Ilustrasi. - dok istinewa |
Apa sih yang membuat saya tetap semangat membuat blog dan vlog?
Salah satunya adalah bisa menginspirasi orang melakukan apa
yang saya lakukan. Tentu dalam hal baik. Bukan saat saya menggunjing,
mengumpat, atau memaki orang. Itu beda urusannya.
Nah, kemudian ada teman yang bukan blogger atau vlogger
bertanya kepada saya apakah saya adalah seorang influencer. Saya pun dengan
tegas mengatakan tidak seperti tulisan Katakan Tidak Pada Narkoba. Saya masih
senang disebut sebagai blogger atau mungkin kini vlogger karena aktivitas
nge-Youtube saya.
Dua sematan itu memang bisa saya terima dari apa yang saya
hasilkan. Menulis blog ya disebut blogger membuat konten video ya disebut
vlogger. Entah tulisan saya dibaca atau video saya dilihat atau tidak itu
urusan nanti. Yang jelas saya tetap konsisten sebisa saya melakukan dua
aktivitas tersebut di sela-sela kesibukan saya yang luar biasa.
Lantas, mengapa saya menolak disebut dengan influencer?
Jawabannya adalah sebutan ini bagi saya ambigu. Sebenarnya,
kita semua adalah influencer. Ayah dan ibu adalah influencer anaknya. Kakak
adalah influencer adiknya. Guru adalah influencer muridnya. Murid adalah
influencer temannya.
Dalam contoh yang lebih sederhana, seringkali kita bertanya
mengenai makanan dan pakaian yang dikenakan orang sekitar.
“Hari ini masak apa, Jeng?” tanya seorang ibu kepada
tetangganya. Saat sang tetangga mengatakan ia sedang masak sayur sop dengan
bumbu khas Ilo Ilo City, maka ibu tersebut pun mengikutinya karena rasa
penasaran.
Maka, ibu yang ditanya tadi bisa disebut sebagai seorang
influencer meski ia hanya IRT biasa yang berkutata di dapur dan rumah. Tak
punya follower atau subscriber. Dengan apa yang dilakukannya dan informasi yang
diberikan, maka ia bisa disebut sebagai influencer. Lantaran, seorang ibu
lainnya melakukan dan tertarik dengan apa yang telah dilakukan di Jeng tadi.
Dalam ilmu sosiologi, saya lupa sebuah istilah yang tepat
untuk hal ini. Kalau tak salah ada sugesti dan imitasi. Nilai pelajaran sosial
saya amat parah ketika sekolah dulu kecuali sejarah. Jadi ya maklum kalau saya
tak ingat. Intinya, seseorang akan cenderung meniru apa yang dilihatnya. Kata
kuncinya adalah rasa penasaran.
Rasa penasaran di sini memegang kendali atas apa yang akan
diperbuat oleh orang lain. Jika orang lain tertarik untuk melakukan apa yang
dilakukan orang yang dilihatnya, bahkan ikut melakukannya, di situlah kata
kunci “influence” bisa disematkan.
Pemahaman ini kemudian menyebabkan banyak orang yang merasa
bahwa dirinya sudah memengaruhi orang lain. Maka, ia pun menyebutnya sebagai
influencer. Alias, orang yang hidupnya bisa memengaruhi orang lain lewat
perbuatan atau hal-hal yang ia lakukan. Pemahaman pun kemudian mengerucut kepada
jumlah followers atau subscriber di media sosial. Semakin banyak jumlahnya, maka
ia bisa dikatakan mempengaruhi hidup orang lain.
Alhasil, satu per satu orang pun mulai mencari cara bagaimana
agar ia bisa mendapatkan angka tersebut sebanyak-banyaknya. Entah dengan cara organik
atau membeli. Semua sah-sah saja asalkan memang apa yang ia lakukan masih dalam
batas wajar.
Namun, semuanya menjadi tidak menyenangkan tatkala angka
tersebut dijadikan patokan untuk merasa bahwa apa yang ia lakukan harus dinilai
oleh orang lain. Harus mendapatkan apresiasi dan penghargaan, terutama uang. Apesnya,
kini menjamur so called influencer yang merasa bak seperti malaikat, nabi, atau
bahkan Tuhan yang berada pada posisi lebih tinggi dari orang lain.
Bermodal jumlah followers dan subscriber, mereka pun
melakukan banyak hal yang tidak patut. Salah satu yang sedang ramai saat ini
adalah permintaan perlakuan istimewa seorang Youtuber makanan. Ia merasa
seharusnya tempat yang ia datangi harus memberikan benefit lebih karena ia
sudah meliput tempat usahanya. Sontak, apa yang ia lakukan mendapat banyak
kecaman meski ia sudah susah payah membangun nama dan memperbanyak jumlah subscriber.
Ada lagi seorang yang mengaku food blogger dengan cara
sedikit memaksa memberikan penawaran kepada pelaku usaha kuliner agar mereka
mau menggunakan jasanya. Ketika pelaku usaha kuliner menolak atau hanya bisa memberikan
barter produk, ia pun seakan tersinggung dan marah. Padahal, yang pertama kali
mengubungi dan sedikit memaksa adalah dia. Yang pertama kali seperti sales obat
bisul atau penjual stiker di bus.
Melihat kelakuannya, saya jadi ikutan kesal. Kesal karena
kasihan pada pelaku usaha makanan yang belum tentu punya dana berlebih. Kesal juga
pada food blogger yang memang niat mereview makanan dengan koceknya sendiri
plus tulus ikhlas memberikan konten yang maksimal. Apalagi, saat saya melihat
profilnya, tak tampak alamat situs tempatnya menulis. Begitu kok disebut
blogger.
Tidak hanya itu, kadang saya melihat mereka yang menyebut
influencer lingkar jejaringnya ya aitu-itu saja. Ya mereka yang menyebut
dirinya sebagai influencer. Tak heran ada arisan like, arisan komen, atau
apapun demi menaikkan engangement unggahannya. Lantas kalau begini, siapa yang
akan dipengaruhi wong kontennya ya muncul di lingkaran yang serupa.
Saya begitu respek terhadap mereka yang fokus pada perbaikan
dan peningkatan konten mereka. Terlepas mereka menerima jasa untuk memengaruhi
orang lain, tetapi itu hanya sebagai pemanis saja. Saya tahu mereka pasti juga
butuh uang dan tentu akan ingin juga mendapatkan product review
sebanyak-banyaknya. Namun, mereka tidak menjadikan jumlah follower dan
subscriber menjadi sesuatu yang diagungkan.
Saya sendiri merasa jumlah follower dan subscriber adalah sebuah
beban. Semakin banyak, maka beban saya akan bertambah. Untuk itu, saya tidak
lagi niat menambah jumlah follower di Instagram yang hanya seribu. Untuk You
Tube, saya hanya mengejar agar bisa monet saja yakni 1.000 buah. setelah
mencapai 1.000, saya sudah bodo amat. Mau nambah ya alhamdulillah kalau tidak
ya sudah.
Dengan begini, saya bisa menjalani kegiatan membuat konten lebih bebas dan asyik lagi. Mau dikata pencapaian jumlah metrik tersebut stagnan saya tak peduli. Saya lebih senang orang lain mau mengikuti apa yang saya lakukan tanpa banyak ba bi bu ribet urusan follower. Prinsip saya sebagai konten kreator, yang penting saya sudah membuat konten sebaik-baiknya. Mau ikut ya monggo tidak ya silakan.