Suasana di Halte Transit Trans Semarang Simpang Lima |
Dalam pengoperasian BRT, ada sebuah istilah yang disebut sebagai halte transit.
Ada juga yang menyebutnya sebagai halte transfer, halte
antara, atau halte untuk berpindah. Halte transit adalah halte yang digunakan
penumpang untuk berpindah jalur bus dari satu jalur ke jalur yang lain. Hampir semua
BRT memiliki halte transit dan beberapa diantaranya beririsan dengan operasional
BRT lain.
Salah satu yang terkenal adalah Halte Monas, Halte HI, dan
tentunya Halte Sentral Harmoni di Jakarta. Penumpang Transjakarta kini
mengeluhkan beberapa halte tersebut tak dapat digunakan lagi karena proses pembangunan
MRT fase 2. Tentu, melihat banyaknya keluhan tersebut menandakan bahwa halte
transit sangat penting dan menjadi jantung operasional BRT di berbagai kota.
Baca juga: Alasan Susahnya Menarik Minat Anak Sekolah Naik Angkutan Umum
Tak hanya Jakarta, beberapa kota yang sudah menerapkan
sistem transportasi Bus Raya Terpadu juga memiliki halte transit. Trans
Semarang misalnya yang memiliki beberapa halte transit besar antara lain Halte
Balaikota, Halte Simpang Lima, Halte RS Elizabeth, dan Halte Udinus. Keempatnya
memegang peranan penting bagi para penumpang yang akan berpindaj jalur.
Trans Jogja juga memiliki banyak halte transit. Beberapa diantaranya
adalah Halte Bandara Adi Sucipto, Halte Malioboro 1, 2, dan 3, Halte Terminal
Condong Catur, Halte Terminal Jombor, dan Halte Terminal Bus Wisata Ngabean. Trans
Jogja juga masih memiliki banyak halte transit di penjuru kota yang fungsinya
tak kalah penting.
Suasana penumpang menunggu Trans Jogja di Halte Terminal Condong Catur |
Berbeda dengan halte biasanya, halte transit tentu memiliki
banyak fasilitas yang lebih. Salah satunya adalah keberadaan petugas di dalam
halte. Petugas tersebut akan memandu para penumpang terutama yang kebingungan
mengenai rute yang akan mereka gunakan.
Tak hanya itu, keberadaan petugas di dalam halte transit
juga berperan dalam melakukan pembayaran tiket, memberi informasi kepada
penumpang mengenai bus yang tiba, serta mengatur pergerakan penumpang yang naik
dan turun. Tanpa mereka, proses pergerakan penumpang akan kacau kecuali jika
penumpang sudah terbiasa untuk naik bus seperti pada Transjakarta. Tak heran,
petugas di dalam halite transit menggunakan mikrofon sebagai alat yang memandu
para penumpang agar bisa tertib dan teratur dalam mengggunakan layanan bus.
Selain adanya petugas di dalam halte, ada beberapa kriteria
lagi yang sebenarnya harus dipenuhi oleh sebuah halte transit. Beberapa diantaranya
adalah panjang dan tempat pemberhentian bus, ramp, dan fasilitas pendukung di
dalam halte.
Panjang dan Lebar Halte adalah Kunci
Halte transit akan disinggahi oleh lebih dari satu rute bus
dalam beberapa waktu. Ada kalanya, dalam satu menit, lebih dari tiga bus
datang. Bus-bus tersebut akan berhenti sebentar lalu berjalan kembali mengikuti
standar operasionalnya setelah semua penumpang masuk.
Baca juga: Tarif Teman Bus Tiap Kota
Idelanya, panjang halte transit adalah dua kali dari panjang
bus. Semisal, panjang bus kira-kira 7,5 meter maka panjang halte transit
setidaknya minimal 15 meter. Dengan kriteria ini, jika ada beberapa bus yang
datang, maka bus-bus tersebut dapat menunggu di belakang bus yang sedang
menaikturunkan penumpang tanpa pengganggu pengguna jalan lain.
Panjang halte transit harus cukup untuk lebih dari 1 bus |
Jika konsep BRT benar-benar dijalankan artinya seperti Transjakarta
yang memiliki lajur sendiri, berapa pun jumlah bus yang mengantre di halte
transit tak terlalu menggangu. Lain halnya dengan di kota lain yang tidak
memiliki jalur tersendiri, maka arus datang dan keluar bus harus benar-benar
diatur. Jangan sampai timbul persepsi dari masyarakat bahwa dengan adanya
bus-bus tersebut malah menambah kemacetan.
Halte Harmoni Central Trans Jakarta sebelum dipindah |
Sementara itu, lebar halte transit sebetulnya relatif
mengikuti sebuah rumus tertentu. Namun yang pasti, biasanya sebuah halte
transit paling tidak bisa mengakomodasi penumpang sekitar 50 orang. Jika setiap
meter persegi mampu menampung 3 orang penumpang, maka luas yang dibutuhkan minimal
adalah 17 meter persegi. Jika panjang halte transit 15 meter maka lebarnya
paling tidak adalah 4 meter.
