Jika Cinta Berselimut Ego, Maka Deritanya Tiada Akhir

 

Ilustrasi. - https://kotomono.co
 

Beginilah cinta, deritanya tiada akhir.

Kutipan singkat ini sangat mengena di sanubari saya. Kutipan tersebut dibuat oleh tokoh Cu Pat Kai dalam serial Kera Sakti. Cu Pat Kai yang merupakan siluman babi asalnya adalah dewa di kahyangan. Lantaran ia terlibat cinta terlarang dengan seorang dewi dan melakukan kesalahan, maka ia dihukum menjalani reinkarnasi terlahir menjadi babi dan harus ikut menjalani ritual mengambil kitab suci ke barat bersama biksu Tong.

Walau merupakan serial yang merupakan karangan fiksi, tetapi tetap saja cerita Cu Pat Kai dan beberapa kisah yang membuat Cu Pat Kai mengeluarkan kata-kata tersebut layak untuk dimaknai. Makna mengenai cinta dan ego yang beda tipis dan sering membuat manusia menderita.

Sejatinya, cinta tidak membuat manusia menderita. Dengan cinta, manusia akan dengan senang hati menjalani kehidupan dan menjalin interaksi dengan sesamanya. Dengan cinta, manusia akan melahirkan keturunan yang membuat mereka tetap dapat meneruskan silsilahnya sehingga tidak akan ditelan oleh zaman. Berkat cinta, manusia akan menemukan kebahagiaan sejati bersama orang-orang yang dicintainya.

Namun, lantaran berbeda tipis dengan ego, seringkali cinta malah menjadi bumerang bagi manusia. Salah satu alasannya adalah rasa ke-aku-an yang timbul dalam menjalin hubungan dengan rasa cinta. Padahal, cinta sejatinya hubungan timbal balik antara dua manusia. Tidak bisa dikatakan bahwa cinta timbul dari salah seorang saja atau sering dikenal sebagai cinta bertepuk sebelah tangan.

Ketika manusia saling mencintai, maka ada rasa rela berkorban pada masing-masing individu. Ada rasa toleransi dari satu individu ke individu lain. Toleransi ini akan dapat diterima oleh kedua belah pihak jika keduanya menjalin komunikasi yang baik. Tanpa komunikasi yang baik, cinta akan berubah menjadi ego yang malah membuat keduanya menderita.

Contoh nyatanya adalah ketika ada pasangan berkomitmen mengenai kapan mereka bisa bertemu atau sekadar telepon. Jika salah satu dari mereka mengutamakan ego, maka akan timbul berbagai pertengkaran. Dari pertengkaran kecil sampai pertengkaran besar yang akan membuat hubungan mereka pun menjadi renggang.

Memang susah membedakan antara cinta dan ego. Di satu sisi, kita sangat mencintai pasangan kita tetapi di sisi lain mereka sebenarnya juga perlu sendiri. Perlu untuk melakukan aktivitas mereka dan kesenangan mereka. Kadang, ego yang tinggi membuat rasa cinta kita menjadi rasa ke-aku-an yang malah membuat menderita. Ketika bertemu, bukannya rasa bahagia, penuh, dan berharga, tetapi rasa kahwatir, marah, dan cemas yang akan hinggap di dalamnya. Sama seperti perkataan Cu Pat Kai dalam berbagai kisah yang ditemuinya.

Pun demikian dengan hubungan orang tua dan anak. Hubungan keduanya juga awalnya dilandasi dengan cinta. Namun, kadangkala, ego dari orang tua atau ego dari sang anak membuat hubungan keduanya menjadi renggang. Semisal, ketika sang anak ingin menentukan sekolah atau masa depannya, kadang orang tua dengan dalih menyayangi sang anak dan ingin yang terbaik bagi anaknya cenderung memaksakan kehendak dan egonya.

Sang anak ingin melakukan A tetapi sang orang tua ingin anaknya melakukan B. Akibatnya, pertengkaran pun timbul dan malah membuat hubungan keduanya menjadi renggang. Sang anak pun juga kadang tetap bersikeras dengan pilihannya tanpa menimbang lebih dahulu baik buruknya dari pilihan tersebut.

Padahal, jika ego dari masing-masing dikesampingkan, maka rasa cinta yang timbul dari keduanya bisa dipersatukan. Ego mereka dapat ditekan sehingga dapat menentukan keputusan yang terbaik melalui komunikasi yang intens.

Makanya, makan bersama dalam satu meja di sebuah keluarga sebenarnya adalah salah satu cara terbaik dalam membedakan cinta dan ego di dalam keluarga. Sayang, tradisi ini sudah mulai hilang perlahan dari masyarakat Indonesia. Masing-masing angota keluarga akan sibuk dengan makanan mereka masing-masing entah di ruang tamu, dapur, atau kamar. Belum lagi dengan gawai yang tidak pernah lepas meski mereka makan. Hubungan komunikasi pun tidak terjalin dengan baik.

Jadi, ego yang dapat menyelimuti cinta sebenarnya akan semakin kuat dari komunikasi. Makanya, sedari kecil, anak sebisa mungkin diajak komunikasi yang baik untuk bisa mengungkapkan perasaan mereka terutama perasaan cinta dengan orang sekitarnya. Jangan sampai sedari kecil ego anak tetap besar sehingga ketika dewasa malah menjadi bumerang bagi dirinya. Yang penting harus ia yang bahagia sehingga malah membuat rasa cintanya menjadi kesengsaraan.

Cinta juga berarti penerimaan atau acceptance. Ketika seseorang mencintai orang lain, maka sebenarnya ia mencintai dirinya sendiri dengan berbagai penerimaan yang ada. Penerimaan mengenai berbagai hal termasuk sifat dari orang yang dicintai. Pada taraf yang masih wajar, jika kekurangan tersebut bisa mereka terima, maka mereka bisa tetap dekat dengan orang yang dicintainya. Namun, jika mereka sudah tidak bisa menerima karena ada kondisi yang membuat mereka harus meninggalkan orang yang dicintainya, maka ya sudah seharusnya mereka meninggalkannya.

Contohnya adalah hubungan kekerasan dalam sebuah pasangan. Seringkali para wanita dengan egonya yang tinggi tidak mau meninggalkan pasangannya yang suka main tangan. Dengan alasan masih cinta, mereka rela sering dijambak, dipukul, atau ditendang karena takut jika harus berpisah dengan pasangannya. Padahal, hubungan semacam ini sudah tidak dilandasi oleh cinta melainkan ego. Snag pria punya ego agar wanitanya tetap tunduk padanya sedangkan sang wanita punya ego untuk tetap bersama dengan sang pria.

Untuk itu, membedakan ego dan cinta memang penting walau cukup sulit. Sadar untuk saling menerima, menjaga, dan memahami satu sama lain adalah kunci. Bukan rasa untuk merasa nyaman semata meski kadang dilandasi rasa tidak nyaman lantaran ego yang tinggi.    

1 Comments

  1. Cinta swbuah kata yang rumit dan dilematis. Bisa bahagia atau jadi duka. Tulisan ini jadi solusinya yah. Cinta jangan dibalut ego. Ciamik deh

    ReplyDelete
Next Post Previous Post