Poster film Dirty Vote |
Pemilu 2024 telah memasuki masa tenang.
Namun, masa tenang yang diselenggarakan selama tiga hari tak
terasa tenang. Penyebabnya, sebuah film dokumenter mengulas praktik kecurangan
pemilu kali ini secara sistematis dan terstruktur telah tayang di You Tube. Tak
lain, film tersebut adalah Dirty Vote.
Sebuah film yang disutradari oleh Dandy Laksono – pegiat HAM
dan isu lingkungan – yang dikenal sebagai pembuat film Silent Killer ini sebenarnya
merupakan paparan tiga dosen ahli hukum dan tata negara. Bagi saya, ini lebih
ke paparan mengenai jahitan berita dan rangkuman berbagai peristiwa yang telah
diyakini kebenarannya. Bukan sesuatu hal yang baru karena sebagian besar informasi
di dalamnya sudah terdapat pada pemberitaan.
Film ini dibuka dengan paparan mengenai keinginan salah satu
paslon untuk memenangkan pemilu satu putaran. Keinginan ini ternyata adalah
jawaban dari ketakutan mereka jika pemilu presiden dilakukan sebanyak dua
putaran. Alasannya, jika pemilu dilakukan selama dua putaran, ada kemungkinan
untuk terjadi pelimpahan suara dari capres yang tidak lolos ke capres yang
lolos berperingkat dua.
Paparan pun bergulir kepada beberapa tindakan yang dilakukan
salah satu capres yang didukung pemerintah. Tindakan yang dilakukan salah
satunya adalah memecah provinsi Papua menjadi beberapa provinsi baru. Pemecahan
ini ditengarai dilakukan agar syarat 20% lebih kemenangan tiap provinsi dan 50%
plus satu suara nasional bisa tercapai.
Bola panas bergulir ke putusan Mahkamah Konstitusi. Sudah
kita ketahui bersama bahwa salah satu paslon capres dan cawapres terdapat anak
presiden yang sedangg berkuasa saat ini. Batas umur yang belum memenuhi syarat
kemudian diutak-atik sehingga yang bersangkutan bisa lolos menjadi cawapres.
Ternyata, ada perubahan kalimat dalam putusan MK ini jika
dibandingkan dengan pengajuan oleh salah satu pemuda dari Surakarta. Mulanya, kalimat
yang diajukan adalah calon presiden/wakil presiden boleh belum berusia 40 tahun
tetapi pernah menyelesaikan masa jabatan kepala daerah secara penuh. Artinya,
meski pasal batasan usia ini diubah, semestinya salah satu cawapres yang belum
berusia 40 tahun belum bisa maju. Alasannya, ia belum penuh menjalankan tugasnya
sebagai kepala daerah selama satu periode.
Namun, kalimat dalam putusan MK – yang diketuai oleh paman
dari yang bersangkutan – akhirnya memutuskan bahwa boleh belum 40 tahun asal
pernah menjadi kepala daerah. Inilah salah satu alasan mengapa banyak orang
marah dan jengkel atas Keputusan kontroversial ini.
Paparan hot pun lalu menuju upaya dari mobilisasi massa yang
dilakukan apparat – terutama kepala desa – untuk mencoblos salah satu pasangan
capres dan cawapres. Mobilisasi ini terjadi sangat masif terutama di Jawa
Tengah. Berbagai rekaman dan bukti percakapan pun dibuka dan sungguh membuat
muak. Makanya, beberapa waktu yang lalu terjadi demo besar-besaran para kepala
desa menuntut perpanjangan masa jabatan. Demo ini diakhiri dengan pengabulan
permohonan masa jabatan yang semula 6 tahun menjadi 9 tahun.
Tak sampai di situ, netralitas apatur negara – terutama kementerian
– juga disorot. Banyak sekali Menteri yang ikut berkampanye dan melanggar tugas
mereka. Untuk paparan ini, tiga dosen tadi menyorot tiga paslon karena masih
ada menteri yang menjabat dari ketiganya.
