Saya itu makin heran ya dengan kelakuan orang zaman sekarang terutama anak-anak muda.
Kok, rasanya tidak bisa puas jika melihat sesuatu yang
terlihat indah terutama di media sosial seperti TikTok. Ada saja usaha untuk
meromantisasi dan membuat siapa pun seakan ingin mengunjungi sebuah tempat.
Entah kafe, warung makan, atau tempat apapun.
Efeknya tentu tem[at tersebut menjadi sangat ramai
dikunjungi orang. Bukan ramai lagi bahkan cenderung membeludak. Penuh dengan
orang-orang yang membawa aneka macam peralatan tempur. Mulai dari ponsel,
kamere DSLR, mirrorless, dan kamera aksi, serta berbagai pendukungnya. Pendek
kata, peralatan tempur harus tetap dibawa agar bisa mendapatkan konten
sebaik-baiknya.
Konten yang bisa langsung dipamerkan ke banyak orang
terutama orang terdekat, mulai dari keluarga, teman dan rekan kerja. Konten
yang bisa memuaskan diri bahwa mereka sudah berhasil untuk mencapai keinginan
eksis yang bisa mendapatkan pengakuan dari banyak khalayak. Pujian, rasa
bangga, tentu akan terpancar terlebih jika mereka bisa mengabadikan momen di
tempat – yang menurut mereka – bagus dan layak dikunjungi.
Perburuan konten semakin merajalela dengan adanya Tiktok.
Dulu sih ketika masih Tiktok belum semasif sekarang, Instargam memegang kunci.
Namun, dengan adanya Tiktok dengan narasi yang wah dan spektakuler, rasanya
orang semakin kalap untuk berlomba menjadi yang terdepan. Berlomba untuk
menjadi yang pertama dan terdepan dalam membuat konten. Selain kepuasan diri,
tentu jumlah views yang banyak sehingga bisa mendapatkan uang dari konten
tersebut adalah kunci.
Apakah hal ini salah? Tentu pada awalnya tidak. Dengan
masifnya penggunaan media sosial terutama TikTok, sah-sah saja orang-orang
melakukannya. Namun, yang membuat kegiatan ini menjadi mengerikan adalah mereka
menggunakan tempat privat untuk melampiaskan nafsu birahinya.
Pekarangan orang, taman milik orang, dan kawasan perumahan.
Semua tempat tersebut sebenarnya adalah milik pribadi atau kelompok yang tidak
boleh sembarang orang bisa masuk. Mereka punya Batasan privasi yang harus
dihargai seperti batasan pada mereka yang membuat konten.
Nah, entah siapa yang memulai, tiap waktu ada saja cerita
mengenai viralnya sebuah tempat milik privat. Tempat yang mulanya sepi dan
hanya pemilik tempat tersebut yang bisa menggunakannya, kini mulai ramai
diserobot oleh pemuja konten.
Mulanya sih, mereka hanya membuat narasi untuk healing.
Lama-kelamaan, mereka akan melakukan kegiatan yang mengganggu dan merusak
properti milik pribadi atau kelompok. Mulai dari menginjak rumput, merusak
pagar, atau bahkan membuang sampah sembarangan.
Lambat laun, jumlah mereka semakin banyak dan makin
menggangu privasi orang. Tempat yang mulanya damai sejahtera menjadi ramai dan
tak terkendali. Bak sebuah wilayah yang mulanya indah nan asri berubah menjadi
kacau diserang bala-bala pemuja konten TikTok.
Tentu, kita masih ingat rumah Abah Jajang di Cianjur yang
sempat viral beberapa waktu yang lalu. Rumah di pinggir hutan dengan
pemandangan kaki bukit dan air terjun tersebut mendadak ramai dikunjungi oleh
orang banyak orang. Sampai-sampai, banyak orang yang mengaku wisatawan dari
luar kota datang ke sana. Padahal, jika dipahami dengan saksama, tersebut bukan
merupakan tempat wisata.
