Kawasan keraton Solo yang tidak terawat. - IDN Times |
Diantara tiga keraton pecahan Kerajaan Mataram Islam, Keraton Kasunanan Surakarta adalah satu-satunya tempat yang belum pernah saya kunjungi.
Kalau hanya sekadar lewat mungkin sering. Namun, untuk berniat berkunjung rasanya belum. Keengganan saya ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ketika saya pertama kali datang ke sana dulu sekitar tahun 2017, saat itu saya tidak masuk karena keraton ditutup.
Saat itu saya tidak tahu pasti alasannya mungkin karena sedang diperbaiki, dibersihkan, atau ada acara tertentu. Namun, ternyata alasan penutupan tersebut karena terjadi kekisruhan di dalam keraton berupa pengusiran keluarga keturunan raja sebelumnya dengan keluarga raja yang sekarang berkuasa. Dalam linimasa yang lalu lalang di media sosial, ada seorang wanita yang menangis karena terkurung di sana.
Ia tak lain adalah GKR Timur Rumbai yang merupakan putri dari Pakubuwono XII, raja yang memerintah sekarang. Saat itu saya takjub mengapa kejadian tersebut bisa terjadi. Membaca narasi yang cukup membingungkan, saya pun sedikit paham bahwa memang Keraton Solo sedang tidak baik-baik saja.
Makanya, alasan kedua yang membuat saya enggan adalah saat melihat bagian samping keraton – saya lupa namanya – saya melihat cat tembok yang terkelupas, kayu daun pintu yang kusam dengan debu tebal membungkus hampir seluruh bangunan luar keraton. Belum lagi sampah dedaunan yang tampak seakan menegaskan bahwa bangunan tersebut adalah bangunan terbengkalai.
Dua alasan itulah yang membuat saya enggan datang ke Keraton Kasunanan Surakarta hingga saat ini. Padahal, saya sudah mengunjungi tiga keraton lain pecahan Kerajaan Mataram Islam. Mulai Keraton Yogyakarta yang saya datangi lebih dari 5 kali, Pura Mangkunegaran dengan memori diantar mbak-mbak mahasiswa yang magang, dan pengalaman sedikit horror saat mendatangi Puro Pakualaman.
Tiga keraton atau pura yang saya datangi sebelumnya membuat saya takjub karena meski sudah berusia ratusan tahun tetapi masih dirawat dan dijaga dengan baik. Diantara ketiganya, saya paling takjub dengan Pura Mangkunegaran yang begitu cantik dengan taman yang menawan. Ada rasa romantisme yang begitu tinggi ketika kita berada di Pura Mangkunegaran. Entah ada unsur apa yang membuat saya betah berlama-lama di sana.
Padahal, jika melihat sejarahnya, Kadipaten Mangkunegaran adalah masih bagian tak terpisahkan dari Kasunanan Surakarta. Wilayah ini terbentuk dari Perjanjian Salatiga yang membagi wilayah Kasunanan Surakarta menjadi dua lagi yakni Kasunanan dan Mangkunegaran. Kalau tak salah, Kasunanan menguasai wilayah Klaten, Sukoharjo, Boyolali, dan Kota Solo. Sedangkan, Kadipaten Mangkunegaran menguasai wilayah Kota Solo bagian utara (sekarang Kecamatan Banjarsari), Kabupaten Karanganyar, dan eknlave (wilayah yang terkurung) di Kabupaten Gunungkidul Jogja.
Wilayah pecahan Kerajaan Mataram Islam. - Dok Istimewa |
Kedudukan Kadipaten Mangkunegaran juga berada di bawah Kasunanan Surakarta. Penguasanya dilarang memakai gelar Sultan atau Sunan tetapi menggunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA). Pada bangunan Pura Mangkunegaran juga tidak diperbolehkan dibangun alun-alun. Penguasa adipati yang akan naik tahta harus mendapat persetujuan dari Sunan Surakarta.
Makanya, ketika kemarin terjadi suksesi di Mangkunegaran, pihak Mangkunegaran datang ke Kasunanan untuk meminta persetujuan agar Gusti Bhre yang saat itu berusia 24 tahun bisa menjadi adipati baru menggantikan ayahnya yang meninggal tahun lalu. Setelah Sinuwun Pakubuwono XII menyetujui, maka prosesi pelatikan adipati baru pun dilakukan dengan meriah dan dihadiri Presiden Jokowi.
Adipati Mangkunegara X (kiri) beserta Wali Kota Solo meninjau pembangunan Taman Pracima. - Dok. Detik.com |
Dari sini, tampak kedudukan Kasunanan cukup tinggi. Namun, kondisi terlihat kontras beberapa waktu terakhir. Pura Mangkunegaran baru saja membangun dan meresmikan taman baru bernama Pracima Tuin yang berada di area Kompleks Mangkunegaran. Sebaliknya, insiden penyerangan dan pemukulan mewarnai Keraton Kasunanan Surakarta.