Walau demikian, salah satu paslon yang didukung banyak
menteri secara terang-terangan melakukan tindakan curang tersebut. Dari yang
menggunakan fasilitas negara hingga berkampanye pada acara kementrian. Ada satu
cuplikan video yang sebenarnya sudah viral lama berisi guyonan seorang menteri
yang sama sekali tidak lucu mengenai posisi tahiyat akhir. Dari yang semula
satu telunjuk sekarang bisa diubah menjadi dua jari karena kecintaannya kepada
salah satu capres.
Paparan yang membuat saya mengelus dada adalah mengenai
bantuan sosial. Bansos – demikian banyak orang menyebutnya merupakan bantuan
yang diberikan pemerintah untuk pemerataan kesejahteraan. Walau begitu, ada
keanehan pada bantuan bansos kali ini.
Jumlah yang digelontorkan sangat tinggi bahkan lebih tinggi
dibandingkan saat covid-19. Anomali juga terjadi saat bansos yang digelontorkan
tidak melalui Kementrian Sosial. Padahal, sesuai peraturan yang ada, bansos harus
digelontorkan melalui Kemensos. Alasan yang diduga kuat adalah Menteri Sosial
saat ini adalah salah satu kader partai yang berbeda pilihan capres dengan yang
didukung oleh pemerintah.
Masih banyak hal sebenarnya yang bisa dipaparkan dari film documenter
ini. Mulai dari kecurangan pelolosan parpol yang sebenarnya tidak lolos dan
upaya tidak meloloskan parpol yang sebenarnya lolos. Diantara itu semua, saya
paling suka paparan mengenai taktik politik gentong babi. Taktik ini merupakan
taktik yang dilakukan oleh penguasa untuk menjadikan rakyatnya sebagai pengemis
melalui berbagai bantuan yang diberikan. Bukan memberdayakan mereka agar bisa
mendapatkan kesejahteraan. Makanya, salah satu program yang menjadi andalan
capres yang didukung pemerintah adalah makan siang dan susu gratis.
Dengan pemberian makan siang dan susu gratis, maka rakyat tidak
punya banyak pilihan karena mereka tidak berdaya, tidak sejahtera, dan
menggantungkan bantuan dari pemerintah. Taktik seperti ini sebenarnya sudah
dilakukan di banyak negara. Hanya saja, untuk Indonesia kelihatan jelas
menjelang pemilu kali ini.
Beberapa saat setelah film tersebut dirilis, tim pemenangan
nasional (TPN) dari salah satu pasangan capres-cawapres yang namanya paling
banyak disebut pun mengadakan konferensi pres. Mereka mengatakan bahwa film
tersebut adalah fitnah dan mempertanyakan kredibilitas para pembuatnya,
terutama para dosen yang menjelaskan. Padahal, tiga dosen yang menjelaskan
sudah terkenal sebagai dosen yang kompeten di bidangnya dan kepakarannya memang
teruji.
Sumber wikipedia |
Penyanggahan ini malah membuat banyak orang penasaran. Menurut
Wikipedia, ada sebuah fenomena yang disebut sebagai efek Streisand. Semakin dihalangi
maka akan semakin dicari. Ketika upaya untuk menyembunyikan, menghapus, atau
menyensor informasi malah membuat informasi tersebut tersebar lebih luas,
biasanya dibantu oleh Internet. Efek Streisand merupakan contoh reaksi
psikologis. Saat masyarakat sadar bahwa ada informasi yang disembunyikan,
mereka akan berusaha mengaksesnya dan menyebarkannya. Terlebih, masyakarat
Indonesia yang selalu kepo dan tak bisa jauh dari media sosial.
Semua memang terserah kita sebagai pemilih. Masih tersisa
sekitar dua hari sampai hari-H pencoblosan. Pelajari dulu dengan lengkap dan
kepala jernih. Walau ada dari mereka yang benar-benar bersih, tetapi setidaknya
kita tidak mempermudah yang menggunakan cara-cara paling buruk untuk berkuasa. Jangan
jadi batu karena sensasi gerakan TikTok maka kita tertipu dengan rencana besar
yang mereka susun.
No Hate yaa mas ya... hihi. Aku pun abis nonton Dirty Vote tpi yang dipaparkan di dokumenter itu menurut aku kebanyakan sifatnya indikasi yang larinya malah ke propaganda... Black Campaign atau sejenisnya.. 🥰 atau malah Playing Victim.. Sekali lagi No Hatee yaa Mas #peluk Jauh...
