Seorang relawan Pramuka membantu menyeberangkan jalan di Kawasan Kayu Tangan Kota Malang. |
Ketika tulisan ini ditulis, saya baru sadar bahwa hari tersebut merupakan HUT Kota Malang.
Ya, 1 April adalah hari lahir Kota Malang dan tahun ini
sudah berusia 109 tahun. Dibilang usia yang masih muda juga tidak. Untuk ukuran
wilayah, dibilang usia yang tua juga tidak karena ada kota yang usianya lebih
dari 200 tahun. Kota Jakarta misalnya yang usianya sudah 400 tahunan lebih.
Dengan usia segitu, sebenarnya kota ini bisa memiliki tata
kota dan perencanaan yang jauh lebih baik dibandingkan kota yang sudah tua.
Jakarta misalnya yang sudah sejak zaman baheula sudah memiliki masalah klasik
dan banjir. Sayang, apa yang terjadi kini malah sebaliknya. Kota ini seakan
memiliki segudang permasalahan yang tiada habisnya.
Kemacetan, banjir, dan parkir liar. Itulah tiga masalah yang
sering dikeluhkan warga dalam lini media sosial terutama Twitter. Mereka mengeluh
mengapa tiga masalah ini tak kunjung bisa diperbaiki dari hari ke hari. Padahal,
lini masa di media sosial kerap terpampang nyata berbagai penghargaan yang
diterima Pemerintah Kota atas berbagai pencapaian.
Macetnya Malang Semakin Luar Biasa
Malang kini semakin macet. Bahkan, INRIX sebagai parameter
kemacetan kota di dunia menempatan Malang sebagai kota termacet ke-4 di Indonesia.
Mengalahkan beberapa kota besar lain seperti Bandung, Semarang, Jogja, Medan,
dan Makassar.
Mungkin banyak yang bertanya apa benar sih Malang semacet
itu. Jika tidak percaya, datang saja ke Malang ketika jam masuk dan pulang
kerja. Dijamin, dada akan mengelus dan mulut akan ingin mengumpat kala macet
tiada henti. Bahkan, kini dengan diberlakukannya satu arah di Kawasan Kayu
Tangan, rasanya kemacetan di Malang semakin tidak ngotak.
Tak hanya macet, pengendara jalan harus memutar lebih jauh
lagi dengan adanya kebijakan ini. Sudah macet harus jalan lebih jauh lagi. Lengkap
sudah penderitaan yang dirasakan. Saya sendiri sangat merasakan imbasnya ketika
harus naik ojol dari Terminal Arjosari ke rumah saya yang berada di selatan
alun-alun.
Saya kudu menambah biaya ekstra 5-7 ribu rupiah untuk naik
ojol karena jalannya memutar dan macet. Jika biasanya perlu 45 menitan untuk
sampai rumah, kini bisa sejam lebih. Belum lagi kalau ada event yang menutup
jalan protokol, alamat sudah saya bisa tertidur di belakang babang gojek.
Tiap weekend dan jadwal saya pulang ke Malang, ada saja
event yang dilakukan dengan menutup jalan. Entah pameran, tinju, kirab, sholawatan,
atau apapun. Saya sendiri tidak keberatan sih dengan berbagai event tersebut karena
hak kita sebagai warga kota untuk mengekspresikan diri. Namun ya kalau
dilakukan tiap pekan dan di jalan utama, kok ya rasanya stress sendiri.
Waktu untuk berkumpul bersama keluarga menjadi berkurang. Waktu
perjalanan menjadi lebih lama dan tidak efektif. Akhirnya, semuanya berimbas
kepada menurunnya indeks kebahagiaan dan ketidaksyukuran menjadi warga Kota
Malang.
Belum lagi masalah kemacetan di depan rumah saya yang
kebetulan jalan sempit bekas lori atau jalan kereta pengangkut tebu. Sudah jalannya
sempit eh yang lewat aneka macam kendaraan. Mulai sepeda motor dengan jumlah
ribuan, mobil berbagai merk, truk, bahkan bus. Saya pernah sampai ngakak saking
sudah habis kesabaran melihat bus pariwisata nyangkut susah untuk keluar di
jalan sempit depan rumah saya. Sudah tahu jalanan di Malang sempit kok ya
dimasuki bus.
Transportasi umum yang sangat tertinggal jauh dari kota
besar lain menjadi salah satu penyebabnya. Tidak ada opsi lain selain menggunakan
kendaraan pribadi jika ingin berpindah dari satu tempat ke tempat lain di Malang.
Lantaran, transportasi umum di Malang yang ada hanya mikrlolet yang jumlahnya semakin
habis dan hampir punah. Selain kendaraan pribadi, ojol yang harganya juga
melambung tinggi juga menjadi solusi. Alhasil, jalanan di Malang yang sudah sempit
menjadi semakin macet dan macet.
