Ilustrasi. - BBC |
Beberapa hari yang lalu, saya dikejutkan dengan berita kematian teman satu komunitas menulis.
Saya tahu memang namanya usia sudah rahasia dari Sang Ilahi.
Saya mengira yang bersangkutan meninggal karena sakit yang dideritanya. Lantaran,
sebelum meninggal saya sempat dengar kabar bahwa beliau mengidap penyakit
tertentu yang cukup menganggu. Penyakit itu pun yang kemudian membuat beliau
pada kurun waktu terakhir tidak pernah mengikuti acara komunitas.
Namun, ternyata beliau meninggal karena bunuh diri. Dari berita
yang saya dapatkan, beliau ditemukan gantung diri oleh rekan kerjanya di sebuah
kontrakan. Saya pun kaget dan tak menyangka atas kejadian ini. Seakan tak
percaya dengan apa yang saya baca.
Tingkat Spiritualias dan Bunuh Diri
Saya tidak ingin lebih lanjut mencari penyebab mengapa
beliau gantung diri. Bagi saya ini peristiwa yang cukup memilukan karena saya
mengenal beliau cukup rajin beribadah, tenang, dan mampu berkomunikasi dengan
banyak orang dengan baik. Rasanya kok bisa ya?
Saya pun kemudian berpikir kembali bahwa keinginan bunuh
diri dan depresi tidak ada korelasi yang begitu erat dengan spiritualitas seseorang.
Memang, ketika tingkat spiritualitas seseorang cukup tinggi, makai seakan lebih
mudah untuk tenang dalam menyelesaikan permasalahan.
Akan tetapi, spiritualitas seseorang tidak menjamin bahwa ia
bisa aman dari gangguan depresi. Dari paparan dokter spesialis jiwa yang saya
dapat, depresi adalah sebuah penyakit yang memang harus diobati. Sama seperti
pilek, batuk, atau panu.
Obat dari depresi tak lain adalah konsultasi ke dokter
spesialis jiwa dan mendapatkan penanganan medik yang tepat. Meningkatkan spiritualitas
memang salah satu cara terbaik dalam menangkal depresi tetapi bukan satu-satunya
cara. Makanya, ketika saya menemukan orang yang tingkat spiritualitasnya tinggi
dan melakukan bunuh diri, saya semakin yakin, menyuruh rajin salat dan berdoa
bukanlah solusi dari depresi.
Maskulinitas, Olok-Olok, dan Bunuh Diri
Salah satu hal lain yang cukup menjadi perhatian saya adalah
mengenai maskulinitas dalam hubungannya dengan bunuh diri. Kebetulan, rekan
saya tadi seorang laki-laki. Saya semakin yakin jika sebagai laki-laki,
sebenarnya beban berat untuk menghadapi masalah tidak bisa dengan mudah diceritakan
untuk didapatkan solusi.
Laki-laki yang dituntut untuk selalu kuat harus menahan beban
berat dari lingkungan sekitar. Ekspektasi yang tinggi, dorongan untuk tidak
boleh terlihat lemah, dan lain sebagainya membuat laki-laki harus mampu menahan
beban berat tersebut seorang diri.
Pada satu titik, beban berat tersebut tidak akan bisa diselesaikan.
Ada banyak cara untuk melampiaskan kekesalan dan keputusasaan akibat masalah
yang tidak bisa diceritakan. Merokok, berkelahi, melakukan hobi tanpa kenal
waktu, dan lain sebagainya. Puncaknya, jika beban tersebut sudah tak bisa
ditahan lagi, maka bunuh diri adalah solusi.
Pikiran untuk bunuh diri timbul karena tidak ada jalan lain
yang bisa ditempuh. Mau bercerita juga bingung ke siapa. Jikalau punya pasangan
belum tentu mereka mau mendengarkan keluhan. Meski sebenarnya adanya pasangan
justru bisa membuat masalah menjadi ringan tetapi tidak semua orang mendapatkan
pasangan yang bisa diajak untuk berbagi suka dan duka.
Pun demikian dengan keluarga dan teman. Malah, sebagai laki-laki
seakan harus tampak prima di depan mereka. Jangankan bercerita, terlihat lemah
di depan keluarga dan teman seakan aib yang harus ditutupi. Implikasinya, keluarga
dan teman malah menjadi penggempur mental paling ampuh yang bernama olok-olok.
