Persinggungan dengan Orang-Orang Indonesia Timur di Kota Malang

 

Belakang kampus UMM yang menjadi TKP kerusuhan

Beberapa waktu yang lalu, Kota Malang dilanda kerusuhan yang cukup mencekam.

Ada bentrokan di sebuah kafe belakang kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang menyebabkan seorang mahasiswa asal Nusa Tenggara Timur (NTT) meregang nyawa. Tak hanya itu, kafe tempat bentrokan tersebut juga rusak parah. Beberapa kendaraan terbakar dan menyebabkan kerugian tak sedikit.

Kerusuhan pun berlanjut keesoakan harinya dengan aksi sweeping beberapa oknum mahasiswa asal NTT ke kos-kosan di sekitaran kampus Universitas Tribuwana Tunggal Dewi (Unitri). Mereka mencari siapa pembunuh mahasiswa yang tewas hari sebelumnya,

Suasana semakin mencekam karena bentrokan menjalar ke jalan raya utama penghubung Kota Malang dengan Kota Batu. Lalu lintas pun menjadi terhambat. Banyak warga Kota Malang dan luar Kota Malang takut untuk melintas. Untung saja, tak lama pihak kepolisian berhasil mengamankan situasi sehingga kondusif kembali.

Kerusuhan tersebut merupakan akumulasi dari beberapa kejadian bentorkan dan ketegangan yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Meski tidak ada korelasi langsung, tetapi kejadian ini seakan terus berulang tanpa ada solusi untuk mencegahnya.

Akibatnya, warga di sekitar tempat kerusuhan menjadi terganggu. Mereka takut untuk beraktivitas. Terutama, mereka yang memiliki anak kecil dan harus berada di luar rumah untuk berbagai kegiatan. Bahkan, ada rekaman gambar ketakutan mahasiswi yang kos dekat kafe tempat kerusuhan. Mereka sangat takut jika para perusuh masuk ke dalam kos mereka.

Implikasi langsung dari ketegangan ini adalah semakin kuatnya stigma masyarakat Malang terhadap kaum pendatang terutama dari Indonesia Timur. NTT, Maluku, dan Papua. Stigma ini sebelumnya sudah melekat cukup buruk bahwa mereka adalah biang keonaran di tanah perantauan. Mulai dari tak tahu tata krama, berbicara dengan suara kencang, suka mabuk, dan lain sebagainya.

Stigma ini mau tak mau memang sudah mengakar cukup lama. Warga pendatang terutama mahasiswa dari Indonesia Timur sering dicap buruk. Bahkan, ada beberapa tempat yang sudah tidak mau menerima penghuni asal Indonesia Timur. Tentu, ini sangat merugikan bagi pendatang asal Indonesia Timur maupun warga Malang sendiri.

Bagi mahasiswa asal Indonesia Timur, mereka akan kesulitan dalam mencari tempat tinggal. Bagi warga Malang, harus diakui keberadaan mahasiswa asal Indonesia Timur juga menjadi penggerak ekonomi warga. Tanpa mereka, daerah yang awalnya tidak berpotensi secara ekonomi menjadi ramai.

Contohnya adalah wilayah di sekitar Kampus Unitri. Dulu, saat saya masih sekolah daerah tersebut sangat sepi. Masih berupa perladangan, sawah, dan beberapa bangunan rumah yang tidak terlalu ramai. Kini, daerah tersebut sangat ramai dan padat. Kos-kosan, laundry, jasa fotokopi, rental motor, kafe, jasa pengetikan, hingga warung bermunculan.

Artinya, antara pendatang dari Indonesia Timur dengan warga Malang sebenarnya saling membutuhkan. Bayangkan jika pendatang dari Indonesia Timur eksodus kembali ke daerah asalnya secara besar-besaran. Tentu, daerah yang ramai tersebut akan kembali sepi. Makanya, provokasi untuk mengusir pendatang asal Indonesia Timur sangat tidak tepat.

Kawasan Tlogomas dekat Kampus Unitri
 

Kerusuhan semacam ini sebenarnya tidak hanya pernah terjadi di daerah Tlogomas tersebut. Beberapa tahun yang lalu, sempat pula ada kerusuhan di kampus Universitas Kanjuruhan. Saya lupa bagaimana kronologinya yang jelas suasananya cukup mencekam kala itu.