Banjir yang Semakin Mengerikan
Masalah banjir juga menjadi masalah mengerikan dan belum
bisa terselesaikan. Meskipun berada di dataran tinggi, sesungguhnya Malang adalah
daerah cekungan seperti piring. Ada beberapa daerah yang lebih rendah dari daerah
di sekitarnya. Salah satunya adalah kawasn Soekarno-Hatta atau Suhat yang
berada di sebelah utara dari Kampus Universitas Brawijaya.
Daerah ini menjadi langganan banjir dan cukup mengerikan
jika hujan deras mengguyur beberapa jam. Tak hanya banjir, genangan air juga
menyebabkan aliran air menuju parit atau sungai kecil yang membahayakan. Saya pernah
sekali terkebak banjir di daerah ini dan merasakan sendiri motor saya hampir
kinyut alias terbawa arus deras.
Pun demikian halnya dengan kawasan di DAS Brantas. Sudah tak
terhitung berapa rumah yang ambrol akibat debit sungai yang tinggi. Entah memang
bukan prioritas, yang jelas cerita rumah ambrol dan kinyut selalu saja ada saat
hujan melanda.
Padahal, beberapa waktu yang lalu sempat ada proyek
gorong-gorong besar di dekat rumah saya yang menghubungkan beberapa kawasan
penting. Lah saat hujan deras kemarin gorong-gorong tersebut seakan tak
berfungsi dan banjir makin parah. Saya jadi bingung bagaimana pembangunannya
kok malah jadi tambah parah banjirnya.
Parkir Liar yang Menjengkelkan
Masalah parkir liar juga tak kalah membuat mengelus dada. Tukang
parkir liar menjamur dengan leluasa. Mulai dari ATM, fotokopian, warung, toko,
dan ruko. Bahkan, kadang saya pernah ditarik parkir di depan toko ketika
menunggu ibu saya masuk ke toko membeli sebuah barang. Lah saya menolak dong
dan beradu mulut. Namun karena malas berurusan panjang, saya pun memberinya
uang dua ribu. Saya ingat punya uang yang sudah lecek, sobek, dan kumal. Maunya
sih uang tersebut saya buang tapi sayang ya sudah dikasih saja ke tukang parkir
liar.
Belum lagi kalau ada event teretentu. Ada saja oknum yang
memanfaatkan event ini untuk kepentingan mereka dengab menarik parkir yang
tidak manusiawi. Saya pernah sangat marah ketika parkir di suatu tempat yang
kebetulan ada event pameran dan ditarik dengan harga 5.000 rupiah. Tentu dong
saya mencak-mencak dan ketika saya minta karcis tidak diberikan.
Akhirnya saya tak jadi parkir dan dipisuhi alias diberi
umpatan kotor oleh sang tukang parkir. Makanya, saat ada kasus semacam ini di
Twitter selalu saya balas dengan yel-yel:
Mafia Parkir Malang? Yes
Transparansi? No
Jaya Jaya Jaya Mafia Yes
Memang sudah ada perbaikan sejak warga kota menghantam pihak
Dishub ketika ada masalah ini. Salah satunya adalah penertiban liar dengan
menggembok ban mobil di pinggir jalan. Tentu ini bukan solusi utama. Bagi saya
adalah penerapan parkir berlangganan atau mesin parkir ototmatis. Penempatan petugas
secara berkala juga sangat penting.
Sebenarnya, masih banyak masalah mengenai Kota Malang yang
tiada habisnya. Entah saya yang terlalu baper tapi saya merasa Kota Malang
sudah mulai tidak nyaman untuk dihuni. Mungkin bagi wisatawan akan terasa indah
tapi bagi yang lama di sini dan bolak-balik dari luar kota, rasanya hal ini
bukan pepesan kosong.
Semoga pemkotnya segera melakukan perbaikan ya untuk kotanya demi kenyamanan warganya. Kan gak enak juga ya kalo sebuah kota punya banyak masalah. Kasian warganya.
ReplyDeleteSadar sih kalau jalan di malang itu sempit. Pernah kena macet ketika jam pulang kantor. Yaa walaupun ga terlalu lama, tapi jalanan sangat ramai.
ReplyDeleteAngkot beneran punah mas? Padahal dulu malang terkenal dengan jumlah angkot dan trayeknya.
Tukang parkir pas acara sering meresahkan. Seenaknya sendiri kalau minta uang parkir. Bahkan tukang parkir di sebuah pasar kecil dekat rumahku akan minta kenaikan uang parkir menjelang hari lebaran.