Ilustrasi. Dokumen istimewa. |
Seperti yang sudah sering terjadi, tahun ini ada perbedaan mengenai kapan hari Raya Idul Fitri dilaksanakan.
Ada yang hari Jumat tanggal 21 April dan ada yang hari Sabtu tanggal 22 April. Bagi yang melaksanakan tanggal 21 April, mereka berpedoman pada hitungan hisab alias metode penentuan awal bulan Hijiryah menggunakan matematika dan astronomi. Ada rumus tertentu yang menyatakan bahwa tanggal 21 April adalah awal mula bulan Syawal.
Bagi yang melaksanakan Idul Fitri pada tanggal 22 April, mereka merujuk pada metode Rukyat yakni metode melihat bulan secara langsung menggunakan teropong. Ada syarat bahwa sebuah hari dikatakan sudah berganti bulan Hijriyah yakni ketika ada pengamat yang melihat bulan baru dengan ketinggian sebesar 3 derajat.
Jika bulan terlihat tetapi belum sampai 3 derajat, artinya pada hari tersebut belum berganti bulan. Alias, belum saatnya melakukan takbiran dan menyiapkan salat Idul Fitri. Dua metode ini dari literasi yang saya baca sama-sama betulnya. Tidak ada yang salah tergantung bagaimana kita menyikapinya mau yang mana.
Saya sendiri memang yakin jika Idul Fitri adalah tanggal 21 April. Alasannya, saya meyakini bahwa jika bulan sudah terlihat meski di bawah 3 derajat artinya sudah masuk bulan baru. Saya dulu pernah mendapatkan pelajaran Astronomi mengenai bulan baru ini dan itu yang saya yakini hingga sekarang. Selain itu, beberapa negara tetangga seperti Filipina dan Australia juga melakukan hari Raya tanggal 21 April. Teman saya di Filipina bahkan mengatakan pemerintah mereka menetapkan hari tersebut sebagai hari libur nasional.
Meskipun demikian, saya juga tetap menghormati mereka yang merayakan lebaran mulai tanggal 22 April. Wong sama-sama benar. Saya juga tidak gegabah untuk melakukan euforia makan dan minum di depan umum saat tanggal 21 April. Saya sudah menyetok banyak makanan dan minuman untuk saya makan di kamar karena di rumah, hanya saya sendiri yang merayakan tanggal 21 April.
Ini sudah kali kesekian saya merayakan lebaran dengan hari yang berbeda. Pertama kali saya merayakannya saat kelas 3 SD. Kalau tak salah saat itu bertepatan dengan lebaran pertama di masa refromasi setelah kejatuhan rezim Orde Baru.
Saya ingat sekali selama rezim orde baru, perayaaan Idul Fitri selalu seragam. Tidak ada yang mendahului atau yang berbeda hari. Barulah pada hari tersebut, ada dua versi hari raya Idul Fitri. Meski saya ikut salat pada hari pertama, tetapi saya diminta oleh ibu tetap di rumah dan makan di rumah. Tidak boleh keluar untuk jajan sembarangan karena ada teman yang masih berpuasa.
Prinsip ini selalu saya pegang ketika saya memutuskan untuk berbeda dengan orang sekitar yang mayoritas merayakan lebaran keesokan harinya. Alhasil, jika saya sudah punya feeling akan ada dua versi hari raya, maka saya memilih untuk menyetok makanan sebanyak-banyaknya di kamar dan memakannya seorang diri. Namanya lebaran identik dengan makan-makan kan?
Masalah muncul ketika ada seorang beliau yang memiliki keilmuan yang mumpuni membuat pernyataan yang cukup mendiskreditkan mereka yang merayakan Idul Fitri tanggal 21 April. Dimulai dari larangan penggunaan lapangan untuk salat Ied, opini pun kemudian menjalar ke mana-mana. Diantara opini yang berkembang adalah jika lebaran tanggal 21 April tidak mengikuti ulil amri alias pemimpin.
Opini pun semakin liar dan seakan-akan mereka yang lebaran lebih awal adalah salah dan sesat. Padahal, keduanya sama-sama benar dan tidak ada yang salah. Opini pun makin liar dengan membandingkan saat Orde Baru dulu lebaran selalu bebarengan. Ya jangan disamakan dengan orde baru kan sekarang reformasi bebas asal masih dalam tatanan yang benar sesungguhnya tak masalah.
