Memaknai Frasa Setiap Kita Ibrahim

Ilustrasi. - Liputan 6

Minggu kemarin, kita sebagai umat muslim telah merayakan Hari Raya Idul Adha.

Hari raya ini mengajarkan kita untuk berbagi dan peduli pada sesama. Pada Hari Raya Kurban, umat muslim yang mampu akan mengurbakan sebagian hartanya berupa hewan ternak. Namun, sebenarnya esensinya tidak hanya sebatas itu.

Hari Raya Idul Adha mengandung makna bahwa setiap kita adalah Ibrahim. Kalau kita mendengar cerita tentang sejarah perayaan hari raya ini, tentu kita mengerti bagaimana Nabi Ibrahim begitu Ikhlas mengurbankan anaknya Ismail padahal kehadiran sang anak adalah hal yang sudah lama dinantikan.

Dalam khutbah yang saya dengarkan kemarin, saya mendengar khatib berkhurbah soal frasa setiap kita adalah Ibrahim. Keluarga, jabatan, dan kekayaan yang kita miliki adalah Ismail dalam diri kita. Jika dianalogikan dengan kisah Nabi Ibrahim tadi, Tuhan tidak menyuruh kita mengurbankan Ismail kita. Bukan keluarga, jabatan, atau kekayaan, tetapi kita harus mengurbankan rasa memiliki dari berbagai hal tersebut. 

Alasannya, Ismail tadi adalah milik Tuhan yang bisa saja diambil kapan saja. Nah, kunci dari frasa setiap dari kita adalah Ibrahim adalah bagaimana kita sebagai manusia bisa membunuh dan mengorbankan rasa memiliki akan apa yang kita miliki tadi. Jika kita bisa Ikhlas mengorbankan apa yang kita miliki, maka kita bisa menerima dengan lapang hati jika semuanya diambil oleh Tuhan.

Tentu, sebagai manusia biasa kita akan sulit melakukannya. Nabi Ibrahim saja sempat galau apakah ia benar-benar akan mengorbankan anaknya Ismail. Agar terbiasa untuk memiliki rasa Ikhlas, tentu cara terbaik adalah bersedekah di sepanjang bulan kita hidup.

Bersedekah tak hanya melulu soal materi. Bisa tenaga, waktu, dan pikiran. Kuncinya adalah rasa Ikhlas dan nyaman saat kita melakukannya. Tidak merasa terbebani dan menjadi latihan untuk berkurban.

Sebagai contoh, bersedekah menyeberangkan orang tua di jalan. Bersedekah mempromosikan dagangan teman yang sedang merintis usaha. Bersedekah memberi bantuan kepada orang yang bertanya dan kesulitan. Meskipun kelihatannya sepele, tetapi bisa melatih dan membuat kita terbiasa untuk membunuh rasa memiliki.

Sedekah lain yang bisa kita lakukan adalah sedekah senyum dan sapaan. Mungkin kita pernah atau sering mendengar bahwa senyum adalah sedekah. Boleh percaya atau tidak, ketika kita mendapatkan senyuman atau sapaan dari orang lain, maka kita akan merasa bahagia. Entah saudara, tetangga, atau orang yang tidak kita kenal. Saat hati sedang tidak enak, mendapat senyuman dan sapaan seperti itu rasanya sangat menyenangkan.

Hati menjadi gembira kembali dan bersemangat. Pun jika kita melakukannya pada orang lain, maka orang tersebut juga akan merasa bahagia. Saya sudah membuktikan sendiri ketika pergi bekerja dan mendapat senyuman dari orang yang berada di halte atau bus. Rasanya bahagia dan jadi semangat. Senyum dan sapaan juga bisa kita lakukan setiap hari dan tidak perlu kita anggarkan tiap bulan.

Sayangnya, tidak banyak orang menyadari bahwa mereka bisa bersedekah dengan cara yang mudah. Banyak orang yang masih berorientasi pada materi untuk bersedekah. Alhasil, mereka tidak mau melakukan hal-hal sederhana yang sebenarnya adalah kegiatan sedekah.

Sedekah yang paling sedehana lainnya adalah menunjukkan jalan. Saat orang bertanya atau tersesat, maka memberi petunjuk jalan juga termasuk sedekah. Rasulullah SAW bersabda,
"Memberikan petunjuk kepada orang yang tersesat adalah sedekah bagimu. Menunjukkan orang yang kurang baik penglihatannya adalah sedekah bagimu." (HR At Tirmidzi).

Dari hadist tersebut, tampak bahwa pentingnya memberi petunjuk jalan pada orang yang tidak tahu jalan atau tersesat juga bagian dari sedekah. Makanya, saya konsisten membuat konten naik kendaraan umum dan menjawab pertanyaan yang masuk. Saya berpikir orang yang bertanya barangkali amat sangat membutuhkan. Terlebih, jika pertanyaan diawali dengan kalimat mohon dibantu dan seterusnya. Makanya, saya bersedekah meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan tersebut sebisa saya.

Ada rasa bahagia dan bangga ketika sudah selesai melakukannya. Rasa ini akan terus-menerus tumbuh sehingga mulai berkurang keinginan mempertahankan apa yang kita miliki. Contohnya, semisal ada barang saya yang rusak meski baru beli, sekarang sudah biasa tak sekecewa dulu. Ya wis mau bagaimana lagi.

Makanya, kembali pada frasa awal tadi, dengan berlatih bersedekah secara rutin, maka kita akan bisa menjadi Ibrahim yang dengan rela melepas Ismail. Namanya manusia pasti ada keinginan tetapi jika tidak dilatih rasanya akan sulit.


Post a Comment

Next Post Previous Post