Kembali ke belakang, sebenarnya mahasiswa dari Indonesia Timur sudah ada Malang sejak dulu. Namun, dulu rasanya jarang atau bahkan hampir tak terdengar bentrokan yang mengakibatkan korban jiwa.

Kampus saya sendiri di UM juga memiliki mahasiswa asal Indonesia Timur. Ada yang dari NTT, Maluku, dan Papua. Diantara ketiganya, mahasiswa asal Maluku yang paling banyak. Mereka ada yang dijadikan satu kelas dan ada yang dilebur dengan kelas lain termasuk kelas saya meski tidak terlalu banyak.

Saya sendiri punya pengalaman berkesan dengan mahasiswa asal NTT. Saya sering berbarengan dengan mereka kalau naik angkot saat perjalanan pulang. Mereka kakak tingkat 2 angkatan di atas saya. Jadi, saya sering bertanya mengenai matakuliah atau dosen yang mengajar.

Kalau dibilang keras, kasar, atau hal tak baik rasanya tidak. Mereka malah ramah sekali dan asyik. Memang, logat mereka seperti itu jadi kalau berbicara agak keras. Bagi saya yang penting nyambung sih tak masalah. Wong pakai bahasa Indonesia.

Saya baru tahu beberapa dari mereka mendapat beasiswa dari pemerintah daerah. Pemerintah kabupaten kalau tak salah. Makanya, ketika mereka lulus, mereka harus segera kembali ke kampung halaman untuk mengabdi. Kebanyakan sih menjadi Guru Kimia karena mereka jurusan pendidikan.

Pengalaman paling berkesan adalah kami sering mengerjakan laporan praktikum bersama sambil menunggu angkot lewat. Saat itu, kami sama-sama naik angkot JDM. Mereka turun di daerah Dieng dan saya turun di Mergan.

Ternyata, mereka tinggal di asrama yang dimiliki oleh pemdanya. Jadi, mereka tidak liar ke mana-mana seperti mahasiswa yang berulah kemarin. Banyak kegiatan positif yang mereka lakukan mulai main musik, olahraga, bela diri, dan sebagainya. Ada yang cerita bahwa saat itu mereka sedang melakukan penggalangan dana untuk gereja tempat mereka beribadah.

Namanya anak muda pasti ada nakalnya. Namun, menurut saya masih wajar sih. Paling-paling bercanda dalam angkot sampai ada yang bajunya sobek. Engga sampai memukul temannya yang menyebabkan korban jiwa.

Dari pengalaman ini, saya punya pemikiran sebenarnya mahasiswa asal Indonesia Timur ini hanya perlu dikoordinasikan. Kalau bisa sih dijadikan satu asrama. Mereka bisa diberi banyak kegiatan positif. Hiburan tetaplah ada tetapi tidak bebas dan menjerumus ke minuman keras. Kembali lagi ini di Malang yang beda dengan tempat tinggal mereka. Kalau mungkin di tempat tinggal mereka minuman keras sudah biasa, tetapi di sini masih tabu untuk dikonsumsi. Ada tapi tidak bebas.

Dengan banyaknya kegiatan positif, maka mereka akan teralihkan dari tindakan negatif. Pergaulan bebas pun juga bisa dihindarkan. Makanya, pemerintah daerah, warga, kampus, dan berbagai pihak bisa membuat pola semacam ini. Meski tidak di asrama, yang penting mereka punya aktivitas yang positif.

Tak hanya itu, yang saya lihat sekarang antara warga lokal dan pendatang dari Indonesia Timur seakan punya gap yang besar. Mereka seakan punya kesibukan sendiri. Walau tinggal dalam lingkungan yang sama, keduanya seakan terpisah dalam dimensi yang berbeda. Jika warga lokal bisa dekat dengan pendatang dari Indonesia Timur, maka para pendatang pun akan merasa memiliki pula daerah yang ditinggalinya. Jangankan membuat onar, membuang sampah sembarangan pasti mereka akan segan.

Semoga saja kejadian ini tak lagi terulang karena sangat mengerikan dan menyebabkan banyak kerugian.

 

  

 

1 Comments

  1. Ngeri banget ini pas tahu beritanya. Semoga gak ada kejadian seperti ini lagi di masa depan. Semoga semuanya akur-akur. Amin.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post