Penutupan Tik Tok Shop, Bukti Keruwetan Pembuat Aturan

Ilustrasi - Dok istimewa

Beberapa hari belakangan ini, rasanya tidak ada topik yang lebih layak untuk diperbincangkan selain kiamat sughro alias kiamat kecil.

Bukan bencana dalam arti sebenarnya, tetapi lebih kepada bencana yang membuat banyak orang merasa hidupnya sengsara dengan tiba-tiba. Apalagi kalau bukan ditutupnya Tik Tok Shop. E-commerce yang menjadi satu dengan social commerce ini akhirnya resmi dilarang beroperasi per 4 Oktober 2023 pukul 17.00 WIB kemarin.

Sejak saat itu, keranjang kuning yang menjadi ikon Tik Tok Shop resmi hilang. Beberapa menit sebelumnya, bahkan pembeli sudah tidak bisa melakukan check out barang-barang di Tik Tok Shop. Pada momen selanjutnya, tidak ada satu pun barang yang bisa dilihat oleh pembeli. Semua barang di toko lenyap bahkan toko besar sekalipun.

Walau demikian, pembeli yang sudah melakukan check out masih bisa mendapatkan haknya. Penjual masih harus memproses barang yang sudah dibeli sampai ke tangan pembeli. Saya pun kemarin masih sempat membeli celana panjang dua jam sebelum penutupan Tik Tok Shop. Penjual pun masih mengirimkan barang pembelian saya.

Dua Sisi Mata Uang

Penutupan Tik Tok Shop disambut dua cara yang berbeda. Di satu sisi, pedagang offline di pasar-pasar sangat bergembira dengan adanya keputusan ini. Bahkan, Menteri Perdagangan yang dari PAN PAN PAN Nikahnya Kapan Kapan langsung membuat konten berupa euforia pedagang Pasar Tanah Abang. Meski ternyata tidak semua pedagang offline bergembira atas hal ini karena menurut mereka pasar sudah sepi sejak lama. Mereka pun juga berjualan di Tik Tok Shop sembari berjualan offline.

Di sisi lain, para penjual di Tik Tok Shop pun sedih dan banyak yang menangis saat mereka melakukan siaran live. Mereka tak bisa menyembunyikan kesedihan dan kekecewaan mereka karena usaha dan nafkah mereka selama ini harus terhenti. Beberapa diantaranya sampai menangis tersedu-sedu dan seakan tak ada harapan lagi karena merasa 90-100 persen hidup mereka tergantung dari TikTok Shop atau yang menjadi Affiliate Tok Tok.

Memang, masih ada cara lain seperti berjualan di e-commerce sebelah seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, Blibli, atau membuat e-commerce sendiri.  Namun, ekosistem besar yang sudah terbangun tidak mudah didapatkan semudah itu. Terlebih, beberapa e-commerce memiliki aturan dan algoritma yang berbeda dengan Tik Tok. Mereka merasa lebih mudah untuk mendapatkan pembeli di Tik Tok Shop dibandingkan di e-commerce lain.

Saya sendiri juga bingung harus berada di pihak mana. Di satu sisi, saya kasihan dengan para pedagang pasar yang memang saat ini penjualannya anjlok meski tak semuanya. Di sisi lain, saya juga kasihan dengan para penjual di Tik Tok Shop yang sudah hidup di sana.

Tidak bisa membayangkan mereka yang memulai usaha dari nol akhirnya harus berhenti. Ada yang masih merintis dan harus mencukupi kebutuhan hidupnya di tengah kondisi ekonomi uang lesu. Ada seorang ayah yang harus membiayai istrinya yang akan melahirkan. Seorang ibu single parent yang harus mencari nafkah seorang diri bagi anak-anaknya hingga seorang anak yang bekerja keras berjualan di Tik Tok untuk kesembuhan ibunya.

Keruwetan Aturan

Simalakama begitulah bunyinya. Saya juga setuju dengan langkah pemerintah ini yang ternyata jika dibiarkan merusak pasar di dalam negeri. Terlebih, ada anggapan bahwa dengan berkembang pesatnya Tik Tok, maka produk lokal akan ditiru oleh produsen China dan akhirnya membajiri pasar Indonesia. Belum lagi beberapa aturan yang ditabrak oleh Tik Tok. Salah satunya adalah tidak boleh adanya media sosial yang juga sebagai e-commerce.

