Ilustrasi. - Dok. Istimewa |
Pertanyaan tersebut muncul dari seorang warga Twitter beberapa waktu yang lalu.
Pertanyaan yang sebenarnya bisa memicu kontoversi karena
sebagai orang muslim Indonesia, sedari kecil kita diberi pemahaman mudik dan
lebaran adalah hal yang menyenangkan. Penuh sukacita dan kegembiraan menyambut
datangnya hari raya Idulfitri yang datangnya hanya setahun sekali.
Mudik dan lebaran menjadi tradisi wajib bagi hampir sebagian
besar orang muslim Indonesia yang menyebabkan perputaran ekonomi luar biasa.
Kegiatan ekonomi yang lesu beberapa waktu terakhir kembali bergairah akibat
mudik. Berbagai aktivitas ekonomi yang semula biasa-biasa saja kini kembali
bangkit. Bahkan, banyak pihak yang kecipratan rezeki akibat mudik dan momen
lebaran.
Tak hanya itu, momen mudik dan lebaran menjadi momen yang
tepat untuk berkumpul bersama keluarga besar. Momen ini hanya bisa dilakukan
setahun sekali karena waktu libur panjang ditambah cuti lebaran hanya ada saat
lebaran. Momen ini juga menjadi momen untuk bersilaturahmi dengan banyak
kerabat handai taulan yang mustahil dilakukan saat hari biasa.
Namun ternyata, tak semua orang merasa bahagia ketika mudik
dan lebaran tiba. Banyak juga yang merasa momen setahun sekali tersebut
merupakan momen paling berat dan menjadi beban. Terutama, bagi mereka yang
masih berjuang di perantauan.
Mudik dan lebaran menjadi momok bagi mereka karena selama ini mereka harus berkutat pada pergumulan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari di perantauan. Mudik dan lebaran akan memakan ongkos yang luar biasa besar.
Walau sudah mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR), tetapi tentu dengan kenaikan harga tiket dan barang sekarang, banyak yang merasa tifak cukup. Mereka harus merogoh kocek dari gaji bulanan agar kegiatan mudik dan lebaran bisa terpenuhi.
Untuk melakukan mudik, tentu perlu ongkos biaya perjalanan
yang tak sedikit. Kalau seperti saya yang mudiknya seminggu sekali dari
Surabaya ke Malang sih tak masalah. Paling banter saya hanya mengeluarkan uang
50 ribu rupiah untuk bus dan ojek. Itu kadang saya mendapat tebengan naik motor
sampai rumah sehingga tak sampai 30 ribu rupiah saya keluarkan untuk pulang.
Bagaimana jika kegiatan itu dilakukan para pekerja yang
rumahnya sangat jauh dari perantauan? Rekan saya misalnya, ia harus pulang ke
Kota Langsa, Aceh untuk mudik dari Surabaya. Saat saya tanya harga tiket ke
Langsa dari Surabaya, saya pun mengelus dada.
Mudik pun menjadi sebuah beban finansial yang membuat banyak
perantau seakan enggan melakukannya. Terlebih, harga tiket transportasi umum
saat lebaran naiknya gila-gilaan. Kalau ingin mudik dengan kendaraan pribadi
pun rasanya harus siap dengan kemacetan yang akan mengintai.
Walau dari sisi finansial mudik dan lebaran saat ini menjadi
beban dan tidak menyenangkan bagi orang dewasa, sesungguhnya bukan itu alasan
keduanya tak lagi menyenangkan. Alasan utamanya adalah hubungan dengan keluarga
besar yang tak senyaman saat masih kecil atau remaja dulu.
Saat kecil atau remaja dulu, mudik adalah sesuatu yang
menyenangkan karena bisa bertemu saudara jauh. Entah paman bibi, sepupu, kakek
nenek, dan lain sebagainya. Mereka akan menunggu kehadiran kita karena jarang
sekali bertemu.
Saya ingat ada saudara jauh yang sangat merindukan kehadiran
saya untuk mudik. Ia bahkan memasak makanan kesukaan saya berupa sambal goreng
tempe dan ati yang jarang saya makan sebelumnya. Saat saya datang, saya pun
disambut dengan heboh dan luar biasa. Pipi saya dicium dan kepala saya
dielus-elus. Saudara saya tersebut memang tidak memiliki putera. Makanya,
setiap kehadiran saya, ia begitu menantikan. Sayang, saudara say aini sudah
meninggal sekitar 15 tahun yang lalu. Alhasil, tak ada lagi yang menyambut saya
dengan heboh semacam itu.
Hilangnya momen ini juga menjadikan alasan bahwa mudik dan
lebaran saat dewasa tak lagi menyenangkan. Apalagi, saat dewasa, kita mungkin
sering disuguhi drama-drama keluarga besar yang membuat pikiran semakin tidak
nyaman.
Salah satu drama yang sering terjadi adalah perebutan
warisan. Suka atau tidak, di setiap keluarga besar ada saja anggota yang
serakah dan ingin menang sendiri. Padahal, masalah warisan ini jika dibicarakan
baik-baik akan membuat hubungan kekeluargaan tetap terjalin baik.
Saat kecil dulu, kita akan dijauhkan orang tua untuk tahu
dari masalah seperti ini. dengan berjalannya waktu, maka kita akan tahu sendiri
dan mengerti bahwa tidak semua anggota keluarga besar itu baik. Pasti ada satu
dua yang bertabiat buruk dan menyebabkan hubungan keluarga menjadi renggang
sehingga membuat mudik tak lagi menyenangkan.
Saya sendiri tidak begitu peduli pada urusan warisan
keluarga dan sejenisnya. Kalau semisal dapat ya alhamdulillah kalau tidak ya
tidak masalah. Saya tetap memegang ajaran Bung Karno, Berdikari alias berdiri
di atas kaki sendiri. Harta benda yang saya gunakan ya apa yang saya dapat dari
jerih payah saya sendiri.
Alasan terakhir mudik dan lebaran tak lagi menyenangkan
adalah sudah meninggalnya sesepuh keluarga seperti kakek dan nenek. Dulu saya
menantikan mudik karena nenek saya sudah risau sebulan sebelum lebaran
menelepon apakah keluarga saya mudik. Bahkan saat takbiran pun beliau terus
menelepon untuk memastikan kehadiran saya dan keluarga.
Setelah nenek saya meninggal, praktis tidak ada lagi yang
menelepon saya. Alhasil, meski ada acara keluarga besar, karena sudah tidak ada
lagi nenek, rasanya sudah beda. Saya pun mulai malasa untuk melakukan mudik. Tahun
kemarin saja saya tidak mudik dan entah tahun ini mudik atau tidak.
Itulah beberapa alasan kenapa makin dewasa mudik dan lebaran
menjadi tidak menyenangkan. Semua kembali kepada pribadi masing-masing. Yang jelas,
kata orang jawa jangan sampai kepaten obor atau terputus tali silaturahmi. Tak harus
mudik, dengan kecanggihan teknologi saat ini kita bisa melakukan mudik online
dengan keluarga besar jika kondisi tak memungkinkan.