Ilustrasi. - Getty Images |
Pekerjaan Rumah (PR) atau tugas rumah adalah sebuah hal yang umum didapatkan siswa sekolah.
Adanya PR ini sudah berlangsung sejak lama, turun-temurun, dan hingga kini masih diberikan oleh guru kepada siswa. Walau beberapa daerah menerapkan kebijakan menghapus PR bagi siswa, nyatanya hampir sebagian besar sekolah di Indonesia masih memberikan PR.
Alasan memberikan PR bagi siswa adalah sebagai upaya untuk mengulang kembali materi di sekolah yang telah diajarkan oleh guru sebelumnya. Tidak hanya itu, pemberian PR juga kerap digunakan sebagai penilaian tugas tersturktur, tugas tidak terstruktur, portofolio, penilaian kompetensi inti keterampilan, dan lain sebagainya.
Nilai yang didapatkan siswa dari PR juga kerap digunakan oleh guru untuk menambah nilai siswa jika kurang. Semisal, ketika guru selesai merekap nilai rapor, ternyata ada siswa yang nilainya di bawah KKM. Maka, guru bisa memberikan PR tambahan kepada siswa atau mencari PR lain sesuai materi pembelajaran yang masih kurang. Pendek kata, PR bisa menjadi penyelamat siswa ketika nilainya berada di bawah KKM. Tentu, kebijakan ini tidak serta merta begitu saja perlu adanya beberapa kriteria yang cukup ketat.
Sebenarnya, guru telah diberi pedoman oleh Kementrian Pendidikan mengenai tugas apa saja yang bisa diberikan pada siswa. Tugas ini disesuaikan dengan materi pembelajaran yang sedang berlangsung. Pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sudah ada beberapa gambaran tugas apa saja yang akan diberikan kepada siswa. Jika guru mengikuti RPP dengan benar, sebenarnya tugas yang diberikan kepada siswa akan bervariasi dan menyenangkan.
Baca juga: Kenangan Masa MOS dan Ospek
Sayang, dengan kondisi pendidikan di Indonesia yang kejar tayang dan tidak berfokus pada bagaimana siswa nyaman belajar, seringkali guru memberikan PR seenaknya. Asal ada PR sudah selesai. Entah bagaimana siswa nanti bisa mengerjakan atau tidak, itu urusan nanti.
Masalah semakin pelik ketika sang guru tidak memiliki banyak waktu di kelas dengan berbagai alasan kegiatan. Jika sudah begini, biasanya mereka akan dengan tergesa memberikan PR kepada siswa tanpa membaca saksama apakah PR yang diberikan seusai materi atau tidak.
Nah, selama mengajar di kelas, saya menghindari beberapa jenis PR yang akan saya berikan pada siswa. Berikut adalah beberapa diantaranya.
PR mengerjakan LKS/BKS sampai habis
Adanya BKS atau LKS mulanya bertujuan untuk memudahkan guru dalam memberikan soal kepada siswa. Jadi, BKS atau LKS hanya sebagai media bantu agar guru bisa mudah mencari soal sesuai materi pembelajaran karena soal pada buku paket biasanya terbatas.
Sayang, beberapa waktu terakhir ini, LKS dan BKS seakan menjadi nyawa pembelajaran. Banyak sekali guru yang berorientasi pada keduanya. Alhasil, pembelajaran menjadi membosankan. Harus diakui, BKS dan LKS di Indonesia kurang menarik. Kertasnya buram dengan tulisan yang sangat kecil. Saya saja sebagai guru kadang bosan melihat keduanya. Bagaimana dengan siswa?
Saya baru menggunakan BKS dan LKS jika ada bagian yang bagus dan menarik dari pembelajaran. Atau, jika ada pelajaran yang tidak ada buku paketnya semisal bahasa Jawa. Keduanya biasanya tidak saya wajibkan. Siswa saya hanya saya minta mengerjakan di saat senggang seperti ketika sudah selesai mengerjakan tugas dari saya dan di rumah. Saya tidak pernah mematahi mereka ketika sudah mengerjakan bagian yang belum saya ajarkan. Uniknya, ada beberapa siswa yang baru seminggu saya bagi BKS tetapi sudah khatam dikerjakan.