Insiden ini cukup menghebohkan dan berujung saling lapor antara dua pihak yang saling berseteru yakni pihak Pakubuwono XII dan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimping oleh Gusti Moeng. Dua pihak ini berseteru sejak bertahun-tahun yang lalu. Meski sudah didamaikan berkali-kali tetap saja keduanya mengklaim berhak merawat dan menjaga Keraton Kasunanan Surakarta. Terkahir, Wali Kota Solo Mas Gibran mendudukkan kedua pihak tersebut di Loji Gandrung. Dari sini, timbul beberapa kesepakatan antara lain kerabat keraton yang terusir sejak 2017 diperbolehkan masuk lagi dan mengorganisir beberapa aset keraton.
Akhirnya, awal tahun ini Keraton Kasunanan dibuka lagi untuk umum dan pengunjung bisa masuk ke bagian dalam meski tetap ada bagian yang tidak boleh dimasuki pengunjung. Tentu, akar konflik yang berkepanjangan ini membuat kondisi keraton semakin miris. Dalam unggahan GKR Timur dan GRAy Lelyana Devi, tampak jelas bahwa keraton seakan tidak diurus selama bertahun-tahun. Selain itu, yang membuat miris adalah tidak adanya regenerasi penari keraton yang biasanya tampil pada momen tertentu. Jadi, bisa dikatakan keraton tidak hanya rusak dalam bangunan, tetapi dalam kegiatan kebudayaan.
Saya tidak memihak salah satu kubu yang betikai, tetapi memang kondisinya seperti memang seperti itu. Sangat miris melihatnya karena keraton solo adalah keraton tertua diantara 4 keraton pecahan Mataram. Ia adalah induk dari tiga keraton lain dan seharusnya menjadi contoh yang baik dalam merawat warisan leluhur.
Satu hal lagi yang membuat saya miris adalah membaca unggahan akun resmi Keraton Solo beberapa waktu yang lalu. Dalam unggahan itu disebutkan bahwa kondisi keraton yang kini kurang terawatt salah satunya tidak diberinya status daerah istimewa oleh Republik Indonesia.
Dengan tidak adanya status daerah istimewa seperti Jogja, maka keraton banyak kehilangan aset dan sumber dana yang sebenarnya bisa digunakan untuk merawat bangunan cagar budaya. Narasi selanjutnya adalah harapan agar Kasunanan diberi status keistimewaan lagi layaknya Jogja.
Unggahan dari IG resmi Kraton Solo. - Keraton Solo |
Sontak, unggahan tersebut mendapat cercaan banyak masyarakat. Seolah-olah Keraton Solo menyalahkan pemerintah Republik akibat tidak dikembalikan lagi status daerah istimewa setelah peristiwa gerakan anti bangsawan pada 1946.
Sebenarnya, pihak pemerintah pusat dan daerah mau memugar dan memberi dana agar keraton bisa terawat. Akan tetapi, bara api konflik yang tak kunjung padam membuat pemerintah enggan melakukannya karena hal tersebut berkenaan dengan dana. Saya setuju dengan pernyataan Mas Gibran agar masalah internal keraton diselesaikan dulu baru nanti pemerintah akan membantu Keraton Kasunanan. Kalau saya jadi Mas Gibran saya juga akan melakukannya. Daripada nanti tidak bisa dipertanggungjawabkan kan?
Makanya, rencana pemugaran terhadap Keraton Solo baru akan dilakukan setelah kesepakatan damai akhir tahun lalu. Kalau sudah sama-sama damai kan enak. Mas Gibran pun beberapa waktu lalu juga menyatakan jika sudah damai tentu proyek revitalisasi tersebut akan dilanjutkan.
Pemerintah pusat dan daerah juga merasa kesulitan untuk menyentuh alias bekerja sama dengan Keraton Solo karena cukup tertutup. Beda sekali dengan Pura Mangkunegaran yang terbuka, mau menerima masukan, dan tentunya kompak dalam upaya melestarikan budaya. Mereka juga tidak menuntut untuk mendapat status daerah istimewa. Asal bangunan terpelihara, kegiatan budaya di dalamnya eksis dan lebih maju, itu sudah bagus.
Bagai bumi dengan langit. Itulah yang terjadi diantara keduanya. Di saat Kadipaten Mangkunegara melesat jauh dengan segala program yang dimilikinya, Kasunanan Solo seakan tertatih-tatih untuk bisa tetap eksis. Semoga saja dengan perdamaian ini bisa membuat Kasunanan banyak berubah dan orang-orangnya tak lagi berebut kuasa yang sebenarnya saat ini tidaklah ada dengan dihapusnya status daerah istimewa.