Angkot Malang yang sepi penumpang |
Minggu kemarin, saya mencoba naik angkot di Malang.
Tujuannya sih mau jalan-jalan saja karena kebetulan motor di
rumah sedang ada masalah. Mau naik ojek online kok ya sayang. Tak hanya itu,
saya masih punya waktu cukup banyak sekaligus ingin membuat konten mengenai
angkot di Malang.
Seberapa mengenaskan sih angkot di Malang saat ini?
Tujuan utama saya adalah Stasiun Malang. Saya mau jalan-jalan
melihat suasana kereta api yang kini sudah mulai ramai kembali. Untuk itulah,
saya pun berjalan ke jalan besar untuk mencegat angkot. Sebenarnya, jalan raya
di depan rumah saya juga dilalui angkot jalur GML (Gadang Mergan Landungsari).
Namun, angkot tersebut kini sudah menuju punah karena jumlah
penumpangnya yang sangat sepi. Meski beberapa waktu lalu saya menemukan tulisan
yang berisi bahwa angkot tersebut jalan lagi, tetap saja saya tak menemukan
satu pun angkot GML yang lewat depan rumah saya.
Alhasil, saya pun memutuskan untuk naik angkot GA (Gadang
Arjosari) saja. Angkot ini melewati jalan utama di Kota Malang dan
menghubungkan dua terminal besar yakni Hamid Rusdi dan Arjosari. Jika begitu,
seharusnya angkot tersebut menjadi salah satu moda transportasi utama warga
Malang.
Sayang, ketika saya mencoba untuk naik, saya ditolak oleh
dua angkot GA. Alasannya adalah tujuan saya terlalu jauh, yakni ke Stasiun
Malang Kotabaru. Sementara, dua angkot tersebut hanya sampai Alun-Alun Kota
Malang saja. Setelah itu, keduanya akan putar balik ke arah selatan.
Angkot ketiga yang saya temui pun juga sama. Sang sopir
hanya mau sampai di Alun-Alun saja. Berhubung sudah menunggu lama, akhirnya
saya pun naik dan akan turun di Alun-Alun. Saya berbarengan dengan seorang ibu
bersama seorang anak yang juga mau ke alun-alun. Tak ada lagi penumpang yang
naik.
Hanya Dapat Tiga Penumpang
Saat perjalanan, sang sopir bercerita bahwa beliau hanya
mendapatkan penumpang 3 orang saja dari awal narik. Padahal, hari sudah
menjelang siang. Tiga orang tersebut naik dari Arjosari dan tidak ada penumpang
lain sepanjang jalan. Sungguh miris.
Saya pun akhirnya sampai di Alun-Alun Kota Malang dan turun
dari angkot. Berjalan kaki kea rah Stasiun Malang, taka da satu pun angkot GA
yang saya temui. Angkot lain pun hanya berseliweran satu dua buah saja. Padahal,
jalan tersebut adalah jalan utama yang semestinya menjadi jalan yang dilalui
oleh angkutan umum.
Mendapatkan 3 penumpang saja sangat susah. |
Fenomena ini menjadi hal yang menyedihkan bagi Kota Malang. Kota
yang menjuluki dirinya sebagai smart city ini ternyata tidak terlalu pintar
dalam mengelola transportasi umum. Buktinya, sopir angkot dibiarkan berjuang
sendiri menghadapi gempuran moda transportasi online. Mereka sudah hampir
menyerah untuk tetap bertahan dengan berbagai cara yang bisa dilakukan. Salah satunya
adalah memendekkan rute dari rute yang semestinya.
Padahal, sesuai aturan, saya bisa turun sesuai tujuan saya
karena angkot tersebut berakhir di Terminal Arjosari. Namun, melihat keadaan
sang sopir yang sangat kepayahan dalam mencari penumpang, saya tidak bisa
memaksakan kehendak saya.
Beliau pasti juga sudah menghabiskan uang tak sedikit untuk
membeli bahan bakar minyak. Kalau dalam seharian hanya mendapatkan kurang dari
10 penumpang yang artinya tak sampai 50 ribu, berapa kerugian yang harus ditanggung?
Belum lagi, jika ada nominal setoran tiap hari yang harus
ditutupi. Kalau tak salah, dalam sehari lebih dari 150 ribu rupiah harus
disetorkan jika armada angkot bukan milik sendiri. Kalau pun juga milik
sendiri, tentu ada biaya perawatan dan sejenisnya yang harus dipikirikan. Kalau
penumpang semakin habis, dari mana mereka bisa mendapatkannya?
Angkot Lebih Sering Disewakan
Maka, para pemilik dan sopir angkot lebih tertarik
menyewakan angkot mereka untuk acara tertentu. Entah liburan, hajatan, atau
kegiatan apapun. Biasanya, satu hari mereka disewa sekitar 250 ribu rupiah atau
bahkan lebih tergantung jarak tujuan. Jumlah itu sudah cukup untuk mengejar
setoran daripada berjalan sesuai jalur
yang semestinya.