ReplyDeletekaya contoh
1. pemekaran provinsi Di Papua tahun 2022 yang dianggap langkah licik sistematis kecurangan untuk kemenangan Dinasti.
Pertanyaannya "Apakah ada yang salah dengan pemekaran?" karena yang kita tahu pemekaran juga nggak bisa terwujud tanpa persetujuan dari DPR dan DPRnya pun didalamnya ada PDIP, Nasdem, Golkar, PKS, dll.. lagipun prosesnya juga sesuai UU 🥰.
Padahal bisa jadi maksud Pak Jokowi pemekaran di Papua untuk menjamin kedepannya agar lebih diperhatikan oleh Capres-capres Indonesia yang akan mendatang agar tidak dianak tirikan karena minimum treshold 20% di separuh provinsi.
Kemudian ada yang menghubungkan dengan Pemekaran Kaltara yang nggak bisa ikut pemilu sebelum 6 tahun. Padahal di UU KPU sendiri nggak ada yang menyebut masa tunggu 6 tahun atau harus lewat 1 pemilu dulu. Ini murni kelambanan pemerintahan sebelumnya. Lagipun sudah digugat di MK pada tahun 2014. Jadi apakah ini salah Jokowi?? nggak kan ya. Kalau nggak salah pemekaran di sulawesi barat tahun 2004 juga bisa kok langsung ikut pemilu...
terus jaminan Masyrakat Papua di sana juga belum tentu bakal milih Prabowo juga.
Terus ada juga tuh pemilihan PJ gubernur yang orang terdekat dengan presiden. Aku pikir nggak ada salahnya deh 😍.. Tentu Presiden maunya orang yang beliau percaya, Masa iya mau milih pemimpin FPI kan nggak mungkin 🤗.
2. Soal Bagi-bagi Bansos yang dianggap langkah curang.. Padahal bansos ini kan jauh-jauh sebelumnya sudah disetujui dalam Rancangan APBN bersama DPR. Secara Presiden nggak bisa kaya asal ambil Uang APBN tanpa persetujuan DPR. Semua kan sudah di legislasi melalui DPR. begitupun Hutang Negara... Semua ada persetujuan dan diatur dalam UU yang disahkan Oleh DPR karena kedudukan mereka setara dengan Presiden sebagai lembaga yang menjalankan UU.
3. Terus ada juga bagian yang bilang kalau Jokowi berambisi Dinasti.. Bayangin semisal Jokowi ngambil cuti buat ikut Kampanye bisa kelojotan deh lawannya kayanya mah... Tapi kan faktanya beliau nggak ngambil. Beliau memang menjelang pemilu sering diberitakan sedang dekat dengan Prabowo padahal bisa jadi sebelumnya memang sudah dekat karena hubungan presiden dan menteri. Tapi karena nggak lagi pemilu media jadi malas buat menyampaikan...
Menurutku banyak orang yang nonton 1 jam lebih film itu tapi berasa udah tahu segalanya. Agak miris sih... Padahal ada 1 elemen penting menyangkut suksesnya pemerintahan dan Rakyat adalah saling Percaya.. Jadi kinda sad actually, Padahal belum tentu aslinya begitu.. Agak nggak adil dengan apa yang disajikan. *menurutku ya Mas.... Kaya nggak adil aja menyorot dari 1 sudut pandang sebagai penyerang, tanpa mengambil POV dari sudut pandang yang diserang.. Kan ini nantinya buat makanan publik... efeknya?? Ngambang, buru-buru ambil kesimpulan tanpa riset.. Kaya dokumenter sianida kemarin... sempat HOT dan mendadak minta keadilan buat Jessica.
btw, Aku nggak bilang pemerintah sekarang itu suci, pasti memang ada pelanggaran khususnya pemakaian fasilitas negara oleh banyak pendukung pemerintah yang menjabat. Namun menurutku nggak sistematis dan masif apalagi atas perintah Presiden 🥰. Lebih ke murni karena si Kader ingin memenangkan 02 agar program yang mereka anggap baik bisa berlanjut..
dalam film itu juga banyak diksi yang kesannya mengada-ada... Terus kenapa nggak lapor ke BAWASLU padahal level rakyat biasa kaya kita aja bisa lapor ke Bawaslu jika ada bukti. Ehh malah bikin film.. heheh.
