Mengapa Saya Begitu Terobsesi pada Belajar dari Kegagalan ala Orang Jepang?

Pengunjung Kobe Earthquake Memorial Museum mendengarkan pemaparan kegagalan struktur bangunan saat Gempa Kobe 1995. - https://kobe-convention.jp/

Masih soal tayangan second from disasters, saya selalu menunggu paparan mengenai peristiwa bencana yang terjadi di Jepang.


Salah satunya adalah gempa bumi besar pada 1995 yang terjadi di Kobe. Pada tahun tersebut, Jepang memang telah menjelma menjasi sebuah negara yang sangat maju. Perkembangan ekonomi dan teknologi Jepang seakan jauh mengungguli bangsa-bangsa lain.

Nyatanya, kala dihantam gempa bumi besar tersebut, banyak sekali bangunan di kota besar di Jepang tersebut hancur. Banyak korban jiwa berjatuhan yang membuat negara tersebut terpuruk dalam beberapa saat. Gempat tersebut juga membuktikan sehebat apapun Jepang kala itu, nyatanya ada kerapuhan yang cukup buruk dalam infrastruktur di negara tersebut.

Salah satu cerita yang cukup membuat pelajaran berharga adalah Kota Kobe sebelum 1995 dikenal sebagai kota yang paling pesat perkembangannya. Kemajuan Kota Kobe ditunjang dengan padatnya pemukiman penduduk, gedung perkantoran, pelabuhan, dan aktivitas lain. Kobe digambarkan salah satu patokan keberhasilan negara Jepang dalam meraih tujuan dan mimpinya.

Naas, gempa besar yang melanda pada 1995 tersebut seakan membuat Jepang terhenyak. Pemerintah Jepang kala itu dianggap tidak siap menghadapi bencana, terutama soal mitigasi. Dari tayangan secod from disasters, tampak banyak sekali rumah dan bangunan tinggi yang rapuh dari pondasinya.

Dari luar, bangunan tersebut memang tampak kuat dan kokoh. Nyatanya, saat dihajar gempa beberapa detik, ribuan diantaranya luluh lantak. Salah satu penyebab dari luluh lantaknya bangunan tersebut adalah penggunaan batu bata dan kayu tua. Rumah-rumah di Kota Kobe ternyata banyak yang masih menggunakan kayu tua untuk pondasinya.

Salah satu potongan tayangan memperilhatkan seorang ibu yang kehilangan anaknya di rumahnya. Rumah tersebut dari luar sudah kelihatan modern saat ia memberikan foto kenangan. Namun, ternyata hanya hasil perombakan bangunan tua yang tidak diperkokoh pondasinya.

Sejak saat itu, Pemerintah Jepang mulai belajar dari kegagalan akibat gempa. Mereka membuat Undang-Undang Rehabilitasi Seismik untuk Bangunan-bangunan agar warga mulai menguatkan rumah mereka terutama yang sudah tua. Pemerintah juga memberi bantuan bagi warga yang kekurangan dana asal kegiatan tersebut bisa dilakukan secara masif.

Jepang juga belajar dari kegagalan dalam mitigasi bencana. Pemerintah Jepang pada 1997 menerbitkan Basic Disaster Prevention Plan. Panduan ini meliputi strategi pengurangan bencana, tanggap darurat, pemberian bantuan dan rekonstruksi, serta upaya mengatasi tsunami dan gempa berskala besar. Artinya, mereka berupaya belajar dari kegagalan dengan mencari sebab kemudian memperbaikinya agar kesalahan yang sama tidak terulang lagi.

Prinsip inilah yang saya adaptasi sekarang. Jika dulu saya cenderung larut dalam kegalalan, tetapi sekarang saya mulai berlajar dari orang Jepang untuk segera belajar dari kesalahan. Memang sebagai manusia biasa, kadang rasa penyesalan ada. Memberi waktu sejenak sehari atau dua hari cukup untuk tidak memikirkan kegagalan tersebut. Barulah setelah hati menjadi tenang dan lapang, maka saya mulai belajar dari kesalahan tersebut.

Kalau memaksakan diri untuk segera belajar dari kesalahan, maka pikiran menjadi tidak fokus, Yang terpenting, ketika menenangkan hati, pikiran dibuat serileks mungkin. Menyadari sejenak rasa kecewa, marah, atau rasa tidak enak lain agar hinggap dan pergi dari dalam tubuh. Memaksakan diri untuk mengenyahkan perasaan tersebut secepatnya juga tidak baik karena akan tubuh semakin susah untuk rileks.

Biasanya, saya mempelajari kesalahan dari yang paling kecil. Kesalahan kecil kadang akan berantai menjadi sebuah kesalahan besar yang akan membuat kita gagal. Semisal, saya yang terlalu terburu dalam mengerjakan tugas sehingga tidak teliti.

Belajar dari kesalahan, saya kini lebih bijak dalam mengestimasi waktu untuk mengerjakan sebuah tugas. Saya menghindari multitasking yang membuat saya tidak fokus sehingga bisa salah dan akhirnya gagal. Untuk itu, membuat to do list alias pekerjaan apa yang akan saya lakukan dalam kurun waktu tertentu, semisal satu minggu, kini menjadi agenda rutin. Bahkan dalam bertemu dengan orang, jalan-jalan, dan sebagainya saya susun lebih baik karena saya ingin ada keseimbangan dalam diri.

Semisal. saat hari Sabtu, saya full untuk membuat konten dan mengambil video. Maka, fokus saya pun akan tertuju pada hal tersebut. Tidak untuk kegiatan lain. Dalam menyunting video, selalu saya lakukan saat jam 9 malam. Kegiatan menulis dan menyunting video saat pagi lalu siang hingga malam saya bekerja di bimbel.

Nah, dari kegiatan yang terjadwal tersebut, saya bisa memetakan kelemahan dan kesalahan mana yang perlu saya perbaiki sebelum saya menyelesaikannya. Saya masih ada waktu untuk mengecek beberapa pekerjaan lain dan tidak ndadak alias terburu mengerjakannya. Saya selalu yakin, 50 persen kegagalan kita karena terburu dan 50% dari Tuhan.

Untuk faktor kegagalan yang dari Tuhan, kini saya menyadari bahwa saya diberi waktu untuk belajar lagi seperti yang dilakukan orang Jepang. Jika saya langsung berhasil, maka saya tidak akan belajar lagi dan menyepelekan yang berujung pada kegagalan fatal lainnya. Bisa jadi, jika Jepang tidak dihantam gempa besar 1995, maka kemungkinan ada gempa yang jauh lebih dahsyat dengan kerugian dan korban yang lebih besar. Makanya, mereka masih diberi kesempatan untuk belajar dengan sungguh-sungguh agar jika ada kejadian serupa bisa meminimalisasi korban.

Itulah prinsip saya ketika mengalami kegagalan yakni sebagai pembelajaran agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.

Post a Comment

Next Post Previous Post