Sebab Akibat, Alasan Mengajarkan Anak Mengenai Tanggung Jawab

 

Ilustrasi - Dok. Istimewa

Menanamkan tanggung jawab kepada anak memang gampang-gampang susah.

Saya merasakannya ketika mengajar dulu. Bahkan, penilaian mengenai tanggung jawab menjadi penilaian tersendiri dalam rapor. Namanya adalah penilaian KI-2 atau penilaian sikap sosial. Pada penilaian tersebut ada beberapa sikap yang ditanamkan kepada anak antara lain jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, dan gotong royong.

Tanggung jawab merupakan penilaian yang sangat penting dalam pembelajaran di sekolah. Bahkan, tanggung jawab juga menjadi salah satu kriteria untuk menentukan siswa apakah dapat naik kelas atau tidak. Jika ada beberapa siswa yang secara nilai akademis masih kurang dan perlu mengulang di tingkatan tersebut, maka ketika rapat kenaikan kelas, biasanya kepala sekolah akan meminta informasi mengenai tanggung jawab anak.

Semisal tanggung jawab mengerjakan tugas, melakukan aktivitas di sekolah, dan lain sebagainya. Jika dirasa tanggung jawab anak sebenarnya sudah bagus tetapi perlu bimbingan ekstra, maka sang anak tetap akan dinaikkan dengan catatan. Namun, jika tanggung jawab anak sangat kurang ditambah orang tua yang cukup abai terhadap upaya anak untuk melakukan tanggung jawabnya, maka dengan berat hati sang anak perlu untuk mengulang di kelas tersebut.

Makanya, peran orang tua dalam membentuk karakter anak yang bertanggung jawab sangatlah penting. Orang tua tidak bisa begitu saja melepaskan anak dalam melakukan tanggung jawabnya. Akan tetapi, tidak berarti orang tua juga seenaknya meminta anak melakukan tanggung jawabnya.

Namanya anak, terutama saat masih duduk di sekolah dasar, mereka akan mencari alasan mengapa mereka melakukan tanggung jawabnya. Mengapa mereka harus mengaji, salat, piket, mengerjakan PR, dan lain sebagainya.

Biasanya, orang tua hanya menuntut anak untuk melakukan tanggung jawab tanpa diberi pengertian yang tepat. Pokoknya sang anak harus melakukan tanggung jawabnya. Pokoknya pekerjaan anak selesai tepat waktu.

Memang cara ini terlihat bagus untuk membuat anak melakukan tanggung jawabnya. Namun, sang anak akan merasa tertekan dan tidak nyaman melakukan tanggung jawabnya. Bagi mereka, yang terpenting sudah melakukan tanggung jawab tanpa ada makna di dalamnya. Padahal, makna melakukan kegiatan dan kewajiban saat masih anak-anak sangat berguna saat mereka dewasa nanti.

Untuk itu, memberi pengertian yang tepat mengapa mereka harus melakukan tanggung jawab sangatlah penting. Contoh mudahnya, ketika selesai pelajaran olahraga, namanya anak ada saja yang dengan entengnya meletakkan baju olahraganya di lantai.

Saat pelajaran matematika, saya kerap menemukan baju-baju kotor tersebut berserakan di lantai. Otomatis, saya langsung menegur mereka yang melakukannya. Namun, saya juga memberi pengertian kepada mereka bahwa dengan meletakkan baju kotor seperti itu ada beberapa kerugian yang akan didapat.

Baju akan tambah kotor karena terkena debu lantai dan bau keringat dari baju akan menyeruak ke ruangan. Apalagi, biasanya mereka berkeringat sangat banyak seusai bermain sepak bola. Praktis, dengan beberapa kerugian semacam itu, suasana belajar menjadi tidak nyaman dan mereka akan rugi. Noda dalam baju pun akan sulit dihilangkan sehingga mereka memperoleh kerugian yang dobel.

Mereka pun mulai sadar dan tak ada lagi yang meletakkannya di lantai. Bahkan, ada seorang anak yang membawa kantong khusus untuk baju olahraga. Ketika saya tanya, ia diberi oleh mamanya untuk memisahkan bajo olahraga yang kotor agar lebih mudah membawanya dan tidak bercampur dengan buku pelajaran. Kata anak tersebut, jika ia melakukannya, maka bajunya akan lebih awet dan tak merusak buku pelajaran.

Alasan sederhana seperti ini memang cukup membantu agar sang anak mengerti tanggung jawabnya. Mereka akan berpikir oh ya kalau saya tak melakukannya, maka ada akibat yang bisa saya dapatkan. Jika saya melakukannya, maka ada keuntungan yang bisa saya dapatkan.

Tanggung jawab yang cukup sulit adalah mengerjakan tugas. Saya memang tidak pernah memberi tugas yang sangat banyak atau di luar kemampuan siswa. Paling pol sih tugas dengan 10 soal. Jika ada tugas banyak, maka waktu pengerjaannya saya buat panjang agar sang anak bisa mencicil tugasnya.

Meski begitu, ada saja anak yang tidak mengerjakan tugas. Memberi hukuman seperti keluar kelas tidak saya lakukan karena percuma juga. Makanya, memberikan pemahaman yang baik adalah kunci.

Lantaran saya mengajar kelas 5, maka saat itu nilai rapor kelas 5 digunakan untuk masuk SMP. Saat itu masih belum ada sistem zonasi seperti sekarang. Nilai rapor dan NUN masih penting untuk masuk SMP yang diinginkan.

Lantas, saya bertanya kepada anak yang tidak mengerjakan tugas, di SMP mana ia ingin melanjutkan pendidikan. Ketika ia menjawab di SMP X, maka saya beri pemahaman bahwa nilai sejak kelas 4 sangat penting. Nah, jika dia tak mengerjakan tugas, nilai apa yang harus diisi? Apa nomor ponsel miliknya?

Saya pun memberi pemahaman jika anak tersebut tidak mengerjakan tanggung jawabnya, maka ia sendirilah yang sesungguhnya mendapat kerugian. Dengan begitu, ia akan bisa memahami bahwa sebenarnya tanggung jawab yang ia lakukan ya untuk dirinya sendiri. Bukan untuk orang lain.

Pemahaman ini memang perlu diajarkan agar anak paham dan tidak selalu terbebani. Maka, saat ia tumbuh dewasa, ia akan dengan senang hati dan sadar diri untuk melakukan kewajibannya. Ketika ia mulai ada keinginan untuk tidak bertanggung jawab, maka ada sebab akibat yang harus didapatkan yang akan bermuara juga kepada dirinya.

Post a Comment

Next Post Previous Post