Ilustrasi. promediateknologi.id |
Kemarin, saya bersua dengan rekan lama di salah satu pusat perbelanjaan.
Kebetulan, ia menjabat menjadi seorang manager pemasaran di sebuah showroom mobil. Setiap hari, saya sering melihat ia berfoto di depan mobil. Kadang kala, ia juga mengendarai mobil mahal yang bisa ia bawa ke mana-mana.
Dari beberapa pergunjingan di WAG, banyak sekali teman-teman yang memujanya. Bahkan, banyak yang mengatakan iri dan ingin seperti dirinya. Siapa coba yang bisa gonta-ganti mobil dan bertemu dengan orang-orang penting?
Nah, saat bertemu, tentu kami mulanya hanya bercerita ringan. Ia pun pertanya apa kesibukan saya. Saya pun menjawab dengan merendah sedang mengeola usaha bimbingan belajar sambil ngonten. Yah begitulah saya bercerita bahwa saya berusaha untuk berada di balik layar agar orang-orang bisa terbantu dengan apa yang saya usahakan.
Di saat pembicaraan, ia pun mengatakan bahwa sebenarnya hidup saya kok terlihat enak. Saya pun kaget, bagaimana ia bisa mengatakan demikian?
Ia berkata bahwa sebenarnya ia harus bersusah payah bekerja karena baru ditinggal oleh istrinya yang memilih dengan pria lain. Ia mengatakan bahwa istrinya meninggalkan hutang yang cukup banyak sehingga ia harus melunasinya. Saya pun tambah kaget mendengar nominal uang yang harus ia lunasi meski tidak semuanya harus ia tanggung.
Masih setengah tidak percaya, terlebih dari berbagai status yang ia unggah, ia pun mengatakan itu semua demi menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Agar orang percaya kepadanya dan tetap mau membeli mobil darinya. Saya pun akhirnya paham dan mulai mencerna dialog antara Mas Adjie Santosoputro dan Habib Jafar beberapa waktu yang lalu.
Dari pembicaraan itu, Mas Adjie selaku praktisi psikologi mengatakan bahwa kita sebenarnya sering mengalami apa yang disebut “Survivor Simpiest”. Kita sering diterpa, terutama dari omongan orang lain tentang kesuksesan orang lain. Padahal, belum tentu orang tersebut yang disebut oleh banyak orang sukses benar-benar sukses dalam arti yang sebenarnya. Seringkali, ia tidak dapat ruang untuk menunjukkan ketidaksuksesan dalam hidupnya.
Seperti yang terjadi pada teman saya tadi. Ia tak punya ruang untuk menunjukkan ketidaksuksesannya. Ia tak punya tempat untuk bisa menunjukkan emosi dari kegagalannya karena takut perkataan orang di sekitarnya dan efek buruk yang menerpanya. Dari sini, saya cukup beruntung masih bisa meluapkan emosi dari kegagalan yang saya alami. Semisal, saat saya gagal mendapatkan tiket kereta atau apa pun yang bisa menjadi salah satu pembelajaran dalam hidup saya. Bagi saya, berhasil atau gagal adalah dua sisi mata uang yang tidak ada salahnya kita lampiaskan.
Menambahkan apa yang dipaparkan Mas Adjie, Habib Jafar menyatakan bahwa seseorang mendapatkan kesuksesan karena juga ada tangan Tuhan yang bekerja di sana. Meski banyak perkataan orang yang menyatakan untuk bisa seperti seseorang tersebut, tetapi semuanya akan sia-sia jika memang itu bukan jalan kita.
Saya menyadari lagi perkataan banyak teman di WAG yang menyatakan bahwa enak menjadi teman yang saya temui tadi. Bagi saya, jika saya memaksakan diri untuk seperti teman saya tadi, maka belum tentu saya akan bahagia. Terlebih, saya gemar naik transportasi umum yang sangat kontra dengan penambahan kepemilikan kendaraan pribadi.
Opini-opini dari banyak orang memang kadang terdengar sebagai sebuah kebenaran. Hal itu sering saya temukan pada X atau twitter mengenai berbagai hal. Mulai dari mencari jurusan kuliah, melamar pekerjaan, menata barang di rumah, membeli mobil, dna lain sebagainya. Berbagai opini orang-orang berseliweran dan kadang menyalahkan mereka yang tidak sama pendapatnya dengan banyak orang.
Di sinilah, perlunya kesadaran untuk tetap berpijak pada kesadaran penuh bahwa tiap orang punay jalan yang berbeda dan tidak bisa dipaksakan. Saya sependapat lagi dengan obrolan dua ahli tadi bahwa saat ada adagium gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, maka tiap orang akan memiliki langit yang berbeda. Bukan langit yang sama untuk menaungi kesuksesan orang.
Tags
Catatanku