Satu pick up berisi bocil simpatisan PPP pada kampanye Pemilu 1992. - Dok. Kompas id. |
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil pileg dan pilpres 2014.
Selain mengumumkan pasangan 02 sebagai capres dan cawapres
terpilih, KPU juga mengumumkan jumlah dan persentase suara sah partai politik.
KPU juga menetapkan ada 8 partai politik yang lolos ke parlemen dan berhak atas
kursi di DPR RI. Kedelapan partai tersebut adalah PDIP, Golkar, Gerindra, PKB,
Nasdem, PKS, Demokrat, dan PAN.
Jumlah partai yang lolos parlemen berkurang satu buah.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) gagal masuk senayan karena tidak memenuhi
ambang batas 4% suara sah nasional. Seluruh suara PPP dianggap hangus dan semua
calegnya yang lolos kursinya dialihkan ke partai lain. Untuk pertama kali, PPP
gagal masuk ke senayan karena jumlah suara sah mereka hanya 3,87%. Kurang
sekitar 0,13% atau sekitar 200 ribuan suara.
Menyesakkan memang karena dibandingkan partai lain yang
jumlah suaranya lebih kecil, PPP lebih berpeluang. Beberapa caleg PPP juga
mendulang suara yang sangat banyak. Beberapa kota yang menjadi basis PPP juga
masih dikuasai oleh partai berlambang ka’bah ini. Kecewaan pun bisa dimaklumi
karena jika diandaikan seperti ulangan, partai ini hampir mencapai KKM.
Meski bukan pemilih dan simpatisan PPP, tetapi saya juga
sedih melihat PPP gagal lolos ke parlemen. Kalau partainya “sang pangeran”
(ehem tidak perlu saya sebut namanya), saya sih malah hepi dan senang. Untuk
PPP, rasanya ada kenangan memori masa kecil yang tak terlupakan. Bagaimana pun,
PPP adalah partai politik yang pertama saya kenal, pertama kali saya lihat
kampanyenya, dan pertama kali berharap untuk kemenangannya.
Semua berawal dari kampanye Pemilu 1997. Saya yang masih
bocil dan duduk di bangku kelas 1 SD belum paham apa itu kampanye, partai
politik, dan pemilu. Saya masih ingat di suatu pagi, ada banyak sekali kertas
berwana merah bergambar banteng, kuning bergambar pohon beringin, dan hijau
bergambar bintang memenuhi tembok di dekat rumah.
Saya bertanya kepada orang dewasa terdekat mengapa banyak
sekali gambar seperti sila-sila dalam Pancasila. Saya kira akan ada acara
Agustusan tetapi kok saat itu masih bulan Mei 1997. Ternyata, saya baru paham
akan ada pemilu. Orang dewasa akan mencoblos tiga tanda gambar tadi di sebuah
bilik. Nah, sebelum mencoblos, selama sebulanan orang-orang akan berkeliling
dengan memakai baju dan atribut dengan tiga tanda gambar tadi.
Diantara tiga tanda gambar tersebut, saya pertama kali
sering bersinggungan dengan tanda gambar bintang. Mulanya, teman-teman mengaji
mengajak saya untuk membeli ikat kepala dengan tanda gambar bintang. Saya
sempat bertanya kenapa tidak membeli tanda gambar beringin atau kepala banteng.
Teman ngaji yang saat itu sudah SMP menjelaskan bahwa kalau kita ngaji ya
pakainya gambar bintang.
Ikat kepala PPP. - Dok. Kompas Id. |
Gambar bintang itu sesuai sila pertama Ketuhanan Yang Maha
Esa. Jadi, pokoknya kalau ngaji kudu pakai gambar bintang. Bahkan, ada teman
lagi yang mengatakan kalau gambar beringin itu tempatnya setan beranak. Kalau
gambar kepala banteng identik dengan kalap bantengan. Tentu, anak sekecil itu
tidak akan bisa membantah dan akan ikut apa yang dilakukan oleh teman-temannya.
Alhasil, saya pun ikut membeli ikat kepala PPP ke seorang “lek” atau penjual mainan. Saya masih ingat si “lek” tadi hanya menjual ikat kepala PPP. Ada yang bertuliskan “PPP YES PPP OKE”. Ada yang bertuliskan “PPP Oke Islam Yes” dan sederet slogan lain. Harga satu ikat kepala PPP kalau tak salah antara 300 sampai 1.000 rupiah. Setelah membeli ikat kepala, maka kegiatan selanjutnya adalah main “kampanye-kampanyean”.
