Kemarin itu saya dicurhati oleh seorang tutor bimbel saya mengenai kelakuan salah satu anak didiknya.
Kebetulan sang anak baru naik di kelas 8 SMP. Saya sudah paham
dan mungkin bosan dengan cerita serupa. Anak tersebut tidak mau melakukan apa
pun ketika les atau bimbingan belajar. Ia hanya memainkan pena atau alat tulis
lain sambil berbicara kotor dan kasar.
Menghadapi anak usia SMP memang butuh perjuangan ekstra. Entah
saya merasa tantangannya jauh lebih besar dibandingkan anak SD atau SMA. Anak
SD masih bisa menurut apa yang kita pahamkan. Begitu pula anak SMA yang
pikirannya sudah sedikit dewasa dan mengerti dengan keadaan.
Namun, anak usia SMP yang berada dalam masa peralihan antara
masa anak-anak dan dewasa sungguh penuh liku-liku dalam menghadapinya. Mereka merasa
sudah mulai besar dan bisa mengambil keputusan sesuai keinginan mereka. Meski begitu,
pikiran anak-anak yang masih timbul menyebabkan pengambilan keputusan tidak
didasarkan pengambilan yang matang. Alhasil, mereka kerap bertindak semau
mereka sendiri dan cenderung membantah perkataan dan nasehat orang yang lebih
tua dari mereka.
Jadi ceritanya, anak didik tersebut ngambek pada orang
tuanya karena tidak dibelikan sepeda listrik. Saat ini memang penggunaan sepeda
listrik sangat masif terutama di kalangan anak-anak. Sepeda listrik menghiasi
berbagai sudut rumah, pasar, sekolah, dan tempat umum lainnya. Iritnya bahan
bakar dan penggunaannya yang mudah membuat sepeda listrik mulai meluas.
Nah, lantaran banyak teman-teman sudah memiliki sepeda
listrik, tentu ia juga menginginkannya. Akan tetapi, ayah ibunya tidak mau
membelikannya karena bagi mereka barang tersebut belum atau tidak berguna. Ia masih
punya sepeda pancal dan sering diantar jemput orang tuanya. Mereka juga
berpendirian akan membelikan anaknya sepeda motor ketika sudah SMA dan bisa
memiliki SIM.
Tentu, keputusan ini tidak diterimanya. Terlebih, ia merasa
memiliki uang tabungan dari acara khitan saat SD dulu dan saat Idul Fitri. Makanya,
ia ingin sekali memiliki sepeda listrik agar bisa sama dengan teman-temannya.
Pada suatu waktu, saat menunggu jemputan, anak tersebut masih
saja manyun di depan tempat bimbel. Saya pun mengajak mengobrol sambil membuat
konten You Tube. Kemudian, ia tertarik dan bertanya kegiatan apa yang saya
lakukan. Saya pun menjawab sedang membuat konten.
Lalu, saya bertanya balik mengapa ia murung beberapa hari
terakhir. Walau awalnya tidak mau cerita, akhirnya ia mengatakan yang
sebenarnya. Saya pun hanya mengangguk dan menunjukkan beberapa konten Suroboyo
Bus dan Trans Semanggi yang saya buat.
Saya bilang padanya bahwa kalau mau punya sepeda listrik
sekarang sih sebenarnya tidak masalah. Cuma, saya mengatakan pergerakannya akan
sangat terbatas. Ia hanya akan bisa keliling kompleks, sekolah, tempat bimbel,
dan beberapa tempat yang dekat saja. Tidak bisa jauh sampai ke Tunjungan Plaza
atau tempat hits di Surabaya lainnya karena motor listrik yang saat ini beredar
dan digunakan anak-anak dilarang melintas di jalan besar. Terlebih polisi di Surabaya
galaknya minta ampun.
Saya bilang padanya lebih baik menunggu naik motor beneran
dulu agar bisa jalan-jalan jauh sampai ke pelosok Surabaya Raya. Bahkan kalau
mau ia bisa ke kota sebelah dan mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Kalau pakai
motor listrik sekarang, ya mana bisa.
Nah, sembari menunggu lebih ia menghafal jalan di Surabaya
dulu dengan transportasi umum. Makanya, saya sarankan ia naik Suroboyo Bus, Trans
Semanggi, atau Feeder Wira-wiri. Saya bilang padanya, sambil menghafal jalan,
ia bisa main gim online di dalam kendaraan. Bisa buat konten juga.
Walau awalnya tidak tertarik, tetapi ketika saya menunjukkan
beberapa bocil SD yang naik Suroboyo Bus bersama teman-temannya akhirnya ia
tertarik. Cuma saya berpesan agar ia izin dulu kepada orang tuanya kalau mau
mencoba.
Selang hari kemudian, ia tak lagi murung dan mengatakan akan
naik Trans Semanggi ke beberapa tempat yang dekat dengan tempat les seperti Pakuwon
Mall dan IKEA/Ciputra World bersama temannya. Orang tuanya sampai nitip ke saya
kalau misal ia bingung soal rute. Saya pun kerap mengeceknya ketika sabtu atau
minggu saat ia mengatakan akan jalan-jalan naik transportasi umum.
Apa yang saya alami tadi menjadi tanda delay of gratification
pada anak yang perlu ditanamkan. Saat anak bisa menunda kesenangan dan apa yang
ia inginkan untuk sesuatu hal yang lebih besar. Pemahaman ini sangat penting
agar saat dewasa nanti anak tidak gegabah dalam mengambil keputusan terutama
keputusan penting mengenai dirinya.
Ketika anak menunda kesenangan untuk hal lebih besar, mereka
mempunyai kecerdasan secara intelektual dan emosional lebih baik. Mereka mampu
mengendalikan diri saat menerima sebuah kesenangan lalu berpikir langkah
selanjutnya harus melakukan apa dan bagaimana menciptakan momen dalam masa
tunggu tersebut
Seperti anak didik saya tadi, sambil menunggu ia bisa
menggunakan motor, maka ia berpikir bagaimana bisa menambah daya guna
kesenangannya nanti dengan naik transportasi umum. Ia dapat menghafal jalan
agar tidak ngeblank saat benar-benar bisa motoran. Saat naik transportasi umum
pun ia juga akan mendapatkan sesuatu yang sama berharganya jika ia mendapatkan
motor listrik.
Ia juga akan mendapatkan banyak insight yang tidak ia dapatkan
saat naik motor listrik di seputaran kompleks. Sudahkah Anda mencoba untuk
menanamkan hal ini pada anak Anda?