Ilustrasi. - Gramedia.net |
Saat ini, kita mudah sekali untuk mendapatkan informasi dan belajar sejarah.
Melalui blog, web, Youtibe, atau TikTok, berbagai peristiwa
sejarah pun bisa kita pelajari dengan mudah. Bahkan, ada sebuah akun di TikTok
bernama Ponds 5 News selalu update memberikan konten video sejarah masa lalu. Baik
saat zaman penjajahan, orde lama, orde abru, reformasi, atau beberapa waktu
belakangan.
Dengan backsound “Papa Pilih Mantanku”, rasanya otak dan
perasaan ini serasa diajak bernostalgia terhadap peristiwa masa lalu. Kadang,
saat peristiwa tersebut pernah kita ketahui meski masih bocil, rasanya
nostalgia itu terasa benar-benar dekat. Contohnya, saat ada video pelaku
pengeboman bom bali yang masih baru saja tertangkap. Walau sudah berlangsung 20
tahunan, tetapi seakan terasa masih kemarin.
Dalam media Instagram serta twitter, ada sebuah akun yang
memberikan informasi sejarah. Tidak perlu saya sebutkan namanya, yang jelas
akun ini mulai berkembang pesat beberapa waktu terakhir. Persatnya perkembangan
akun tersebut tak lepas dari pengolahan tata cara penyampaian materi sejarah
kepada khalayak. Biasanya, materi sejarah disajikan dengan cukup berat sehingga
membuat orang mengantuk dan tak tertarik. Namun, akun tersebut bisa
menyampaikannya secara enak, mudah dipahami, dan asyik.
Banyak warganet, terutama kawula muda tertarik dengan akun
tersebut. Setiap unggahan yang mereka tayangkan selalu ramai. Pro kontra dan
diskusi pun mengalir dengan deras. Untuk menunjang kegiatan belajar sejarah,
maka sang admin pun juga berjualan buku sejarah yang mereka buat sendiri. Isinya
pun tak main-main membahas berbagai hal seputar sejarah populer yang cukup
diminati. Salah satunya adalah masalah kemerdekaan Palestina.
Tak hanya buku, akun tersebut juga berjualan berbagai
marchendise seputar sejarah yang cukup diminati. Tentu, para penikmatnya
semakin lama semakin banyak. Saya sendiri pun juga mulanya juga sangat tertarik
dengan ilustrasi dan narasi sejarah yang dipaparkan.
Namun, pada beberapa kesempatan, saya akhirnya mulai
mempertanyakan kredibiltas dari artikel yang mereka tulis. Diantara berbagai
pertanyaan tersebut, satu narasi yang akhirnya menjadi tand bahwa saya harus
mengakhiri untuk mengikuti mereka adalah soal penggunaan naskhal Wangsakarta.
Beberapa waktu yang lalu, akun tersebut mengangkat sebuah
tema sejarah dan menggunakan naskah Wangsakarta sebagai rujukan utama. Sontak saja,
unggahan tersebut banyak mendapat kontra dari pembaca terutama yang paham
sejarah.
Naskah ini disusun sekitar abad ke-17 tetapi banyak yang
menduga malah ditulis pada abad ke-20. Banyak sekali kontradiksi dalam naskah
ini yang diperdebatkan. Kontradiksi paling tertolak adalah adanya Kerajaan
Salakanegara yang dianggap sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Lebih tua dari
Tarumanegara atau Kutai sekalipun. Kedua kerajaan tersebut memang telah
terbukti kebenarannya karena terdapat sumber sejarah berupa prasasti dan sumber
sejarah primer lainnya. Namun, untuk Kerajaan Salakanegara hingga kini masih
belum ada sumber sejarah primer yang berhasil ditemukan.
Tertolaknya naskah Wangsakarta sebagai rujukan sejarah
seharusnya dapat digunakan sebagai acuan dalam penyampaian informasi sejarah. Artinya,
jangan sekali-kali menggunakan naskah tersebut sebagai satu-satunya sumber
sajarah yang kredibel untuk sebuah informasi. Kalau pun ingin menggunakannya,
tentu harus diberi tambahan narasi bahwa sumber sejarah tersebut masih belum
teruji kebenarannya.
Contoh utamanya adalah beberapa dinasti Tiongkok yang masih
dianggap sebagai mitologi. Beberapa dinasti tersebut tetap ditulis dalam buku
sejarah yang saya pelajari di bangku SMP dulu. Namun, sang penulis memberikan
keterangan bahwa dinasti tersebut masih merupakan mitologi. Belum ada sumber sejarah
yang bisa dibuktikan sehingga belum dapat dikatakan sebagai dinasti yang pernah
memerintah Tiongkok.
Seharusnya, penulis utasan atau informasi yang diunggah bisa
memberikan informasi seperti apa yang dilakukan oleh penulis buku sejarah tadi.
Bukan memberikan sebuah kepastian tentang hal yang belum pasti kebenarannya. Alhasil,
berbagai kecaman pun diberikan kepada penulis utasan tersebut dan akhirnya admin
akun tersebut meminta maaf.
Dari kejadian ini, kita bisa belajar bahwa memang belajar
sejarah tidak semudah itu. Meski bukan berarti akhirnya kita malas belajar
sejarah, tetapi setidaknya kita bersikap kritis atas sumber sajarah yang
digunakan dalam penulisan sejarah yang dilakukan.
Ada satu tahapan paling penting dalam penulisan sejarah. Tahapan
ini adalah tahapan utama dan pertama. Tahapan yang dimaksud adalah tahapan heuristik.
Heuristik merupakan proses pengumpulan informasi atau pengumpulan sumber untuk
penelitian sejarah yang dilakukan. Sumber primer dan sekunder menjadi dasar
dari penulisan sejarah.
Setelah mendapatkan sumber, tentu tahapan kedua juga tak
kalah penting. Tahapan tersebut adalah verifikasi atau kritik sumber. Dalam tahapan
ini, penulis harus mengecek apakah sumber yang mereka dapat benar-benar
kredibel atau benar. Rujukan kepada para penulis, peneliti, dan kademisi
sejarah sangat penting agar tulisan sejarah yang diunggah tidak salah. Walau
ada adagium sejarah bisa dibelokkan, tetapi tentu melakukan kritik sumber harus
tetap dilakukan. Lantaran, pasti ada penelitian yang telah dilakukan oleh
mereka yang ahli di bidangnya.
Selain kritik sumber, verifikasi internal juga amat perlu. Sebelum
tayang, alangkah baiknya tulisan konten dicek terlebih dahulu apakah ada narasi
yang maish kurang tepat. Untuk itulah, cross chek harus dilakukan secara
berulang. Bukan asal main cepat tayang akhirnya berujung blunder.
Mengenalkan sejarah dengan asyik dan menyenangkan memang tidak mudah. Penggunaan meme, ilustrasi menarik, dan hal lain juga tidak salah. Meski demikian, bukan berarti lantas mengaburkan fakta bahwa sejarah memang perlu dicek dan diteliti kebenarannya. Bahkan, sebuah informasi sejarah yang sudah dianggap benar dan teruji oleh banyak pihak bisa saja salah ketika ada sumber sejarah baru yang ditemukan dan dianggap lebih valid.