Tempat tersebut adalah lahan pribadi milik orang yang harus
dihormati kepemilikannya. Sama dengan kepemilikan pribadi milik orang-orang
yang datang ke tempat tersebut. Walau yang bersangkutan tidak keberatan dengan
hadirnya para bala-bala pemuja konten tersebut, tetapi rasanya tidak etis jika
memaksakan ego pribadi dengan melanggar privasi orang lain.
Akibatnya, halaman rumah Pak Jajang menjadi rusak dan tidak
indah seperti dulu. Rumput hijau yang tumbuh subur berubah menjadi tanah karena
sering diinjak. Bak terkena serangan invasi mengerikan, tempat tersebut menjadi
tak sama seperti dulu. Butuh waktu dan usaha keras untuk mengembalikannya.
Apakah mereka yang keranjingan konten mau memperbaikinya?
Oh tentu saja tidak.
Fenomena lain muncul di perumahan Citra Garden Malang. Dulu
saya pernah membuat konten di sini yakni di kolam renang. Saya bersama keluarga
besar untuk berenang. Tempatnya memang sangat bagus dan kami semua membayar
tiket kolam renang seharga 30 ribu rupiah. Sebelum berenang, kami sempat
melihat pemandangan bagus di dekat minimarket. Namun, kami paham jika tempat
itu bukan milik umum melainkan milik perumahan. Makanya, kami hanya menikmati
pemandangan di tempat yang memang diperbolehkan oleh pemilik kolam renang.
Ada taman yang bagus di dekat kolam renang itu yang bisa
kami gunakan untuk makan dan minum. Tempat tersebut memang diperuntukkan bagi
pengujung kolam renang yang baru selesai berenang. Saya juga membuat konten You
Tube yang menjadi kenang-kenangan bahwa ada tempat sebagus itu di Malang.
Sayangnya, saya juga menemukan berita bahwa tempat tersebut kini diserbu. Bukan
kolam renang berbayarnya melainkan sebuah lapangan rumput yang berada dekat minimarket.
Lapangan ini tidak diperuntukkan untuk manusia atau apapun karena memang
didesain untuk taman. Nah, para pemuja konten TikTok ini menggunakan la[angan
tersebut untuk nyenja.
Katanya, sih mereka akan mendapatkan spot menarik berupa
langit yang indah di atas lansekap Kota Malang. Pas sekali untuk membuat
konten. Namun, mereka menginjak rumput tersebut, membuatnya rusak, dan membuang
sampah sembarangan. Mereka tidak berkontribusi terhadap pemeliharaan fasilitas
di sana hanya numpang duduk.
Tentu, perilaku mereka membuat pengelola perumahan meradang
sehingga para satpam mengusir mereka. Pengembang perumahan bukanlah Abah Jajah
yang rela hati tempatnya dimasuki oleh banyak orang dengan tujuan konten
semata. Akhirnya, tempat tersebut diberi garis kuning yang membuat siapa saja,
kecuali petugas dilarang masuk.
Ada narasi yang cukup menyudutkan pemilik perumahan dengan
embel-embel harus beli rumah di sana. Padahal, tempat tersebut adalah milik
privat. Para pemuja konten Tiktok malah diserang balik oleh Netizen. Mereka dianggap
rakus dan tamak tidak tahu aturan maunya seenaknya sendiri.
Padahal, jika mau menikmati senja seperti itu, cukup cari
tempat yang enak dan tanpa perlu mengajak orang lain. Ada banyak tempat di
perumahan yang bisa digunakan. Saya sendiri sering ke perumahan Citraland di
Surabaya dan duduk di tamannya. Namun, saya tak mau mmebuat konten TikTok. Cukup
nikmati sendiri serta tetap jaga ketertiban.
Bukankah kita tidak mau diusik kenyamanan kita oleh orang lain?
nyebelin banget sekarang nih... pada jadi budak konten semua apa gimana sampe mengganggu ketenangan dan kenyamanan orang lain.
ReplyDelete