Akibatnya, jumlah angkot yang berada di jalanan semakin
sedikit dan membuat penumpang harus menunggu lama. Kalau pun ada, biasanya
sopir tak mau sampai akhir rute dan kembali di tengah rute. Penumpang pun harus
mencari cara agar bisa ke tempat tujuan. Lambat laun, mereka akan beralih ke moda
transportasi lain seperti ojek online meski harganya lebih mahal.
Suka atau tidak, masalah angkot di Kota Malang ini harus
menjadi prioritas. Sampai kapan Malang tertinggal jauh menata transportasi
umumnya? Padahal, kota ini menjadi kota terbesar kedua di Jawa Timur dan
terbesar ke-9 di Jawa berdasarkan jumlah penduduk. Jumlah mahasiswa yang
menyesaki Malang dengan kendaraan pribadinya juga membuat jalanan semakin macet.
Memasuki tahun 2023, tetap mempertahankan angkot konvensional
seakan merupakan pekerjaan menegakkan benang basah. Sopir angkot akan berupaya
keras mencari cara bisa menutup setoran walau penunpang di jalan terlantar.
Konsep Buy The Service Perlu Dilakukan
Untuk itulah, konsep buy the service yang sudah dilakukan
beberapa kota sudah saatnya diterapkan di Malang. Keuntungannya tentu penumpang
akan mendapatkan kepastian jadwal angkot yang beroperasi. Sopir juga tidak lagi
dipusingkan oleh setoran yang menyesakkan. Mereka akan digaji cukup paling
tidak sesuai UMR. Tentu, dengan aturan yang mengikat seperti jadwal kerja dan
cara mengemudi di jalanan.
Konsep ini sudah diterapkan dan cukup berhasil. Surabaya
adalah contohnya yang cukup sukses dalam menjalankan Feeder Wira-Wiri. Mereka merekrut
sopir angkot untuk menjadi sopir feeder. Penumpang semakin banyak yang naik
angkutan umum dan kini kabarnya ada penambahan rute lagi agar seluruh angkot di
Surabaya nantinya bisa diubah menjadi feeder wira-wiri.
Namun, masalah utama program seperti ini belum terlaksana di
Kota Malang terletak pada dua pemeran utama. Pertama dari Pemkot Malang sendiri
terutama Dinas Perhubungan. Kedua, tentu dari para sopir sendiri.
Pemkot Malang memang tidak serius dan tidak ada itikad untuk
memperbaiki masalah ini. Fokus utama mereka hanya pada membangun kawasan Kayu
Tangan dan menutup jalan untuk berbagai kegiatan yang tidak terlalu penting.
Angkot yang ngetem menunggu penumpang |
Konsep baru seperti buy the service juga tidak sepenuhnya
diterima oleh sopir angkot maupun pemilik angkot. Mereka akan takut jika konsep
ini malah membuat sulit terutama dalam hal operasional lantaran menggunakan
alat khusus. Pemilik angkot juga pasti keberatan jika harus meremajakan armada
mereka yang jumlahnya tak sedikit.
Penolakan seperti ini pernah saya dengar dari Pak Anies
Baswedan yang meremajakan angkot untuk armada Mikro Trans. Meski ditentang,
akhirnya kini Jakarta punya banyak rute mikrotrans yang sangat membantu warga. Bahkan,
banyak rute yang masuk perkampungan dan menjadi tumpuan warga.
Jika konsep seperti Jakarta dan Surabay sulit, paling tidak
konsep feeder Solo bisa diadopsi. Peremajaan armada tidak menggunakan armada
baru. Armada lama yang masih layak pakai tetap digunakan hanya menambah mesin
tap, GPS, dan sensor kecepatan di dalam mobil. Tentu, biaya yang dibutuhkan
juga tidak terlalu banyak asal armada berjalan sesuai jadwal yang ditetapkan.
Entah sampai kapan angkot di Malang ini bisa bertahan. Apa menunggu ganti kepemimipinan agar masalah utama ini bisa terselesaikan.
sedihhh ngeliat angkot di Malang sekarang nggak kayak dulu lagi
ReplyDeleteBahkan nih waktu aku ke malang naik kereta, biasanya kalau dulu di depan stasiun, angkot yang ngetem selalu penuh penumpang dari arjosari atau mungkin dari stasiun, sampe susah dapetnya.
sekarang banyak yang milih praktis dengan pesan ojek. Beberapa tahun lalu, sebelum Malang dimasuki ojol, dari arjosari ke Dieng, aku naik angkot, dan ya masih cukup ramean. Lama-lama makin sepi aja
Sepertinya masalah jamak di semua kota ya mas. Orang-orang lebih suka pake kendaraan pribadi dengan alasan lebih fleksibel. Jogja pun juga gitu... Jalan Magelang yang aku lewati hampir tiap hari sekarang bus-bus kecil jurusan Yogya-tempel atau model cemara tunggal yang sampai Magelang makin jarang..
ReplyDelete