Mereka yang kukuh dengan pendapatnya pun kemudian semakin
liar argumennya dengan berpendapat bahwa jangan gunakan fasilitas milik
pemerintah jika lebaran lebih awal. Tentu, argumen ini semakin membuat banyak
perdebatan tak berkesudahan. Saya pun akhirnya tetap memilih untuk mengikuti
ulil amri alias pemimpin yakni Pemerintah Filipina yang menyatakan bahwa Idul
Fitri tanggal 21 April.
Dari berbagai argumen tadi dan silang pendapat saya kok makin merasa susah sekali mengamalkan ajaran agama Islam? Atau memang ajaran agama Islam itu simpel dan mudah hanya saja orang-orang di dalamnya terutama yang memiliki “ilmu” yang membuatnya ribet.
Padahal, salah satu alasan yang membuat orang memeluk islam adalah kebahagiaan, kemudahan, dan keikhlasan untuk mendekatkan diri pada-Nya. Nah, jika upaya untuk mendapatkan hal-hal tersebut seakan susah dan ribet, lantas apa iya kita sudah melakukan ajaran Islam dengan benar?
Saya jadi ingat paparan dari Habib Jafar yang menyatakan bahwa agama (termasuk Islam) adalah obat sekaligus sumber masalah depresi. Perlu pikiran yang jernih untuk menceranya agar tidak salah tafsir. Agama bisa menjadi obat jika pemeluk agama merasa dengan beragama ia merasa dekat dengan Tuhan karena nyaman, butuh, dan bahagia. Tidak ada paksaan tidak ada ketakutan akan hal-hal surga dan neraka yang selama ini menjadi patokan beragama.
Dengan beragama, pemeluk agama akan semakin semangat menjalani hidup, tidak mudah terombang-ambing dan yang paling penting dirinya merasa penuh. Beda halnya jika agama hanya sebagai sumber dogma, ketakutan akan surga dan neraka, ketakutan akan lingkungan sekitar, maka agama akan sebagai sumber depresi.
Percaya atau tidak, saya tidak menikmati Hari Raya Idul Fitri beberapa tahun ke belakang karena malas bertemu saudara yang julitnya minta ampun. Perayaan agama yang seharusnya menjadi perayaan menyenangkan seakan ingin saya skip atau saya lewati. Terlebih, saat mereka makin julit karena saya merayakan lebaran dengan hari yang berbeda. Melakukan ritual yang berbeda dengan mereka seperti tidak ziarah kubur, tidak ikut shalawatan, dan tidak ikut beberapa kegiatan lain.
Hingga saya merasa pada titik kok ribet sekali ya jadi orang Islam mau melakukan ibadah yang kita yakini sulitnya minta ampun. Untung saja, saya tidak beralih menjadi murtad, ateis, atau agnostik seperti beberapa teman lain. Saya masih percaya Islam adalah agama yang benar tetapi saya ingin menjalaninya karena saya memang nyaman, bahagia, dan tidak asal dogma.
Screenshoot ancaman pembunuhan kepada warga Muhammadiyah dari seorang PNS di BRIN yang sempat viral. - Dok istimewa. |
Oh ya, perpindahan agama dari Islam menjadi agama lain, ateis, atau agnostik beberapa teman saya juga menarik untuk dibahas mungkin pada lain kesempatan. Yang jelas, jumlah mereka cukup banyak meski mereka masih melakukan ritual ajaran Islam hanya demi keamanan dan kenyamanan dengan lingkungan sekitar.
Intinya, masalah ini menarik untuk dijadikan renungan. Semoga saja perdebatan akan perbedaan hari raya sesungguhnya harus diakhiri. Apa sih yang perlu diperdebatkan dari duluan mana antara ayam dan telur?
Setuju mas. Kadang bingung liat orang2 pada berdebat hal yg ga perlu diperdebatkan. Apalagi kalo metode yg dipakai sama benarnya, hanya soal keyakinan.
ReplyDeleteTerkadang masalah sepele gini, kok ya malah bikin perpecahan di antara umat Islamnya. Pantes aja kita gampang di adudomba.
Aku sendiri ikut 22 April, tapi keluargaku 21. Ya sudah, ga ada masalah. Makan2 besar nya tetep kami Adain di tgl 22. Supaya semua bisa bergabung
Padahal tahun sebelum-sebelumnya sering terjadi perbedaan hari idulfitri, tapi ga heboh kaya tahun sekarang, ya?
ReplyDeletePadahal umat banyak yang sudah paham tentang perbedaan fiqih dalam Islam. Eh, koq ya para petinggi membuat kisruh keadaan yang seakan-akan jadi mengkompori umat untuk berdebat dan teradu domba pada akhirnya. Miris