayam. Maklum, saat saat itu bertepatan dengan krisis moneter 1998. Berbagai kebutuhan pokok harganya naik tajam. Alhasil, paling-paling saya makan ayam sebulan sekali atau dua kali.

Makanya, saat membeli ayam bersama ibu atau nenek, rasanya bahagia sekali. Apalagi kalau ayam yang dibeli adalah bagian paha yang menjadi favorit saya. Saat itu saya sangat senang ketika pedagang ayam memotong bagian ayam dan memasukkan potongan paha ayam ke kantong keresek. Duh, sudah tak sabar akan dimasak menjadi ayam krispi yang saat itu mulai booming.

Suasana luar pasar

Momen paling saya ingat adalah ketika nenek melakukan tawar-menawar dengan pedagang sayur. Jika harga ayam sudah pas, maka harga komoditas seperti sayur dan buah masih bisa ditawar. Nah, saya menyaksikan bagaimana nenek begitu lihai menawar harga sayur dan buah agar mendapatkan harga semurah mungkin.

Biasanya, beliau akan meninggalkan pedagang tersebut terlebih dahulu dan mulai beralih ke pedagang lainnya. Namun, pedagang yang barang dagangannya ditawar langsung memanggil kembali nenek dan menyepakati harga yang ditawarkan. Tentu, dengan sedikit umpatan kekesalan tetapi ia mau juga menerima uang dari nenek. Teknik seperti ini juga dilakukan oleh ibu saya yang kadang meninggalkan salah satu pedagang dan beralih ke pedagang lainnya.

Deretan lapak daging

Meski demikian, ada juga pedagang yang membiarkan barang dagangannya tidak jadi dibeli. Bisa jadi, harga barang tersebut sedang naik dan keuntungan si pedagang sangat menipis. Salah satu barang yang saya ingat saat nenek gagal transaksi adalah bawang merah dan bawang putih. Saat itu memang sedang terjadi kelangkaan bawang merah dan putih sehingga harganya meroket. Banyak pedagang bawang di Pasar Mergan yang masih kukuh tidak memberikan barang dagangannya meski ditawar dengan alot.

Pedagang kerupuk sedang menimbang dagangannya


Dibandingkan pasar lain di Kota Malang, kondisi Pasar Mergan terbilang kumuh. Entah apa apa alasannya, yang jelas saya selalu menutup hidung saat berbelanja di sana, terutama di daerah pedagang ikan dan daging. Aduh, baunya sampai sekarang masih saya ingat. Apalagi nenek saya gemar makan jerohan yang baunya sangat khas. Walau demikian, saya senang saja menemani nenek belanja karena pasti akan dibelikan mainan atau jajan.

Pembersih piring jadul yang masih bisa ditemui

Mainan yang paling saya ingat adalah mainan bebek dari malam yang dimasukkan air berwarna hijau. Harganya seribu rupiah saat itu. Rasanya senang sekali kalau dibelikan mainan yang sebenarnya mudah sekali untuk rusak. Kalau tidak, biasanya ibu saya berpesan pada nenek agar saya dibelikan mainan yang lebih awet seperti yoyo. Kadangkala, saya malah dibelikan nenek celengan ayam atau gentong agar saya gemar menabung.

Untuk jajan sendiri, biasanya saya dibelikan jajanan satu renteng. Mulai dari anak emas, krip-krip, MM, atau jajanan jadul lain yang kini sudah punah. Nenek membelikan satu renteng karena di sana tidak menjual dalam bentuk eceran. Lumayan harganya lebih murah dan saya tidak jajan selama beberapa hari. Kadang-kadang nenek juga membelikan jajanan tradisional seperti utri, cenil, lupis, atau onde-onde.

Tukang selep yang sering jadi jujugan

Bagian lain yang masih saya ingat di Pasar Mergan adalah pedagang mie mentah dan kulit pangsit. Biasanya kalau nenek ingin membut bakso atau rujak bakso, saya diajak ke sana. Saya sangat takjub dengan kemampuan seorang bapak pedagang yang memotong dan menimbang mie dengan cepat. Tangannay begitu lincah melayani pembeli secepat dan setepat mungkin. Sayang, bapak tersebut tidak berjualan lagi sekarang karena sudah sangat tua dan tidak ada lagi yang menggantikan. Padahal, banyak pedagang bakso dan mie yang kulakan di bapak tersebut.

Kalau musim lebaran dan kupatan, maka Pasar Mergan sangat padat. Banyak pedagang lontong dan ketupat berjualan sampai ke pinggir jalan raya. Meski sering ditertibkan oleh Satpol PP, tetapi tetap saja mereka masih mengais rezeki. Belum lagi tambahan dari pedagang kelapa atau janur yang juga menyesaki jalan.

Untungnya, kini Pasar Mergan sudah lumayan lebih baik setelah direvitalisasi. Untung juga Pasar Mergan tidak dibiarkan kumuh dan tak terawatt seperti Pasar Gadang. Kalau ke Pasar Gadang saya malah menyerah karena saking jorok dan kumuhnya, perut saya langsung mual. Pedagang juga sudah cukup tertib dalam menjaga kebersihan. Tak ada lagi sampah menumpuk di pinggir jalan seperti dulu. Makanya, kini saya cukup betah untuk berlama-lama di sana.

Post a Comment

Next Post Previous Post