Pak Harto meninjau persiapan Pemilu 1971. - Dok. Kompas |
Pemilu serentak tinggal sebentar lagi.
Tak terasa, kita akan memilih lagi presiden dan wakil rakyat
yang akan menyampaikan aspirasi kita. Apesnya, hingga hari ini saya belum bisa
menentukan pilihan saya. Kalau untuk presiden sih saya sudah mantap akan
memilih salah satu calon setelah melihat debat beberapa waktu yang lalu.
Saya belum mendapatkan gambaran siapa yang akan saya pilih
untuk anggota legistlatif, yakni DPR, DPD, dan DPRD. Padahal, empat macam
pemilihan tersebut juga sama pentingnya dengan memilih presiden. Keempatnya akan
mengontrol kekuasaan eksekutif, baik dari tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Banyaknya baliho caleg di jalan raya malah membuat saya
bingung. Saya tidak begitu kenal mereka. Berbeda denga pemilu 2019 lalu, saat
saya mencoba mengirim pesan kepada caleg dan dibalas, saat ini kegiatan itu
malas saya lakukan. Penyebabnya, beberapa caleg yang saya DM tidak merespon
pesan saya. Jika ada, jawaban mereka tidak sesuai dengan ekspektasi saya dan
kurang ramah dibandingkan caleg pada tahun 2019.
Alhasil, saya sepertinya akan memilih partai saja dan tidak
memilih caleg. Perlu diketahui, kita juga bisa memilih partai saja dan suara
kita tetap dianggap sah. Meski demikian, dengan sistem proporsional terbuka
saat ini, rasanya hal itu cukup rugi. Tapi ya bagaimana lagi, sama calegnysa
saja enggak kenal?
Saya pun iseng membaca hasil pileg 2019. Ternyata, para
pemilih yang hanya memilih partai cukup tinggi. Walau masih tidak sebanyak yang
memilih caleg, tetap saja jumlahnya tidak bisa dianggap remeh. Artinya,
kegiatan kampanye caleg yang begitu masif di berbagai media seakan tidak ada
artinya dibandingkan dengan hasil yang didapatkan. Untuk apa pasang baliho wong
orang-orang milihnya partai bukan caleg?
Dari beberapa fenomena ini, setidaknya ada beberapa alasan
yang membuat orang lebih memilih partai dibandingkan caleg.
Pertama, tidak terlalu mengenal profil caleg.
Pada pemilu 2014 dan 2019, saya bisa melihat profil para
calon anggota legislatif melalui web jari ungu. Kini, meski ada web KPU dan web-web
lain yang menginformasikan para caleg, tetap saja banyak orang termasuk saya
belum bisa mengakses dengan baik.
Masih banyak caleg yang menutup profil mereka. Padahal, profil
ini penting agar kita bisa mengetahui latar belakang caleg yang akan kita
pilih. Kita bisa memilih caleg mana yang memiliki latar pendidikan yang baik,
pekerjaan yang baik, organisasi yang oke, atau jika ada penghargaan yang pernah
diterima.
Poster Pemilu 1997 yang menggunakan sistem proporsional tertutup. - Dok. Istimewa |
Diantara semuanya, tentu kita mesti tahu caleg mana yang
pernah tersandung kasus korupsi. Saya kaget beberapa waktu lalu ada media
nasional yang merilis caleg DPR RI yang pernah jadi terdakwa kasus korupsi. Ternyata,
ada salah satu diantaranya di dapil saya memilih dan balihonya sangat besar
terpasang di depan rumah saya.
Tanpa pikir panjang, saya segera mengirim berita tersebut ke
keluarga dan teman satu dapil untuk tidak memlih dia. Lantaran, ada kans bagi
dia untuk menang karena ia berasal dari parat besar dan berada pada nomor urut
awal.
Kedua, efisiensi waktu
Saat mencoblos, kita akan dibatasi oleh waktu. Kadang, saat berada
di kotak suara, kita bingung mencari nama caleg yang akan kita pilih. Kalau namanya
mudah dan noomor urutnya enak pasti kita akan lebih mudah menemukannya. Yang susah
adalah saat partai si caleg berada di tengah demikian pula nomor urutnya.
Alhasil, pemilih yang mulanya berniat memilih caleg karena
terbatas waktu akhirnya hanya memilih partai. Yang penting maksudnya
tersampaiakan dengan milih partai dan segera meninggalkan bilik suara. Beberapa
kali saya melihat pemilih yang bercerita akhirnya memiluh partai saja karena
mencari nama calegnya tidak juga ketemu.
Ketiga, kurangnya sosialisasi
Pemilihan legislating dengan sistem proporsional terbuka
sebenarnya sudah dilakukan sejak 2004 lalu. Sudah dua puluh tahun. Harusnya,
waktu selama itu sudah menjadikan masyarakat paham bahwa sekarang kita bisa dan
lebih baik memilih caleg.
Namun, banyak orang yang masih mengira bahwa pemilu legislatif
adalah pemilu untuk memilih partai. Sama halnya saat pemilu dengan sistem proporsional
tetutup pada masa orde baru. Kalau saat orde baru, caleg ditentukan oleh partai
dan pemerintah.
Hasil rekapitulasi pileg 2019 di salah saru dapil. Tampak pemilih yang hanya memilih partai cukup banyak. - Sumber Bawaslu Jawa Timur |
Nama mereka akan terpampang seperti nama peserta tes CPNS. Kita
hanya bisa memilih partai atau OPP. Mereka yang bisa lolos ya ditentukan oleh
partai dan pemerintah. Pemilih seperti kita tidak akan punya keleluasaan. Alhasil,
mereka yang duduk di senayan ya orangnya itu-itu saja.
Sosialisasi KPU memang masih kurang. Saya jarang melihat
sosialisasi KPU sampai ke tingkat RT. Malah yang sering turun untuk sosialisasi
ya caleg-caleg. Alhasil, merekalah sebenarnya ujung tombak sosialisasi sistem
pemilu proporsional terbuka ini.
Itulah beberapa alasan pemilih masih cenderung untuk memilih
partai dibandingkan caleg. Jangan kaget pada pemilu ini, jumlah pemilih yang
lebih memilih partai akan juga banyak. Kalau begini, baliho caleg yang bertebaran
seakan sia-sia saja.