Pemikiran ini saya dapatkan dari tulisan berjudul Bunuh Diri, Maskulinitas dan Agama Sebagai Ruang Intim Manusia oleh Afrizal Qosim
seorang peneliti islam. Beliau mengatakan bahwa agam sebagai ruang intim
manusia sejatinya berperan sebagai ruang intim untuk mendekatkan iman yang paripurna.
Artinya, agama berperan sebagai atap atau pelindung moral. Agama seharusnya
bisa melindungi manusia dari berbagai rasa tidak aman dan nyaman atas kehidupan
yang dilaluinya sehingga bisa memicu tindakan bunuh diri.
Islam memang secara tegas melarang bunuh diri. Berbagai dalil
pun sudah mengatakan hal tersebut. Tidak hanya islam, beberapa agama lain juga
melarang bunuh diri. Meski demikian, larangan ini sejatinya bukanlah larangan
yang membuat agama menjadi sesuatu yang tidak bisa mencegah upaya dari bunuh
diri.
Salah satu pemikiran yang membuat saya tertarik dari tulisan
tersebut adalah bahwa bunuh diri seseorang bukanlah murni dari diri sendiri. Ia
timbul dari berbagai faktor termasuk lingkungan. Lingkungan yang tidak kondusif,
suka melakukan olok-olok, adalah lingkungan yang sejatinya membunuh seseorang.
Kultur olok-olok, terutama kepada laki-laki yang dianggap lemah jika tak sesuai ekspektasi sebenatnya berlaku juga balasan setimpal, baik sanksi agama dan sanksi sosial. Olok-olok bisa dikaitkan dengan istilah dalam Al-Quran yakni "Dan janganlah kalian saling membunuh satu sama lain".
Perintah ini terdapat dalam Al-Quran. Membunuh sesama manusia
tidak melulu perang senjata, menghunus pedang, atau menembak. Mengolok-olok
manusia lain tanpa ampun dengan menjatuhkan martabatnya serendah-rendahnya juga
merupakan mesin pembunuh yang ampuh. Contohnya, kasus bunuh diri anak sekolah
yang lompat dari loteng sekolahnya juga dimulai dari gempuran olok-olok yang
tiada ampun dari temannya.
Apalagi, jika kekuatan mental tidak dibarengi dengan dukungan
lingkungan yang memadai, maka kasus bunuh diri terutama pada laki-laki akan
semakin banyak. Di Surabaya, saya sering mendengar kabar pembunuhan hampir
setiap bulan yang dilakukan oleh laki-laki.
Ada yang melompat dari lantai 5 gedung perbelajaan,
menceburkan diri di Kalimas, gantung diri dan minum racun serangga, dan yang
paling sering adalah menabrakkan diri di perlintasan kereta api. Bahkan, seakan
hampir tiap bulan ada saja kasus bunuh diri di Surabaya dengan menabrakkan diri
ke kereta api.
Perlunya Masyarakat yang Lentur
Sebagai penutup, saya sepakat kembali dengan tulisan tadi
bahwa sebagai manusia, sejatinya kita perlu menciptakan masyarakat yang lentur.
Tidak meletakkan kualitas manusia berada di bawah harta kekayaan, jabatan,
kepintaran, follower, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, sebagai masyarakat
sudah saatnya menghilangkan keyakinan dalam menilai keterpurukan orang lain
sebagai murni kesalahannya sendiri.
Mengurangi bertanya mengapa tak kunjung menikah, mengapa
memilih pekerjaan yang gajinya kecil, atau mengapa tidak mencapai batas
kesuksesan tertentu seperti kebanyakan orang pada umumnnya. Ini sama saja
dengan kita mencela sumber air yang keruh sementara kita melakukan penebangan
pohon sembari membuang kotoran di sumbernya.
Tentu, rasa menyesal dan kaget jika ada orang terdekat bunuh
diri. Semuanya memang takdir dari yang Kuasa tetapi bukan berarti kita abai
terhadap penyebabnya. Satu hal yang perlu diingat, ketika orang meninggal bunuh
diri, sebenarnya dia butuh bantuan.
Betul, Mas. Menyuruh orang depresi untuk rajin ibadah itu sia-sia. Karena berdasarkan pengalamanku, ketika aku disuruh agar lebih mendekat ke Tuhan, aku malah bingung dan otakku malah mampet. Mendekatkan diri ke Tuhan barangkali memang bisa sebagai salah satu pelengkap untuk terapi, bukannya hal yang utama. Itupun harus dilihat-lihat dulu apakah sesuai dengan karakter orangnya. Karena yang utama, tetap obat dan psikoterapi.
ReplyDelete