Salam Damai Mas Ikromm 🥰..
Dari aku yang bukan pendukung Jokowi tapi merasa kasihan karena di masa akhir kerja beliau banyak yang nyerang, padahal hasil kerja beliau juga nggak jelek-jelek amat.... Ya semoga lelah beliau menjadi Lillah....
Berarti keputusan MK yang mengubah batas usia cawapres diperbolehkan ya mas meski jelas melanggar aturan.
DeleteTerima kasih komentarnya Mas
No hate juga yaa
kalau menurut aku keputusan MK itu sifatnya binding atau mengikat... Secara UU sih sah. Karena keputusan nggak serta merta yang mutusin 1 orang. Alias ada 9 hakim konstitusi yang dipilih oleh DPR, MA, dan Presiden... Cuma pertanyaannya lebih ke Pantas atau nggaknya..? Mengingat Bapaknya Presiden, Pamannya MK, dan ini terjadi secara tiba-tiba... Tentu ini membuat polemik... Apalagi budaya kita sendiri yang kadang seringnya berpikir berlebih kalau ada sanak-saudara yang menempati satu temoat. Contoh sederhana di tingkat perusahaan...
DeleteTapi ya balik lagi sebenrnya ini tergantung darimana kita melihat sudut pandang.. Mungkin Mas G ada kekhawatiran soal keberlanjutan pembangunan. IKN contohnya.. Mungkin beliau ada pemikiran pribadi. Apalagi baik nomor 1 dan nomor 3 kan masing2 punya penilaian publik sendiri...
Wer rastet, der rostet...
heheh. Salam Damai Mas... 🥰
Tidak sesederhana itu, Mas.
DeletePertama, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus tidak dengan suara bulat karena ada dissenting opinion dan concurring opinion antar majelis hakim. Ada beberapa hakim yang menilai bahwa perkara tersebut mestinya dikabulkan, ada pula yang berpendapat supaya ditolak, atau bahkan harusnya tidak diterima. Untuk kasus ini, maka mereka harus mencari titik tengahnya.
Kedua, registrasi permohonan diregistrasi pada hari Sabtu yang merupakan hari libur. Ini sudah jelas melanggar karena harusnya baru bisa dilakukan pada hari Senin.
Ketiga, perkara tersebut sebenarnya sudah dicabut dan sebetulnya tidak bisa diajukan kembali. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 75 ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf c pada Peraturan MK 2/2021. Regulasi itu mengatur tata beracara dalam perkara pengujian undang-undang.
Keempat, tiga hakim konstitusi menyebut semua pejabat yang terpilih dalam pemilihan umum (elected official) dapat menjadi capres-cawapres, meski tidak berusia 40 tahun. Pejabat yang masuk kategori ini adalah presiden/wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah dari tingkat provinsi hingga kabupaten atau kota.
Sementara itu, dua hakim lainnya menyebut yang bisa menjadi capres-cawapres meski berumur di bawah 40 tahun hanyalah gubernur. Jika dihitung secara matematis, seharusnya titik temu dari lima hakim ini adalah jabatan gubernur.
Jadi, ini bukan masalah pantas atau tidak pantas mas tetapi kepada taat peraturan. Kalau masalah pantas dan tidak pantas, bisa saja akan lebih banyak orang mengubah aturan yang sudah ditetapkan.
Kalau saya sih segala sesuatu yang baik dimulai dari hal yang baik ya Mas. Saya tidak tahu kalau Mas bagaimana, hehe
salam damai
Iya aku setuju memang tidak sesederhana itu... Plus soal titik temu putusan 5 hakim juga dirasa bertentangan kan dengan putusan akhir... Hehe.
DeleteMalah aku ada baca di suatu Tulisan kalau keputusan itu keliru (?). Cuma aku pun nggak tahu keabsahannya bagaimana. Secara aku hanya rakyat, yang sumber informasi 100 persen dari Internet. Soalnya Pakar juga ada yang Pro dan Kontra..
