Ilustrasi. - Dok. Istimewa |
Selama menjadi guru honorer sekitar 3 tahun sebelum resign, ada satu kegiatan yang paling tidak saya suka.
Apalagi kalau mendapat tugas ke Kantor Dinas Pendidikan. Saya lebih memilih mengajar di sebuah kelas dengan anak yang super ramai, rapat guru yang tiada usai, mendapat komplain dari wali murid, atau bahkan bekerja bakti membersihkan sekolah.
Entah mengapa, saat itu, mendapat tugas untuk hadir di Kantor Dinas Pendidikan adalah sebuah hal yang sangat menjemukan. Walau kadang bisa bertemu rekan guru dari sekolah lain, tetap saja rasanya lebih baik tetap berada di sekolah atau mendapat tugas ke sekolah lain.
Apa yang saya alami dan saya rasakan juga ternyata sama dengan beberapa guru yang saya temui di Kantor Dinas Pendidikan. Mereka kadang mengeluh meninggalkan pelajaran hanya untuk sebuah acara seremonial yang sebetulnya tidak penting-penting amat. Salah satunya adalah sebuah peringatan momen tertentu yang mewajibkan sekolah mengirim salah satu guru untuk hadir.
Biasanya, guru PNS dan senior yang mendapat kesempatan. Akan tetapi, seringkali mereka menolak dengan alasan tidak bisa meninggalkan kelas. Terlebih, guru senior yang mengajar di kelas 6 yang sayang jika harus meninggalkan kelas. Guru kelas 1 pun meski siswanya pulang lebih awal juga enggan datang dengan alasan siswa mereka tidak ada yang menjaga. Apalagi kelas 1 SD yang rentan untuk ditinggal.
Alhasil, beberapa guru muda akhirnya yang datang ke Kantor Dinas Pendidikan. Apesnya, kadang acara yang digelar seringkali molor. Pernah suatu ketika saya datang ke sebuah acara di sana. Dalam undangan tertulis, acara berlangsung mulai pukul 8 pagi hingga 11 siang. Saya hitung masih bisa masuk ke kelas sebentar untuk membahas pelajaran seusai acara.
Eh ndilalah, Ibu Kepala Dinas Pendidikan saat itu datang terlambat. Dari yang dijadwalkan jam 8 pagi, ia baru datang pukul setengah 10 siang. Praktis, selama satu setengah jam saya mengobrol ngalor ngidul dengan rekan guru dari sekolah lain. Mulai mengobrol tentang siswa, sinetron, dan lain sebagainya. Waktu sebanyak itu semestinya bisa saya gunakan untuk membahas pelajaran matematika perkalian dan pembagian pecahan dalam satu sesi. Akhirnya, kesempatan itu terbuang sia-sia.
Meski demikian, satu hal yang menjadi pemikiran saya adalah bahwa pekerjaan seorang guru rasanya tidak begitu dihargai oleh Dinas Pendidikan. Waktu mereka untuk mengajar seakan tidak ada nilainya dengan menunggu ibu kepala dinas yang terhormat. Hanya untuk menunggu satu orang saja, ratusan bahkan mungkin ribuan siswa harus terlantar di dalam kelas. Fenomena ini saya yakin juga terjadi di daerah lain, tidak hanya di daerah saya. Bagaimana seorang guru mau tak mau meninggalkan pekerjaan mulia mendidik siswa di kelas hanya untuk menunggu para pejabat.
Tak hanya soal acara seremonial saja, beberapa kegiatan lain juga seakan kurang menghargai para guru. Salah satu contohnya adalah ketika saya mengambil surat untuk Kepala Sekolah di Dinas Pendidikan, saya bertemu dengan seorang guru yang sudah mendekati purna.
Ia bingung mengurus berkas kenaikan pangkat. Dengan segala tetek bengeknya, ia berharap pegawai Dinas Pendidikan mau membantunya. Kalau pun tidak mau, ia juga sebenarnya tak masalah pangkatnya tidak naik. Yang penting gajian lancar dan bisa mengajar.
Namun, saat itu ia mengatakan ada tekanan agar bisa naik pangkat. Tekanan itu semakin besar ketika pihak Dinas Pedidikan seakan cuek dan tak mau ambil pusing. Yang penting target guru bisa naik pangkat terpenuhi dan segala administrasi segera bisa dikumpulkan.
Makanya, di sebuah sub bagian Kantor Dinas Pendidikan, saya sering melihat wajah-wajah para guru yang stress membawa berkas dengan cukup banyak. Mereka sering menanti salah seorang pegawai Dinas Pendidikan yang dianggap bisa membantu mereka. Sayangnya, pegawai tersebut sering tidak berada di tempat dan para guru tersebut menunggu hingga berjam-jam.
