Ilustrasi binder. Dok Istimewa |
Berbicara buku diary, jujur saya tak pernah punya.
Dulu pernah sih saat kelas 5 SD saya membeli sebuah buku
diary bergembok. Yah semacam ikut tren kala itu. Namun, namanya anak laki-laki
ya tak begitu suka dengan hal-hal semacam itu, alhasil buku diary pun berubah
menjadi buku hitungan.
Buku tersebut juga akhirnya berubah menjadi coretan tak jelas,
mulai saling sindir teman, menggambar pola aneh, hingga coretan tanpa makna. Praktis,
buku tersebut akhirnya menjadi barang bekas yang entah kini di mana
keberadaannya saya tak begitu paham.
Namun, saat duduk di bangku kelas 1 SMP, saya juga ikut tren
dengan membeli binder yang kala itu memasuki masa booming-nya. Saya membeli
binder di sebuah toko buku yang baru buka. Hampir semua anak memiliki binder
dengan aneka kertas warna-warni. Meski tujuan awalnya sebagai tempat kertas
putih saat ulangan, tetap saja binder menjadi hak milik pribadi yang khas bagi
tiap anak. Layaknya ponsel zaman sekarang.
Selain tukar-menukar kertas binder dengan gambar wajah
peserta AFI atau Indonesian Idol, ada satu kegiatan yang seakan tak pernah
hilang. Apalagi kalau bukan mengisi kertas binder teman dengan identitas
pribadi serta kesan dan pesan terhadap si empunya binder. Entah sejak kapan
kegiatan ini mulai berlangsung, yang jelas saya ikut-ikutan saja.
Saya meminta teman sekelas untuk mengisi binder saya. Saya melakukannya
dari kelas 1 sampai kelas 3. Tidak semua teman saya minta untuk mengisi binder tersebut.
Hanya teman-teman yang terdekat saja. Nah lantaran saya cukup famous saat SMP
karena pernah jadi anggota OSIS, saya pun juga meminta kakak kelas untuk
mengisi binder saya. Asli, saat itu benar-benar asyik karena saya kenal cukup
banyak dengan kakak kelas yang juga lumayan famous demi kenang-kenangan di
kertas binder.
Biasanya, mereka mengisi binder saat jam kosong atau bahkan
saat jam pelajaran berlangsung. Terutama, saat guru yang mengajar membosankan
atau memang saat itu benar-benar bosan. Selain nama, alamat, makanan dan
minuman favorit, biasanya saya meminta mereka untuk mengisi artis atau musisi
favorit.
Zaman itu, musisi seperti Simple Plan, Linkin Park, dan
kawan-kawannya menjadi favorit banyak teman saya. Ada beberapa teman saya yang
ternyata memiliki kegemaran sama meski terlihat keduanya sangat berkontradiksi.
Kalau mereka baru saja mengumpulkan, biasanya saya deg-degan ingin segera
membaca apa saja yang telah mereka isi. Sayang, biasanya mereka meminta saya
untuk membaca apa yang mereka tulis di rumah. Tak jarang, mereka memberi hiasan
dengan pola-pola tertentu agar semakin menarik.
Selain identitas dan kegemaran, biasanya saya meminta mereka
untuk memberi tulisan mengenai sifat mereka dan penilaian mereka terhadap saya.
Nah, ini yang paling saya tunggu-tunggu. Saya bisa mengerti sebenarnya mereka
itu orang seperti apa dan sukanya diperlakukan seperti apa.
Saya pun akhirnya paham bahwa ada beberapa diantara mereka
yang tak suka dibecandain terlalu parah. Atau, tidak suka dibuat lucu-lucuan
dengan mengundang sifat kelatahan mereka. Jujur, saat SMP saya cenderung nakal
dan usil. Makanya, seringkali mereka menulis bahwa kadang becandaan saya terlalu
parah.
Saya juga tahu beberapa diantara mereka merupakan broken home.
Ada yang menulis begitu rindu dengan ayahnya karena orang tuanya baru bercerai.
Padahal, dalam kesehariannya, mereka terlihat biasa-biasa saja. Saya tak tahu mengapa
mereka seterbuka itu bisa jadi karena mereka yakin bahwa tulisan mereka hanya
saya yang membacanya atau memang mereka sudah percaya. Yang jelas, meski binder
tak serahasia buku diary, tetapi tetap saja pemilik akan menjaga kerahasiaannya.
Nah, momen yang paling tunggu adalah ketika saya membaca
penilaian mereka terhadap saya. Biasanya sih mereka akan to the point
menuliskan apa yang suka dan apa yang tidak suka terhadap saya.
Sebagian besar saat itu mengatakan saya itu humoris, supel,
suka pamer, suaranya cempreng, dan usil. Ada juga yang mengatakan saya aneh
karena menggemari kartun Dora The Explorer. Sebagian besar mengatakan saya
mirip sekali dengan Sanju, salah satu tokoh serial India yang bercerita pensil ajaib.
Gara-gara banyak yang bilang saya mirip Sanju, sampai-sampai beberapa guru memanggil
saya dengan Sanju. Pun demikian dengan kakak tingkat yang saat berpapasan juga
bilang Sanju…Sanju…
Saya sering dibilang mirip Sanju. - Dok. Istimewa |
Di dalam tulisan tersebut mereka juga memberi harapan
mengenai saya. Kebanyakan sih meminta mereka saya agar tak usil. Maklum, masa
SMP saya memang bertemu dengan rekan satu geng yang cukup nakal. Kalau lagi
iseng, biasanya kami menjepret paha siswa perempuan dengan gelang karet. Apalagi
yang menggunakan rok pendek dan ketat. Atau, mereka yang menurut kami dianggap
kemayu dan menye-menye. Yah namanya anak remaja awal, siapa sih yang enggak
nakal?
Oh ya, dari sekian isi binder yang saya miliki, ada satu
yang paling berkesan. Apalagi kalau bukan dari mantan saya. Sebut saja namanya
D. Nah dia ini dulu adik kelas saya di SD. Lalu, saat SMP satu sekolah lagi. Saat
saya kelas 3 dia masih kelas 1. Kami dekat karena memang ya satu SD dan dulu di
SD sering bersama jika ada acara. Saya lupa bagaimana ceritanya pokoknya
akhirnya kami pacaran.
Pada suatu waktu, akhirnya kami pun putus di depan kamar
mandi siswi. Aduh, asli saya kalau mengingat cerita tersebut ingin ngakak. Setelah
putus, karena saya mau UAN dan meneruskan ke SMA, saya pun meminta dia mengisi
binder. Yah sama dengan teman lain.
Setelah mengisi binder, saya baru paham kalau dia itu rela
masuk SMP yang sama dengan saya karena memang suka dengan saya. Dia masih ingin
satu sekolah dengan saya dan menolak permintaan ayahnya untuk dipondokkan. Haduh,
saya jadi enggak enak terlebih alasan kami putus karena saya lebih banyak main
dengan teman satu geng dibandingkan jalan dengannya. Selain itu namanya masih
cinta monyet ya harap dimaklumi.
Meski sederhana, tetapi acara mengisi binder teman ini cukup
bisa membuat hati lega. Paling tidak, apa yang tidak bisa disampaikan secara
verbal bisa diwakilkan dalam bentuk tulisan. Kira-kira, apa masih ada kegiatan
mengisi binder teman ini?