Tapi MKMK akhirnya menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap Ketua MK karena pelanggaran Kode Etik setelah ada 21 laporan kalau tidak salah. Aku pun juga merasa kalau Mas G mungkin terasa Egois mengingat ya posisinya dan kondisinya yang terkesan terlalu terburu-buru di tengah huru-hara pemilu. Kadang mempertanyakan urgensinya apa? Kenapa nggak nanti aja Tahun 2029 contoh 😂. Bagaimana dengan perasaan pamannya?
Meskipun begitu dalam MK pun tidak mengenal putusan tidak sah meskipun dalam proses pengambilan putusan dilakukan oleh hakim konstitusi yang terbukti salah satu hakim yang perkara melanggar etik.
Ditambah Pemutusan sidang MKMK juga H-1 sebelum tenggat pendaftaran Bakal Capres dan Cawapres yang menjadikan Mas G tidak cacat secara Hukum karena sifat hukum berlaku saat itu (Ius Constitutum).
Tapi yasudahh.. mau dibagaimanapun juga Politik Tetaplah Politik. Mau berpikir secara suci, tapi ini politik 🥹... Ya aku nggak menampik kalau aku manusia suci.. hehe.
Well, terimakasih Mas Ikrom buat Diskusinya.. it feels Nice to talk to, soalnya kalau aku diskusi di Ig. Pasti yang ada naman2 hewan yang keluar. Ehehe. Maaf kalau dalam penyampaianku ada kalimat yang menyakiti..
Sebenernya keyakinanku soal politik amatlah sederhana, aku juga nggak dikubu mana2 meskipun memang ada ketercenderungan... Aku nggak suka perpecahan, apalagi yang sampai tarik urat ngatain orang seenaknya.. hehe. "mendukung siapapun itu, tanpa menduga-duga.." Aku akui Dirty Vote memang bagus meskipun menurutku minim Konklusi.. tapi sebenarnya aku ada pemikiran.. kenapa harus menuang minyak disaat api yg sedang membara. Meanwhile mereka ada kelebihan, kenapa nggak mencoba untuk menyuarakan kesatuan.. ini murni aku yang bertanya-tanya.. tapi bukannya Dirty Vote juga bagian Demokrasi? nilai akhir ya diserahkan kembali ke Rakyat sendiri.
Sekali lagi terimakasih Mas Ikrom. Semoga sehat selalu... ☺️☺️🥰🥰❤️❤️
Doaku terbaik unuk Indonesia kedepannya...
Sah atau tidaknya memang kita tidak tahu secara pasti karena tidak berada di tempat saat proses pembacaan Keputusan dilakukan.
DeleteNamun yang perlu digarisbawahi, proses ini menjadi sebuah sejarah buruk bagi bangsa ini apapun tujuan dan hasil yang diperoleh. Tentu kita masih ingat peristiwa Supersemar yang hingga kini masih diperdebatkan keabsahannya.
Memang, pemerintah yang terbentuk saat itu bisa bertahan lama dan kerap menjadikan aturan yang ada untuk menggebuk mereka yang tidak sepaham
Untuk saat ini, dengan cara yang berbeda, mereka yang berkuasa membuat dan mengubah Keputusan untuk melenggangkan kekuasaan. Kalau dibilang sah bisa saja memang sah tetapi mereka lupa ada kekuatan yang tak terlihat yang nantinya bisa membalas apa yang mereka kerjakan.
Lantaran mereka sudah menang, bisa jadi memang rakyat yang menginginkan pemimpin seperti itu. Meski demikian haru diingat, Mas. Proses demokratis tanpa disertai rasa kritis dan pengkutlusan akan individu akan melahirkan banyak pemimpin yang otoriter dan diktator. Mereka juga berasal dari rakyat biasa tetapi kemudian berubah menjadi penguasa yang bisa melakukan apapun, sekonstitusional mungkin agar tujuannya tercapai.
Terimakasih diskusinya, semoga Mas Bayu bisa banyak juga belajar dari berbagai buku dan literatur. Saya juga masih belajar kok. Salam.