Seorang ibu yang menjemput anaknya sekolah berjalan di sebelah angkot yang sepi di sebuah sekolah di Malang. |
Keberadaan transportasi umum memang menjadi suatu hal yang
tidak bisa ditawar lagi bagi sebuah daerah.
Mengandalkan kendaraan pribadi untuk berpindah tempat memang
mudah dan nyaman. Namun, dampak kemacetan panjang sering tak dipikirkan
sehingga membuat keberadaan transportasi umum menjadi hal yang perlu
diutamakan. Keberadaan transportasi umum juga membantu kelancaran berbagai
aktivitas sehari-hari. Mulai dari bekerja hingga sekolah.
Dulu, anak sekolah sering dikaitkan dengan transportasi umum. Nostalgia masa sekolah kerap tak lepas dari transportasi umum. Entah nostalgia menunggu kendaraan dengan teman. Bertemu gebetan di dalam bus, lupa tidak membawa uang, dan berbagai kenangan lain. Pendek kata, transportasi umum menjadi warna anak sekolah zaman dulu yang bisa diceritakan turun-temurun.
Baca juga: Hujan di Dalam Bus
Sayang, perlahan tapi pasti, anak-anak sekolah mulai tak lagi menggunakan transportasi umum. Bisa dikatakan, sebagian besar anak sekolah sekarang menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju sekolah maupun pulang. Alias, diantar oleh orang tuanya atau mengendarai kendaraan sendiri.
Sopir angkot di Surabaya yang ngetem cukup lama. |
Fenomena menggunakan kendaraan pribadi ini semakin luas
bersamaan mudahnya kredit sepeda motor maupun mobil saat ini. Dengan mudahnya
kredit tersebut, maka banyak orang tua yang memilih mengantarkan putra-putrinya
ke sekolah. Selain bisa menjalin keakraban, dengan mengantar putra-purinya
dirasa lebih aman dan mengemat ongkos. Apalagi, jika rumah mereka tidak
dilewari oleh angkutan umum. Sistem zonasi sekolah yang membuat siswa sekolah
berasal dari sekitar lingkungan sekolah juga belum efektif dalam mengurangi siswa
yang rumahnya jauh bersekolah ke sekolah pilihan.
Selain alasan tersebut, ternyata ada beberapa hal yang
membuat anak sekolah enggan menggunakan transportasi umum. Apa saja itu?
Pertama, waktu tempuh angkutan umum yang tidak efektif.
Jika menggunakan transportasi umum, maka anak sekolah harus menyediakan waktu ekstra untuk bisa sampai ke sekolah atau pulang ke rumah. Alasannya, armada transportasi umum akan sering berhenti di suatu tempat. Baik transportasi umum semacam BRT maupun tidak. Bahkan, jika transportasi umum tersebut ngetem cukup lama, tak jarang bisa sampai berjam-jam di dalam angkutan umum.
Baca juga: Empat Alasan Trans Jogja Tak Lagi Digunakan oleh Wisatawan
Atas alasan inilah, maka anak sekolah sekarang banyak yang tidak
mau menggunakan transportasi umum. Mereka akan terlambat datang ke sekolah jika
memaksakan naik transportasi umum. Pengalaman saya pribadi dulu sering hampir
terlambat ketika harus naik mikrolet karena menunggu dulu hingga semua
penumpang penuh. Untungnya, saat ini di beberapa kota sudah ada layanan BRT
semacam Teman Bus yang memiliki jadwal berangkat lebih teratur.
Kedua, keamanan dan kenyamanan transportasi umum yang kurang.
Harus diakui, enggannya anak sekolah terutama anak perempuan
naik transportasi umum karena tidak menjamin keamanan dan keselamatan. Kasus pelecehan
seksual kerap terjadi dan menimpa anak sekolah yang naik transportasi umum.
Baru-baru ini, viral sebuah video yang menampilkan seorang siswi menendang kernet karena ia dilecehkan saat naik angkot. Saking kesalnya, ia menumpahkan kemarahannya kepada kernet tersebut karena telah memegang bagian sensitifnya.
Sebuah angkot di Malang yang beralih fungsi menjadi warung es degan karena tak lagi digunakan. |
Kejadian ini tidak sekali terjadi. Makanya, orang tua dan
anak sekolah merasa dengan naik angkutan umum akan ada ancaman terutama dari pihak yang tak bertanggung
jawab. Maka, menggunakan kendaraan pribadi dirasa jauh lebih aman.
Ketiga, diskriminasi terhadap anak sekolah
Dulu, ada adagium bahwa sopir angkot atau bus kota lebih mengutamakan penumpang umum. Alasannya, penumpang umum akan membayar penuh sedangkan penumpang berseragam akan membayar separuh. Akibat adagium ini, muncul diskriminasi terhadap anak sekolah.
