Ilustrasi. - https://www.doersempire.com/ |
Mungkin saya adalah orang yang cukup terlambat untuk mengembangkan channel YouTube.
Betapa tidak, saya baru saja memulai untuk membangun channel YouTube saat platform ini mulai turun parmornya dan terpuruk. Saat ada platform lain yang dipercaya bisa menyaingi platform milik Google tersebut. Bahkan, ada beberapa orang di sekitar saya memandang remeh apa yang saya lakukan. Mereka mempertanyakan saya dengan sebuah pertanyaan klasik:
“Hari gini masih nge-Youtube?”
Pertanyaan mereka memang tidak salah. Satu per satu orang
yang dulu menekuni YouTube mulai beralih ke TikTok. Polanya sama saat blog mulai
ditinggalkan dan beralih ke YouTube. Akun-akun besar yang dulunya ramai
pengunjung kini mulai sepi. Video yang dulu bisa mencapai views hingga jutaan
kini bisa sampai seratus ribu saja rasanya sudah sangat sulit. Bahkan, ada beberapa
channel YouTube yang jumlah pengikutunya jutaan tetapi video yang baru tayang hanya
bisa mendapat ratusan pemirsa saja.
Tak hanya itu, dalam sebuha grup YouTuber yang saya ikuti,
banyak YouTuber yang menjual akun YouTube-nya dengan harga murah. Kebanyakan sedang
butuh uang dan berfokus pada kegiatan lain. Ada juga para mantan YouTuber yang
menyarankan untuk berpindah ke platform lain semisal TikTok, Snack Video, atau
FB.
Saya memang menyadari cukup terlambat dalam mengembangkan
channel YouTube. Saya merasakan sendiri perjuangan untuk mendapatkan
monetisasi. Untuk mengejar 1.000 subscriber dan 4.000 jam tayang. Rasanya lama
sekali. Saya hitung hampir setahun lebih sejak Desember 2022 sampai Januari
2023 baru saya dapatkan status monetisasi.
Walau terlambat, saya masih merasa tidak ada salahnya mengejar
monetisasi dan pendapatan dari YouTube. Tidak ada salahnya untuk berkreasi dan
bermanfaat bagi sesama melalui channel YouTube yang saya kembangkan. Ada tiga
alasan mengapa saya merasa sebenarnya tidak terlambat untuk melakukan hal tersebut.
Pertama, saya yakin orang masih butuh YouTube untuk mencari
informasi. Sama dengan blog yang tidak saya tinggalkan hingga sekarang, YouTube
masih akan menjadi sumber informasi bagi banyak orang. YouTube akan menjadi
sebuah platform yang akan dilihat orang sampai kapan pun.
Walau ada TikTok, tentu YouTube memiliki banyak kelebihan. Video
yang lebih panjang, gambar yang lebih bagus, suara yang lebih jernih, dan
sederet keunggulan lain membuat orang lebih memilih TikTok. Algortima mesin
pencarian pada YouTube lebih mudah untuk menampilkan hasil yang diinginkan
pengguna daripada TikTok.
Saya lebih leluasa berkreasi dalam YouTube dibandingkan
TikTok. Video-video saya lebih mudah muncul dalam mesin pencarian dibandingkan
TikTok yang suka asal dalam menampilkan kata kunci. Maka dari itu, saya masih
menganggap YouTube lebih bisa diandalkan dibandingkan TikTok.
Beberapa penonton video saya, sekitar 25% adalah mereka yang
berusia 40 tahun ke atas. Kebanyakan dari usia tersebut lebih memilih YouTube
karena lebih jelas. Mereka butuh informasi yang dipaparkan secara gamblang,
runut, dan lengkap. Beda dengan TikTok yang seakan konten kreatornya dikejar
kereta saat menjelaskan sesuatu sehingg sering timbul mispersepsi.
Kedua, saya merasa konten yang saya buat sebagian besar
adalah konten evergreen. Konten yang selalu dicari oleh banyak orang. Kebetulan,
konten yang saya buat adalah konten seputar panduan rute transportasi umum. Saya
yakin konten semacam ini akan selalu dicari oleh banyak orang terlebih bagi
mereka yang berasal dari luar kota atau baru pertama kali naik angkutan umum.
Dengan membuat konten evergreen, maka saya merasa tidak ada
kata terlambat untuk melakukan hal tersebut. Tidak ada patokan dalam masa
sekian saya harus sudah mencapai sekian. Saya hanya fokus mencari apa yang
menjadi pertanyaan dari pemirsa untuk pembuatan konten selanjutnya.
Ketiga, tidak ada batasan usia dalam membuat channel YouTube
terkecuali untuk anak-anak. Artinya, saya tidak merasa terlambat untuk memulai
dan mengembangkan channel YouTube. Bahkan, ada beberapa lansia yang menggunakan
waktu senja mereka untuk berkarya lewat YouTube. Kalau mereka saja merasa masih
tidak terlambat, mengapa saya merasa terlambat?
Di usia 30an yang dianggap usia terlambat, dalam kaitannya
dengan YouTube, saya malah bisa menjadi jembatan antara dua generasi berbeda. Saya
bisa melemparkan isu terkini seputar transportasi umum kepada pemisra yang usianya
di bawah saya dan juga di atas saya. Dari isu yang secara konsisten saya
berikan melalui laman komunitas, ternyata ada banyak insight yang saya dapatkan
soal pengembangan transportasi umum.
Semisal, soal pengembangan rute KRL di Surabaya yang
rencananya dimulai tahun 2025 mendatang. Pemirsa usia muda terutama yang pernah
ke Jakarta mengatakan proyek tersebut sangat terlambat mengingat Surabaya
adalah kota metropolitan dengan penduduknya yang padat. Namun, bagi generasi di
atas saya, mereka mengatakan belum terlambat untuk memulai proyek strategis
nasional tersebut karena semuanya butuh perencanaan matang.
Dari berbagai perspektif tersebut, saya merasa lambat atau
tidaknya kita dalam memulai sesuatu adalah sebuah persepsi. Semuanya akan
berjalan beriringan dan akan sampai pada tujuan yang diharapkan. Syaratnya,
dilakukan dengan konsisten dan komitmen kuat.
Jadi, semuanya bukan masalah terlambat atau tidak terlambat. Asal ada komitmen kuat dan konsisten, maka hasil yang diharapkan akan tercapai. Bukankah banyak negara baru merdeka sudah cukup maju peradabannya dibandingkan negara kita? Vietnam misalnya. Saat tahun 70an mereka masih bergelut dengan perang dan sekarang banyak pabrik berskala internasional besar mulai dibangun di sana dan tidak jadi dibangun di Indonesia.