Bandara NYIA Jogja |
Jujur, saya itu tidak terlalu suka berwisata ke Jogja.
Kalau tidak ingin mencari konten mengenai Trans Jogja, pasti
saya sudah beralih ke kota lain. Purwokerto misalnya. Jogja yang terlalu ramai
sangat tidak cocok untuk saya. Jogja yang sudah kehilangan ruh dengan aneka
tempat wisata hits kekinian yang menyesakkan mata.
Asli, saya bingung mau ke mana. Makanya, saya mencari tempat
yang belum pernah saya datangi dan kelihatnnya asyik. Pastinya, juga tidak
jauh-jauh dari yang namanya transportasi umum. Maka, setelah memilih beberapa
saat, akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan ke Bandara YIA alias Yogya
International Airport.
Bandara ini kalau tak salah berada di daerah Temon,
Kabupaten Kulon Progo. Pembangunan bandara ini sempat menuai pro kontra
terutama dari warga sekitar yang masih belum setuju mengenai pembebasan lahan. Saya
melihat dilema yang cukup miris kala itu.
Di satu sisi, Jogja butuh bandara luas yang mampu menampung
banyak penumpang terutama wisatawan. Tujuannya ya untuk kemajuan Jogja sendiri
karena saya tahu bandara Adisucipto yang memang merupakan lapangan terbang AU
pada awalnya sudah terlalu kecil. Dengan pembangunan YIA, maka diharapkan
semakin banyak wisatawan yang datang ke Jogja. Impikasinya, perekonomian Jogja
pun semakin meningkat.
Penampakan KA Bandara YIA |
Di sisi lain, saya juga paham bahwa tanah yang dibangun
untuk bandara dihuni oleh banyak warga. Tak hanya untuk perumahan, tanah
tersebut juga merupakan tanah yang digunakan untuk pertanian. Warga tidak ingin
tanah yang sudah diwariskan secara turun-temurun harus digusur dan digunakan bandara.
Makanya, penolakan pun terus terjadi. Ketika saya di Jogja dulu, spanduk dan
pamflet penolakan seakan terus dipasang. Tak hanya di Kota Jogja, bahkan hampir
di seluruh wilayah DIY dan daerah perbatasan dengan Jawa Tengah.
Penolakan tersebut akhirnya tak berhasil menggagalkan proyek
bandara YIA yang kini megah berdiri. Akhirnya, saya memiih bandara YIA sebagai
tempat wisata karena menjadi sebuah sejarah penolakan dan perjuangan warga
sekitar dalam mempertahankan tanah leluhurnya.
Saya mencari informasi keberangkatan KA Bandara yang memulai
perjalannnya dari Kota Jogja. Perjalanan KA Bandara ada setiap 30 menitan
sekali, baik dari Stasiun Yogyakarta dan dari Stasiun Bandara YIA. Ada tiket
yang harganya 20 ribu dan ada yang 50 ribu rupiah. Untuk tiket seharga 50 ribu
adalah tiket saat jam sibuk. Saat banyak pesawat berangkat atau tiba di Bandara
YIA.
Bagian dalam kereta bandara. |
Tentu, saya memilih perjalanan saat bukan jam sibuk. Berangkat
jam 5 sore kurang. Lumayan 40 ribu rupiah PP bisa menikmati KA Bandara. Daripada
kena macet di Jogja, lebih baik healing dengan duduk manis di dalam KA Bandara
sambil menikmati wisata alam dan wisata budaya.
Sebelum menuju stasiun, saya membeli tiga buah nasi kucing. Masing-masing
harganya 2.500 rupiah. Prinsip hemat,
cermat, dan bersahaja tetap saya junjung tinggi sebagai alumni Gerakan pramuka.
Nanti, saya mau makan di sana sambil menikmati senja.
Selojoran dulu |
Ternyata, calon penumpang KA Bandara baru bisa masuk ke
dalam ruang tunggu 30 menit sebelum kereta berangkat. Makanya, di depan pintu pengecekan,
ratusan penumpang – termasuk saya – sudah menunggu dengan cemas. Padahal, waktu
keberangkatan masih kurang sejam lagi.