Meskipun dalam hati saya bersyukur menjadi guru honorer yang tidak mengenal kenaikan pangkat, tetapi kalau melihat mereka stress kasihan juga. Saya juga berpikir ketika mereka menghadapi tekanan semacam itu, lantas bagaimana nasib siswa-siswinya? Apakah mereka mendapat pengajaran yang baik? Apakah sang guru bisa menjelaskan dengan baik?
Jujur, ketika seorang guru sedang mendapat tekanan dan pekerjaan di luar kegiatan mengajar, maka ia tak akan bisa fokus mengajar. Saya sendiri mengalaminya ketika beberapa kali linglung mengerjakan soal matematika yang sebenarnya mudah di depan kelas. Untung saya ada siswi saya yang pandai dan segera membenarkan. Saat itu memang saya sedang ada tekanan hebat dalam pengerjaan laporan BOS yang selalu diminta oleh Dinas Pendidikan. Walhasil, percabangan fokus pekerjaan ini sangat membuat tidak nyaman hingga akhirnya saya memutuskan resign.
Bisa jadi, apa yang saya alami juga dihadapi oleh guru lain. Terlebih, jika sang guru juga mendapat tekanan hebat dari kondisi ekonomi. Lengkap sudah penderitaannya. Merasa tidak dihargai oleh Dinas Pendidikan, beban kerja mengajar yang tinggi, eh dihimpit pula oleh tekanan ekonomi. Itulah beberapa kompleks masalah yang sering hinggap di telinga saya ketika saya bertemu dengan guru dari sekolah lain di Dinas Pendidikan. Jarang sekali saya yang mendengar cerita bahagia. Kalau pun mereka tersenyum, itu adalah usaha menutupi kesedihan dan beban hidup karena di depan banyak orang guru seakan tidak boleh bersedih.
Meski tidak semua, satu alasan yang membuat guru enggan datang ke Kantor Dinas Pendidikan adalah sikap pegawai instansi tersebut yang cukup arogan. Walau tidak semua dan hanya sebagian kecil, tetapi perlakuan mereka ke para guru bikin mengelus dada.
Salah satuya adalah ketika ada pegawai Dinas Pendidikan yang lewat di depan saya dan seorang guru. Kami pun menyapa karena budaya senyum sapa salam juga perlu diaplikasikan di mana saja, termasuk di Kantor Dinas Pendidikan. Kami merasa antara guru dengan pegawai di sana adalah mitra yang saling membutuhkan.
Jangankan membalas sapaan, melihat wajah kami saja tidak. Padahal, kami sudah tersenyum dan menyapa dengan halus. Kejadian tersebut tidak hanya terjadi sekali tetapi beberapa kali. Saya pernah iseng bertanya dengan seorang pegawai Dinas Pendidikan yang saya kenal baik dan bertanya apakah memang yang bersangkutan seperti itu. Ternyata, ia mengatakan memang demikian. Akhirnya, ketika bertemu pada momen lain, saya tidak menyapanya meski secara struktural ia memiliki jabatan yang cukup tinggi.
Ketusnya beberapa oknum pegawai Dinas Pendidikan juga sering saya alami ketika mengumpulkan berkas. Saya tahu mereka juga memiliki beban pekerjaan yang tinggi tetapi alangkah baiknya mereka berkata dengan lembut. Semisal
“Monggo diletakkan di situ”.
Atau mungkin membuat tulisan agar para guru meletakkan berkas di tempat yang telah disediakan. Itu jauh lebih baik daripada hanya menunjuk dan mengatakan “situ!” dengan mata yang tetap menghadap layar komputer. Kalau di instansi lain sih tidak masalah tetapi kalau dilakukan oleh oknum petugas Dinas Pendidikan yang tujuannya juga memenej para siswa agar lebih baik, rasanya kok miris.
Makanya, saya menyayangkan dengan penghapusan Kantor UPT tiap kecamatan. Dulu, pegawai Kantor UPT begitu baik menerima guru. Jika ada yang salah, mereka membenarkan dengan bahasa yang sopan. Saya juga kenal dengan hampir semua pegawainya dan selalu aktif bertanya jika ada pekerjaan yang harus segera saya lakukan. Hubungan kerja semacam itulah yang diharapkan.
Semenjak Kantor UPT dihapus, maka guru atau TU harus menuju Dinas Pendidikan yang lumayan jauh. Antrean jauh lebih banyak karena mereka harus melayani sekolah satu kota, tidak hanya satu kecamatan. Dengan begitu, beberapa guru dari daerah pinggiran tentu harus menempuh jarak yang lebih jauh.
Sudah jauh-jauh berangkat dari sekolah, saat sampai Kantor Dinas Pendidikan eh malah dapat perlakuan kurang mengenakkan. Kalau begini, masihkan kita berharap ada perbaikan di momen Hari Guru? Jika iya, sudah saatnya mulai menata kembali Kantor Dinas Pendidikan karena mereka juga ikut andil dalam maju mundurnya pendidikan di negeri ini.