Seorang pelajar bercanda dengan rekannya di dalam BRT Tran Jateng. Beberapa BRT memberikan tarif khusus bagi pelajar dan menjadikan mereka prioritas penumpang. |
Saya sendiri pernah mengalami diskriminasi ini ketika SMP. Saat
itu, saya menunggu angkot di sebuah tempat bersama dua orang karyawati. Zaman
saya sekolah angkot masih jaya sehingga selalu penuh setiap hari. Ketika ada
satu angkot yang lewat, sopir tersebut mempersilakan dua orang karyawati
tersebut untuk naik. Sedangkan saya diminta menunggu angkot belakangnya. Padahal,
saya yakin dengan tubuh saya yang kecil semestinya saya masih bisa terangkut. Diskriminasi
seperti inilah yang sekarang membuat anak sekolah kerap enggan naik angkutan
umum.
Keempat, jarak naik angkot yang jauh dari rumah.
Orang Indonesia memang terkenal malas berjalan kaki. Tak hanya orang dewasa, anak sekolah pun demikian. Zaman sekolah dulu, saya sangat senang berjalan kaki dengan teman untuk mencegat angkot. Kebetulan, saat SMP saya harus berjalan kaki dari sekolah ke jalan besar dan dari jalan besar ke rumah. Jadi, saya harus jalan kaki dua kali saat pulang sekolah. Kalau pergi sekolah saya kerap diantar ayah karena memang takut terlambat akibat beberapa kali mengalaminya.
Atas inisiatif dari beberapa wali murid, biasanya pihak sekolah menyewa angkot yang tak terpakai atau mobil carteran sebagai sarana transportasi umum siswa. |
Berjalan kaki sejauh itu tidak terasa capai karena banyak teman seperjalanan yang bisa diajak ngobrol. Saya beruntung ada beberapa teman yang bisa saya jadikan teman jalan bersama. Kami bergurau, saling ledek, dan mencari buah ceri selama perjalanan naik angkot. Makanya, perjalanan tersebut tidak terasa sama sekali. Beda dengan sekarang yang Sebagian besar dijemput oleh orang tuanya atau naik ojek online. Tak ada pengalaman berjalan kaki semacam itu. Padahal, pengalaman ini tak akan terulang lagi sampai kapan pun.
Baca juga: Kenangan Masa MOS dan OSPEK
Jarak yang jauh juga menjadi alasan anak sekolah tak naik
angkot. Meski begitu, saya salut dengan beberapa Pemda yang menyediakan
angkutan feeder atau pengumpan guna memfasilitasi anak sekolah yang rumahnya di
pemukiman padat penduduk. Trans Semarang, Trans Jakarta, dan Batik Solo Trans
adalah contoh apik dari penyediaan feeder tersebut.
Pemberhentian feeder berada di dekat sekolah atau gang-gang perumahan padat penduduk agar anak sekolah yang naik angkutan umum tidak berjalan kaki terlalu jauh. Fasilitas feeder juga menjangkau beberapa Taman Kanak-Kanak yang bertujuan agar orang tua yang mau mengantar, menunggu, dan menjemput anaknya mau menggunakan transportasi umum. Pendek kata, malasnya orang Indonesia berjalan kaki semestinya diimbangi dengan adanya transportasi umum yang dekat sekolah atau perkampungan.
Sosialisasi tarif gratis dengan QR khusus bagi pelajar oleh Teman Bus Solo dalam gerakan kembali naik transportasi umum. - Dok. Teman Bus |
Empat alasan tersebut menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah
saat ini. Jika terus dibiarkan, maka penggunaan kendaraan pribadi akan semakin
banyak dan menimbulkan kemacetan. Saat jam berangkat sekolah, biasanya
kemacetan luar biasa akan terjadi dan membuat stress anak sekolah yang akan
belajar.
Memang, kini ada beberapa sekolah yang mulai menggunakan bus
milik mereka untuk aktivitas pulang dan pergi siswa. Beberapa sekolah yang
tidak memiliki bus juga menggalakkan abonemen, yaitu menyewa kendaraan,entah
angkot atau mobil pribadi guna kepentingan transportasi siswa.
Beberapa pemda juga mulai menyediakan bus sekolah gratis. Bahkan,
kini Teman Bus mulau menyosialisasikan program Gerakan Kembali ke Transportasi
Umum di sekolah-sekolah. Tujuannya, agar mereka mau menggunakan kendaraan umum.
Untuk saat ini, pelajar memang masih gratis jika naik Teman Bus.
Lalu, kira-kira solusi apa yang bisa dilakukan agar anak
sekolah mau kembali naik transportasi umum?
Saya naik bus umum sekarang ini pun kalau pas tidak buru-buru dan saya niati piknik.
ReplyDeletedulu naik angkot untuk pulang sekolah aja, kalau buat berangkat sekolah ga berani pasti telat wong jalannya kayak keong. Dan emang nyebelinnya angkot adalah dempet2an. pernah hampir dilecehin penumpang lain waktu naik angkot. hiiiy
ReplyDeleteAlasanku ga ngizinin anak naik angkutan umum, Krn ga amannya tadi mas. Aku belum berani ngelepas mereka sendiri gitu. Makanya skr ini di antar jemput driver. . Mungkin kalo ntr angkutannya udah bagus, ga sering ngetem, aman, si anak juga udah bisa jaga diri, nah baru deh, aku izinin mereka naik kendaraan umum 😅
ReplyDelete