Saat pintu pengecekan dibuka, saya pun langsung bergegas
masuk. Saya beruntung tidak membawa barang dengan jumlah yang cukup banyak. Tidak
seperti penumpang lain yang membawa banyak koper dan oleh-oleh.
Benar saja, penumpang baru diperbolehkan masuk ke peron sekitar
10 menit sebelum kereta berangkat. Praktis, para penumpang berebut untuk bisa
masuk. Tiket KA bandara tidak memiliki tempat duduk tetapi bisa dipastikan
semua mendapatkan tempat duduk alias acak. Siapa cepat, mak ia bisa memilih duduk
di sebelah mana.
Saya pun akhirnya mendapat tempat duduk paling jauh dari
peron. Tak apalah yang penting masih mendapat jendela agar saya bisa memotret
dan merekam pemandangan sekitar. Belum berjalan, kereta sudah penuh.
Kereta ini hanya berhenti di Stasiun Wates. Setelah itu,
kereta bablas langsung ke Bandara YIA. Sungguh, menikmati senja dari dalam
kereta bandara adalah pilihan yang tepat. Sambil menyetel musik, saya bisa
menyaksikan bentang alam Kulon Progo lengkap dengan aktivitas warga yang mulai
bersantai.
Perjalanan hanya memakan waktu sekitar 30-40 menit. Sesampainya
di bandara, saya langsung keluar dan menuju terminal kedatangan. Di sana, rupanya
sudah ramai stan makanan, pakaian, dan oleh-oleh. Meski saya juga berempati
dengan warga lokal yang menolak pembangunan bandara, tetapi saya melihat geliat
ekonomi di wilayah itu semakin kuat. Semoga saja warga lokal bisa menerima dan
mendapatkan ganti rugi yang pantas.
Penumpang berfoto di bagian depan bandara |
Saya berlanjut ke bagian luar atau pintu masuk bandara. Tenryata
pemandangannya sangat indah. Pegunungan Menoreh, yang saya kunjungi beberapa
waktu lalu berjejer dan terlihat apik dari sini. Pemandangan semakin paripurna
dengan semburat jingga kemerahan tanda senja akan usai.
Foto lagi |
Sayang, pengunjung tidak diperbolehkan memotret di area drop
zone karena memang berbahaya. Padahal, pemandangan di sana sangat apik. Saya pun
lalu duduk saja di halaman depan bandara sambil melihat calon penumpang
mengabadikan momen. Rupanya, banyak juga wisatawan dan warga Jogja yang sengaja
datang ke bandar aini untuk menikmatri senja juga.
Saya lalu makan nasi kucing saya yang enaknya luar biasa
meski hanya potongan tempe. Saking lahapnya atau mungkin sangat lapar, maka
saya tak perlu waktu lama untuk memakannya. Ditemani suara pengumuman mengenai
pesawat yang akan berangkat, nafsu makan saya sangat lahap. Beruntung sekali
saya bisa menikmati Jogja dengan cara yang berbeda.
Makan nasi kucing dulu |
Kenyang makan nasi kucing, saya duduk sebentar sembari
mendengar suara azan berkumandang. Syahdu banget rasanya. Meski banyak orang, tetapi
tidak sebanyak di Malioboro atau tempat lain di Jogja. Saya masih bisa
menikmati dengan nyaman. Tak alam, saya pun salat di masjid yang berada di
lantai bawah. Tenang, akses menuju ke sana bisa menggunakan lift.
Rangkaian Pegunungan Menoreh |
Waktu saya sudah habis setelah menunaikan salat. Saya pun
bergegas kembali ke stasiun bandara karena keberangkatan kereta saya sekitar
jam setengah 8 malam. Artinya, saya harus stand by sekitar jam 7 malam. Meski
begitu, saya masih bisa bekeliling sebentar ke pool damri dan tempat taksi bandara.
Dengan kapasitas yang jauh lebih besar, maka lebih banyak kendaraan yang bisa
ditampung dibandingkan di Adisucipto dulu.
Seniman yang mengamen di dalam bandara |
Saya meninggalkan bandara YIA tepat pukul setengah 8. Dengan
estimasi perjalanan setengah jaman, saya masih bisa sampai di Kota Jogja sekitar
jam 8. Masih ada waktu untuk naik Trans Jogja ke Condong Catur menuju penginapan.