Staycation adalah kunci |
Tahu tidak, kalau akhir bulan ini bakal ada cuti bersama idul Adha.
Gak main-main. Pemerintah menambah dua hari lagi untuk cuti
bersama. Jika biasanya hanya sehari, maka dua hari tambahan menjadi tiga hari
libur. Persis dengan jumlah hari Tasyrik atau hari pemotongan kurban selepas
Idul Adha.
Buat yang cuti tahunannya tidak terpotong oleh cuti bersama
sih tidak masalah. Namun, tidak bagi mereka yang cuti tahunannya terpotong karena
cuti bersama. Rencana untuk liburan saat bukan musim libur pun gagal. Rencana untuk
mengadakan acara tidak saat banyak orang libur juga gagal.
Saya sendiri tidak mengenal cuti bersama dan cuti tahunan. Waktu
libur saya tergantung anak sekolah. Kalau anak sekolah libur ya saya juga ikut
libur meski pada kondisi tertentu ada beberapa pekerjaan yang tetap harus saya
selesaikan. Untuk bulan Juni dan Juli ini, saya mendapatkan kesempatan libur
selama lebih dari dua minggu. Aslinya sih tiga minggu berhubung ada koordinasi
dengan pekerja lain, maka ya sekitar 17 harian libur.
Baik, mengenai problem cuti bersama itu urusan para pekerja
dan pemerintah. Bagaimana para pekerja dan pengusaha bisa bernegosiasi agar sama-sama
enak. Sesungguhnya para pengusaha juga ingin libur dan mereka juga ada yang
tidak sreg dengan tambahan cuti bersama.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa meski cuti bersama ditambah
atau hari libur ditambah, rasanya kok saya semakin malas untuk jalan-jalan. Iya,
makin malas untuk merencanakan healing keluar rumah atau kontrakan. Tidak ada
niatan untuk mencari tempat baru sebagai sarana jalan-jalan.
Tentu, apa yang saya rasakan saat ini kontras sekali dengan
dulu. Saat usia saya masih 20an dan begitu menggebu mencari tempat baru untuk
jalan-jalan. Dulu, rasanya saya sudah punya plan A, B, C ketika libur akan
tiba. Lah ini libur panjang saya malah bingung mau ke mana.
Setelah menimbang, saya baru ingat ada hajatan teman di
Solo, Jogja, dan Karanganyar. Ya sudah saya ke Solo-Jogja lagi untuk sekalian
jalan-jalan plus membuat konten. Daripada mager di rumah atau terjebak macet di
jalanan Malang-Surabaya lebih baik ya main agak jauh dulu.
Ada teman yang juga mengajak saya jalan-jalan ke Bali. Sebenarnya
saya juga kepingin sekalian membuat konten Trans Metro Dewata. Namun, saya kok
awang-awangen alias malas menempuh perjalanan jauh. Saya sudah malas untuk
membayangkan lewat jalur hutan di Banyuwangi dan Bali. Belum nyebrang lautnya. Mau
naik pesawat juga malas untuk menunggu check in dan segala keriwehannya.
Saya merasa semakin tua tidak terlalu excited untuk
jalan-jalan keluar kota atau ke tempat baru. Kalau mau tahu tempat tersebut,
saya langsung membuka video YT atau Tiktok mengenai tempat tersebut. Tentu, tidak
hanya yang bagus-bagusnya saja tetapi juga yang buruknya. Semisal, harga tiket
yang mahal atau akses menuju lokasi yang susah.
Setelah melihat video tersebut, saya sering semakin tidak ingin
untuk mengunjungi tempat tersebut. Saya kerap membayangkan betapa capainya
menuju lokasinya. Berapa banyak juga uang yang harus saya keluarkan untuk
menikmati berbagai fasilitas di sana. Otak saya pun kemudian memgkalkulasi
dengan barang apa yang bisa saya beli.
Ujung-ujungnya, saya jadi ikut kaum mendang-mending dan memilih
untuk menahan diri tidak ikut jalan-jalan ke tempat tersebut. Sebagus apapun tempatnya
dan seviral apapun kondisinya.
Fenomena ini persis dengan kakak sepupu yang pernah
mengatakan di usia kepala 3, rasanya orientasi hidup akan berubah. Keinginan refreshing
akan tetap ada namanya juga manusia. Namun, dengan beban kerja dan beban hidup
yang semakin besar, pilihan akan jatuh pada metode healing yang lebih simpel
dan tak memerlukan pengorbanan besar.
Nongkrong di warkop, mancing di sungai, bersepeda ke
tegalan, atau bahkan main sepak bola adalah model healing yang menjadi opsi
utama. Kalau saya sendiri, staycation di hotel dan pijat refleksi adalah kunci.
Saya hanya perlu melakukan pemesanan lewat aplikasi atau telepon untuk menikmatinya.
Kalau pun ingin jalan-jalan, saya biasanya hanya perlu naik
Suroboyo Bus. Itu pun hanya berputar-putar saja dan kembali ke tempat asal. Kalau
ada tujuan tertentu, saya hanya mencari warung atau tempat sepi yang tidak
banyak dikunjungi oleh banyak orang.
Implikasi dari semua itu, saya jadi tidak terlalu tertarik
dengan cerita yang berseliweran mengenai tempat yang asyik. Bagi saya, menabung
jauh lebih penting dibandingkan dengan mendatangi tempat baru untuk
jalan-jalan. Saya tidak mengecilkan mereka yang memiliki keinginan seperti itu
tetapi rasanya kok sudah cukup ya.
Walau belum menjelajah semua tempat di Indonesia, tetapi
saya sudah merasa cukup pernah mendatangi beberapa kota. Kenangan dalam bentuk
tulisan dan gambar sudah menjadi penanda bahwa sudah saatnya orientasi saya
berubah.
Kalau Anda sendiri, bagaimana?
Saya pikir hanya saya yang demikian hehe. Sekarng kalo kami bisa liburan lebih kepada anak2 yang butuh hiburan
ReplyDelete