Ramp untuk Akses Penumpang Disabilitas
Nah di sebuah halte transit tentu ada pintu masuk dan pintu keluar. Keduanya memiliki dua jenis akses bagi penumpang yakni berupa tangga dan tangga rata. Penumpang regular bisa menggunakan tangga sedangkan penumpang disabilitas bisa menggunakan tangga rata.
Ramp pada Halte Trans Semarang |
Halte transit yang baik adalah halte yang memiliki dua jenis
tangga tersebut, baik untuk masuk dan keluar. Tujuannya, agar penumpang disabilitas
bisa menggunakan transportasi bus dengan mudah dan nyaman. Sayang, banyak halte
transit yang belum memiliki dua jenis tangga tersebut. Kebanyakan, tangga rata
hanya berada pada salah satu sisi saja sementara pada sisi yang lain masih
menggunakan tangga biasa.
Baca juga: Empat Alasan Trans Jogja Tidak Diminati oleh Wisatawan
Tentu, penumpang disabilitas akan kesulitan untuk mengakses halte
transit. Mereka harus berputar terlebih dahulu untuk bisa masuk ke halte. Namun,
beberapa halte transit sudah memiliki dua jenis tangga tersebut. Maka dari itu,
sebelum pembangunan sebuah halte, kajian dan perencanaan semacam ini perlu
dilakukan dengan baik.
Fasilitas Pendukung di Dalam Halte Tak Kalah Penting
Penumpang akan meluangkan waktunya beberapa saat untuk
menunggu di dalam halte transit hingga bus yang akan mereka naiki tiba. Untuk itu,
fasilitas pendukung sangat penting agar mereka bisa menunggu bus dengan nyaman.
Tempat duduk yang nyaman dan banyak juga penting |
Salah satu fasilitas pendukung paling penting adalah tempat
duduk. Halte transit yang bagus akan memiliki tempat duduk yang cukup. Hampir semua
penumpang yang transit akan kebagian tempat duduk. Tentu, penumpang lansia,
wanita, dan ibu hamil harus menjadi prioritas mendapatkan fasilitas ini.
Peta rute transportasi yang jelas juga penting untuk
dipampang di dalam halte transit. Berbagai informasi lain seperti cara
pembayaran, nomor telepon penting, dan informasi seputar layanan bus juga harus
ada.
Beberapa halte menyediakan papan layar berisi posisi bus yang
akan melewati halte secara real time. Papan ini dulu pernah saya temukan pada
Trans Jogja tetapi kini semuanya sudah rusak. Yang masih berfungsi adalah pada
Trans Semarang.
Layar petunjuk posisi bus. |
Saya bisa melihat posisi bus rute yang akan saya gunakan
sedang berada di jalan apa dan berapa jauh dari halte tempat saya berada. Papan
tersebut juga menunjukkan estimasi waktu kedatangan bus bisa sampai sehingga
saya bisa memutuskan apakah sudah seharusnya siap berdiri di pintu
keberangkatan bus atau harus duduk lagi. Tentu, halte transit Transjakarta adalah
favorit saya karena sebagian besar memiliki papan layar tersebut.
Sayangnya, keberadaan halte transit belum maksimal di Kota
Surabaya. Maklum saja, kota ini baru saja menata transportasi umumnya. Salah satunya
adalah Halte Trans Jatim di Terminal Bungurasih. Halte ini begitu sempit dan
pendek. Bus yang datang kerap harus berjejal. Kadang, bus Trans Jatim dan Suroboyo
Bus datang bersamaan dan membuat kondisi halte cukup penuh.
Halte yang hanya bis diisi 10 orang juga sangat sesak tiap
harinya. Penumpang pun meluber keluar. Tidak ada pemisahan antara penumpang
yang menuju Gresik dan Sidoarjo. Alhasil, halte ini bisa dikatakan seperti
Manggarai-nya Jawa Timur.
Halte Trans Jatim yang sempit |
Banyak keluhan sudah dilayangkan kepada Dishub Jawa Timur. Namun,
hingga kini belum ada solusi dan perbaikan yang dilakukan. Padahal, load factor
(faktor muat penumpang) atau jumlah penumpang yang diangkut oleh Trans Jatim
sangat tinggi. Pada akhir tahun lalu, load factor Trans Jatim mencapai 138%. Untuk
ukuran moda transportasi baru tentu sangat baik.
Tingginya antusiasme masyarakat menggunakan Trans Jatim sebenarnya
harus dibarengi dengan peningkatan fasilitas termasuk halte transit. Semoga saja
ke depannya halte di Terminal Bungurasih bisa dibangun lebih besar lagi agar
penumpang lebih nyaman dalam menunggu bus.