Namun di sisi lain, saya juga merasa pemerintah tidak tegas ketika Tik Tok Shop mulai berkembang beberapa tahun lalu. Mengapa mereka tidak riset dahulu sebelum sebesar sekarang. Jika berpotensi melanggar aturan dan merusak pasar, mengapa pemerintah tidak menutup Tik Tok Shop sedari awal sebelum banyak orang menggantungkan hidupnya dari sini.

Mengapa pemerintah tidak membuat regulasi yang benar sehingga jika sudah banyak orang yang bergantung di sebuah platform, maka mereka akan tetap mendapat kepastian dari usaha yang mereka jalankan. Bukankah itu amanat penyelenggaraan pemerintahan?

Kasus Tik Tok Shop ini sebenarnya mirip dengan ojek online. Perseteruan mereka yang konvensional dan online akhirnya harus terjadi. Untung saja, meski pedagang Tik Tok Shop dan pedagang offline juga saling berbenturan, tetapi mereka tak sampai adu mekanik seperti opang dan ojek online. Walau demikian, hingga kini perseteruan dua pedagang itu masih terjadi hingga sekarang di berbagai media sosial. Kalau sudah begini, apa memang itu yang dikehendaki pemerintah saat masyarakat bawah saling bertikai?

Flexing Membawa Petaka

Di balik perseteruan itu, ada satu hal yang sering dijadikan kambing hitam dari penutupan Tik Tok Shop. Apalagi kalau bukan beberapa seller Tik Tik Shop yang pamer harta dan orderan hingga miliaran rupiah. Mereka bahkan ada yang pamer sengaja menyewa gedung pernikahan untuk mengepak orderan. Belum lagi saat mereka pamer hasil pendapatan yang bisa digunakan membeli beberapa rumah, rasanya akan membuat kesenjangan sosial semakin tinggi.

Saya sangat respect pada Mbak Inem Jogja yang berjualan di Tik Tok Shop berbagai macam barang. Ia tak mau menunjukkan hasil penjualannnya. Yang ia tunjukkan hanya barang jualannya dan kegiatan berbagi kepada fakir miskin di Jogja dari hasil jualan di Tik Tok Shop.

Ia mengatakan jangan makan di depan orang lapar. Saat kita makan di depan orang lapar, mereka akan berteriak dan kita akan menjadi abu. Perumpamaan ini sangat tepat menggambakan kondisi para pedagang Tik Tok Shop yang gemar flexing. Dalam waktu sekejap, usaha mereka gulung tikar.

Ada salah satu pedagang Tik Tok Shop di Jawa Timur yang sering menunjukkan hasil usahanya berupa barang mewah. Mungkin maksudnya untuk menginspirasi atau apa. Namun, ketika saya datang ke Jembatan Merah Plaza, saya sangat miris. Beberapa pedagang yang masih buka tatapan matanya kosong seakan bingung harus melakukan apa. Beberapa waktu kemudian, saya melihat VT pedagang Tik Tok Shop tersebut menangis tersedu-sedu dengan adanya pemberitaan Tik Tok Shop ini. Saya mau kasihan malah tidak jadi.

Apa pun itu, memang saat ini kondisinya sulit. Saya jadi ingat dengan e-commerce Multiply saat berjaya dulu. Pernah digadang-gadang akan menjadi sosial media dan e-commerce yang akan besar. Namun, Multiply tidak bisa menguatkan ekosistemnya padahal izin dan sebagainya sudah didapat dengan baik. Mereka pun bubar sebelum besar. Kini, Tik Tok mengalami hal sebaliknya. Di saat ekosistem sudah besar, mereka malah lupa dengan aturan yang harus dipatuhi.

Beberapa waktu yang lalu, saya diminta untuk membeli barang teman yang mau cuci gudang karena Tik Tok Shop mau tutup. Saya masih ingat beberapa bulan lalu ia memamerkan komisi di Tik Tok Shop yang seakan tiada henti. Saya hanya bisa mengatakan padanya dengan sedikit sok bijak bahwa roda kehidupan bisa berputar dengan cepat. Maka, menggantungkan penghasilan dari satu sumber saja – kecuai kalau kita PNS dan abdi negara – bukan menjadi hal yang bisa dilakukan saat ini.

Post a Comment

Next Post Previous Post