Ilustrasi - Bawaslu |
Gelaran pilpres dan pileg sudah usai.
Hasilnya sudah kita ketahui bersama siapa saja pemenangnya. Tak
hanya pilpres, partai mana saja yang lolos ke parlemen juga sudah kita ketahui.
Ada partai yang tetap lolos, ada yang terlempar dari senayan, dan ada yang
harus gigit jari tak bisa menembus senayan meski sudah menggelontorkan dana
besar.
Nah, di balik gagal dan berhasilnya partai lolos ke senayan,
tentu peran calon anggota legislatif (caleg) sangat penting. Merekalah ujung tombak
partai yang akan menentukan apakah partainya mendapatkan kursi di parlemen atau
tidak.
Salah satu usaha yang dilakukan adalah melakukan serangan
fajar alias membagikan uang beberapa saat menjelang pencoblosan. Walau serangan
fajar sangat dilarang dan akan mendapat sanksi tegas, tetap saja kegiatan ini
seperti mafhum dilakukan dan diterima masyarakat. Termasuk, di daerah saya
sendiri.
Di lingkungan rumah saya, tahun ini bisa dikatakan tahun
paling basah warganya mendapat serangan fajar. Alasannya, cukup banyak warga
sekitar yang nyaleg dan tentunya ingin meraup suara warga. Biasanya, alasan
kedekatan dengan lingkungan yang menjadikan mereka berani untuk melakukan
serangan fajar. Wong tetangga sendiri, masak tidak mau memilih padahal sudah
diberi uang?
Uniknya, saya pernah mendengar jumlah serangan fajar yang
diperbolehkan. Saya kurang tahu pasti kebenaran cerita ini karena saya
mendengarnya saat membeli makanan. Ada beberapa orang yang bercerita bahwa
harga pasaran serangan fajar saat ini adalah 100 ribu rupiah. Ada juga yang 50 ribu
rupiah ditambah dengan sembako seperti beras, gula, dan minyak goreng.
Jika ada caleg yang melakukan serangan fajar lebih dari itu,
biasanya akan terjadi huru-hara karena tidak sama dengan caleg lain. Merusak harga
pasar, begitu bunyinya. Makanya, rata-rata caleg memberi uang kepada calon
pemilih sebesar 100 ribu rupiah.
Teknisnya biasanya ada PIC atau pengumpul calon pemilih. Biasanya
ia adalah orang yang dekat dengan warga dan sering kumpul dengan mereka. Sering
kongkow, supel, dan bisa menarik hati warga. Saya sendiri ada kerabat yang
punya pekerjaan ini tiap pemilu dan pilkada. Dalam kegiatan ini, ia akan mendapatkan
fee 10 ribu rupiah tiap orang yang berhasil dirayunya untuk mencoblos caleg
tertentu dengan iming-iming uang.
Lumayan juga karena biasanya ia bisa mendakatkan 30 hingga
40 orang. Ia juga akan mendapat uang 100 ribu rupiah dari suaranya sendiri. Kalau
sedang banyak orang yang berhasil ia ajak, maka ia bisa mengantongi 500 ribu rupiah.
Lumayan kan?
Tugasnya adalah mengumpulkan fotokopi KTP atau foto KTP. Identitas
diri ini sebagai bukti pengikat bahwa mereka yang mendapatkan uang akan
mencoblos caleg yang bersangkutan. Dulu, saat pileg 2014 kalau tak salah,
pengumpulan KTP ini tak dilakukan. Alhasil banyak caleg yang suaranya di bawah
ekspektasi padahal sudah keluar uang banyak.
Sebelum 2014, modelnya bukan uang tetapi pemberian barang
tertentu. Ada caleg yang memberikan seragam bagi ibu pengajian dan baju koko
bagi bapak-bapak. Mulanya ia berhasil tetapi lama-lama ia kalah dengan caleg
yang memberikan uang. Bisa jadi, warga lebih butuh uang tunai dibandingkan
barang.
Masalahnya, ada beberapa orang yang curang. Ia bercabang di
banyak caleg. Artinya, ia rela mengumpulkan KTP dan mendapat uang dari beberapa
caleg. Awalnya sih tak masalah tapi akhirnya ia ketahuan. Orang semacam ini biasanya
akan di-black list oleh PIC tadi karena setiap PIC biasanya sudah memiliki
pangsa pasar sendiri. Semisal di RT 1 milik caleg ini, di RT 2 milik caleg ini,
dst.
Namun, keruwetan terjadi malah dari calegnya sendiri. Beberapa
waktu lalu, saya mendengar ada caleg yang sudah menjanjikan akan memberi uang
100 ribu. PIC sudah mengumpulkan KTP dari banyak warga. Hingga H-1 pencoblosan,
ia tak kunjung muncul dan memberi kabar tidak jadi memberi uang karena dilarang
partainya. Alhasil, mereka yang sudah mengumpulkan KTP pun resah dan akhirnya
memutuskan untuk memilih caleg lain yang tiba-tiba datang memberi uang. Saat penghitungan
suara pun caleg yang baru memberikan uang ini berhasil meraup banyak suara.
Saya sendiri sempat diiming-imingi memberi suara saya. Namun,
tentu saya tolak. Saya masih punya hati nurani dan mengedepankan kejujuran. Lebih
baik saya tetap mengirim DM ke caleg yang saya anggap potensial. Jika ada yang
bisa menjawab pertanyaan saya, maka akan saya pilih. Untung saja semua caleg yang
saya pilih kemarin membalas DM saya. Walau jawabannya tidak memuaskan penuh,
tetapi komitmen mereka saya hargai dan akhirnya saya pilih.
Di balik kisah ini, memang demokrasi kita sudah seburuk ini.
Segala hal yang tidak baik dan tidak layak malah dibuat penormalan. Wong dari
atas saja sudah bobrok apalagi yang bawah.