Anak-anak bergabung dengan massa orang dewasa dalam sebuah kampanye PPP 1997. - Dok. Kompas Id. |
Saya dan teman-teman
ngaji berkeliling kampung dengan sepeda yang bagian ban belakangnya diberi
gelas bekas air mineral. Tujuannya apalagi kalau tidak menirukan suara knalpot
seperti orang dewasa lakukan saat kampanye PPP. Entah siapa yang memulai,
tetapi saya ikut saja saat itu.
Menyanyikan yel-yel PPP dan tentu saja sesekali mengejek dua
OPP lain, rasanya berkampanya untuk PPP adalah sebuah kebahagiaan bocil-bocil
tahun 1997. Memakai ikat kepala PPP seakan menunjukkan eksistensi diri bahwa
kita sebagai bocil juga bisa melakukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa
walau tentu substansi kampanye politik itu apa belum paham. Yang penting ikut
teman-teman ngaji dan bangga bisa mengenakan ikat kepala sambil berteriak
keliling kampung.
Saat kampanye sungguhan, saya pernah melihat sebanyak dua
kali di pinggir jalan raya. Ibu saya mewanti-wanti agat tidak ikut rombongan
kampanye apalagi naik truck atau pick up. Beliau yang riweh dengan adik saya
yang masih bayi memperbolehkan saya melihat kampanye PPP dari pinggir jalan dan
segera pulang jika ada orang berkelahi. Itu saja pesan beliau selain melarang
saya untuk mengecat rambut dan muka dengan cat warna hijau. Kalau memakai ikat
kepala masih boleh.
Satu buah truk berisi penuh massa PPP dengan beberapa anak-anak di dalamnya pada Kampanye Pemilu 1997. Ibu saya melarang keras untuk naik truk semacam ini. - Dok. Kompas Id. |
Melihat kampanye PPP memang sangat mengasyikkan. Rasanya
sama seperti melihat karnaval 17an. Saya ikut berjoged ketika orang-orang
dengan baju hijau satu truck menyetel musik keras. Padahal, musik yang diputar
semacam lagu dangdut milik Rama Aipama. Saya juga mengacungkan jari telunjuk
sebagai simbol angka 1, nomor urut PPP pada Pemilu 1997. Saat ada peserta
kampanye juga mengacungkan jari telunjuk, rasanya euforia kampanye PPP sangat
bisa saya rasakan hingga sekarang. Euforia sebuah partai politik yang pernah
besar pada masanya meski banyak massa adalah bocil-bocil.
Nah, pertanyaannya, mengapa bocil-bocil yang dulu
berkampanye untuk PPP yang kini berusia kepala 3 tidak mau memilih PPP?
Pertanyaan ini sebenarnya gampang-gampang susah dijawab. Tentu, para pemerhati
politik lebih bisa menjawab. Namun, sebagai Generasi 90an, saya melihat PPP
sudah terlalu menyimpang jauh dari apa yang mereka jual pada masa lalu.
Bocil-bocil generasi 90an yang sempat merasakan euforia kebesaran PPP tentu
banyak yang menanggap partai ini sudah kuno dan tidak bisa menjawab masalah
bangsa saat ini.
Seorang balita ikut mengibarkan bendera PPP pada Kampanye Pemilu 1992. Mungkin usianya saat ini menjelang 40 tahun. - Dok. Kompas Id. |
Apalagi, saat mulai pertama kali menggunakan hak pilih
sekitar Pemilu 2009, nama besar PPP sudah mulai surut. PPP juga kurang bisa
merangkul pemilih pemula – bocil-bocil yang ikut kampanye PPP 1997 – untuk
memilih partai yang lambangnya sudah kembali menjadi ka’bah lagi tersebut.
Kenangan akan PPP adalah kenangan masa lalu dan banyak yang menganggap sudah
ada partai lain yang bisa merepresentasikan suara mereka. Kenangan yang bisa
diulang kembali dengan menonton video lawas kampanye PPP dengan backsound musik:
“Papa Pilih Mantanku….."