Ilustrasi |
Salah satu alasan saya senang datang ke Solo adalah bisa bertemu ibu-ibu penjual di Pasar Gede Solo.
Biasanya, mereka saya temui saat menunggu bus atau feeder
Batik Solo Trans (BST). Ketertarikan saya pada mereka bermula saat saya singgah
di sebuah halte di kawasan pinggiran Kota Solo. Di suatu pagi tersebut, saya
melihat beberapa ibu yang membawa dagangan dengan jumlah cukup banyak.
Ada yang membawa pisang, makanan tradisional, dan beberapa
dagangan lain. Mulanya, saya bertanya pada mereka mengenai rute BST yang akan
saya naiki. Walau saya sudah membaca peta integrasi transportasi di Solo, tetap
saja saya merasa ada yang kurang pas. Saya takut salah naik bus yang
menyebabkan waktu saya terbuang sia-sia.
Menggunakan bahasa Jawa krama alus, saya pun bertanya
mengenai rute BST. Tak dinyana, mereka semua hafal bahkan sampai kode armada
dan sopir yang mengendarai. Mereka menerangkan dengan jelas saya harus naik bus
dengan kode berapa dan turun di mana untuk menuju tempat yang ingin saya tuju.
Beberapa dari mereka malah menanyakan apakah saya punya kartu tol untuk melakukan pembayaran. Saya pun menunjukkan kartu tol milik saya yang disambut dengan antusias oleh mereka. Ketika saya memberi tahu pada mereka bahwa saya berasal dari Surabaya, mereka pun malah lebih antusias dan sangat hangat.
Perbincangan pun berlanjut saat kami naik bus. Kebetulan,
bus BST tidak memiliki sekat antara penumpang pria dan wanita. Jadi, saya bisa berbicara
dengan mereka selama di dalam bus. Saya bisa mengetahui kegiatan mereka yang
ternyata akan berdagang di Pasar Gede Solo.
Ternyata, mereka berasal dari Wonogiri, sebuah kabupaten di
selatan Solo. Mereka sudah berangkat pagi buta demi bisa berjualan di pasar
tersebut. Mereka naik bus bumel dari Wonogiri dan sampai di Halte BST tempat
saya pertama naik. Saya penasaran dengan barang jualan mereka.
Rupanya, ibu yang berjualan pisang menjual buah apapun yang
sedang masak. Tidak hanya buah, sayuran pun mereka bawa ke pasar. Kadang beliau
juga membawa telur bebak dan ayam jika ada hewan ternak dari tetangganya yang
bertelur. Sementara itu, ibu yang membawa masakan ternyata sudah memasak sejak
malam hari. Beliau dibantu anak bungsunya memasak dan sudah siap sbeelum subuh.
Selepas subuh, beliau langsung berangkat ke Solo.
Mereka pun berjualan di luar area Pasar Gede Solo karena
tidak memiliki lapak. Jika tidak pasar Gede, biasanya mereka berjualan di
beberapa pasar tradisional lain seperti Pasar Legi, Pasar Kliwon, dan pasar
lainnya. Waktu berjualan mereka biasanya sampai selepas zuhur. Setelah itu,
mereka langsung naik Trans Jateng arah Wonogiri dan tidak perlu oper lagi.
Meski tidak saya tanya, tetapi mereka bercerita kalau hasil
berjualan sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Daripada tidak bekerja dan
tidak ada kegiatan, mereka masih mau berjualan di tengah cuaca yang terik. Tak hanya
itu, salah seorang dari mereka berkata bahwa beberapa anaknya sudah kuliah dan
bekerja. Ada yang kuliah di ISI dan sering tampil di acara yang diselenggarakan
Pemkot Solo maupun Pura Mangkunegaran.
Saya melihat raut wajah bahagia dari mereka. Salah seorang
ibu juga berkata bahwa sebenarnya anak-anaknya sudah melarang dirinya untuk
berjualan. Namun, beliau mengatakan jika tidak ada aktivitas maka beliau akan
bosan dan stress. Makanya, beliau tetap ingin berjualan hingga nanti sudah
tidak kuat lagi berjalan.
Saya sangat trenyuh mendengar kisah mereka. Betapa perjuangan
untuk mencari nafkah walau usia sudah tua. Saya pernah membaca sebuah studi
bahwa masyarakat Indonesia yang berusia di atas 60 tahun ternyata masih banyak yang
bekerja. Alasan mereka bekerja, selain untuk kebutuhan ekonomi, juga untuk
mengisi masa tua mereka. Mereka tidak memikirkan berapa hasilnya yang penting
bisa berinteraksi dengan banyak orang maka akan bahagia.
Saya pun sependapat dengan hal itu karena saat ada seorang
lansia yang baru naik dari halte, mereka pun tampak bahagia menyambutnya. Bahkan
sang sopir pun juga sangat kenal dengan para penumpang yang naik dari mana saja.
Kegiatan ini sangat jarang saya jumpai di kota besar lain seperti Surabaya atau
bahkan Jakarta. Inilah yang menyebabkan daerah di Jawa Tengah dianggap nyaman
untuk ditinggali meski bisa dikatakan UMRnya sangat rendah.
Satu hal lagi yang saya pelajari dari ibu-ibu tersebut adalah
rasa setia kawan. Ternyata, mereka akan saling berangkat dan pulang bersama
walau ada salah satu diantara mereka yang barang dagangannya sudah habis. Kalau
saya sih akan sudah kepikiran segera pulang. Namun, ibu-ibu tersebut akan
saling menunggu di sebuah tempat. Biasanya, halte BST adalah tempat berkumpul
mereka untuk pulang.