Tugas ngeprin atau mencetak dokumen
Saya juga menghindari tugas mencetak atau ngeprin dokumen kepada siswa. Alasannya, tidak semua siswa memiliki PC, laptop, dan printer. Tidak semua siswa dekat dengan warnet, rental komputer, atau sarana sejenis.
Saya paham tidak semua orang tua siswa memiliki waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas tersebut. Ada yang harus bekerja malam atau bahkan keluar kota. Ada juga siswa yang tinggal bersama nenek atau kakeknya. Ya masak mereka suruh mencari rental untuk ngeprin?
Baca juga: Alasan Menjadi Guru Bimbel
Tak hanya itu, biasanya banyak guru yang tidak menilai tugas tersebut. Hanya ditumpuk begitu saja tanpa dinilai. Kasihan kan usaha yang dilakukan oleh para orang tua yang sudah susah payah mencari tempat untuk ngeprin tetapi tidak diapresiasi?
Biasanya, saya baru memberi tugas seperti ini jika ada kegiatan mengisi majalah dinding atau kegiatan menelaah isi artikel. Itu pun saya buat berkelompok dengan memencar siswa yang sudah memiliki printer atau rumahnya dekat dengan warnet.
Tugas pada buku paket yang belum dimiliki oleh siswa
Masih saja ada guru yang memberikan tugas pada buku paket yang belum dimiliki siswa. Entah buku paketnya belum datang atau jumlahnya terbatas. Saya sering melihat orang tua juga kelimpungan mencari buku paket tersebut secara mendadak di toko buku. Lah kalau mereka punya uang, kalau tidak bagaimana?
Kalau buku paket belum ada, mau tak mau guru harus memfotokopi soal yang diberikan atau mencatatkan soal di papan tulis. Yang jelas, akses terhadap soal yang akan diberikan PR tersebut harus dimiliki oleh semua siswa tanpa terkecuali sesuai pengamalan sila kelima Pancasila. Bergantian memberikan buku kepada salah satu siswa juga bukan pilihan tepat. Saya dulu pernah memfotokopi isi buku selama hampir dua minggu karena buku paket tak kunjung tiba.
Tugas membuat soal
Membuat soal berbeda dengan membuat pertanyaan. Membuat soal berarti siswa membuat soal sesuai kisi-kisi seperti pada ujian. Tugas ini bagi saya hanya dimiliki oleh guru terkecuali jika siswa sudah berada pada tingkatan SMA. Saya tidak menemukan satu pun perintah membuat soal pada RPP atau buku paket. Yang adalah membuat pertanyaan sesuai materi.
Baca juga: Ambil Rapor Berdasarkan Peringkat Siswa; Emang Masih Zaman?
Ketika membuat pertanyaan, maka siswa akan membuat pertanyaan sesuai apa yang ia pahami. Tidak memaksakan diri seperti soal standar yang diberikan oleh guru. Walau kini sudah ada banyak web yang menyediakan berbagai macam soal, tetapi tetap saja jika mengacu pada aturan, membuat soal adalah tugas dari guru, bukan siswa.
Tugas materi yang belum diajarkan di kelas
Tugas terakhir adalah tugas mengenai materi yang belum diajarkan di kelas. Tugas ini saya hindari karena akan menuai protes dari orang tua murid karena anaknya belum paham benar tetapi sudah diberikan PR. Saya hanya memberi PR materi yang sudah saya berikan. Ini tak lepas dari marwah PR sendiri yang bertujuan mengulang materi sebelumnya di kelas.
Itulah beberapa tugas atau PR yang saya hindari untuk saya berikan. Kalau Anda sebagai guru, kira-kira PR apa yang akan Anda hindari untuk diberikan?
Tugas materi yg belum diajarkan tp malah Diksh pr, itu nyebelin sih. Kok seperti ya si guru males ngajarin dan berharap ortu di rumah bisa bantu ngajarin 😅.
ReplyDeleteSekolah anakku yg cewe, termasuk yg udh jaraaaaaang banget ada pr mas. Tapi sekolah si adek masih ada, cuma sesekali doang. Padahal mereka sama2 SDN. Cuma beda lokasi aja.
Cuma aku ga masalah sih, selama itu bisa membantu pelajaran mereka juga. Tapi memang paling sebel kalo guru KSH Pr yg mengharuskan print ini itu. Selain buang2 kertas soalnya. Zaman udh digital gini, kalo PR msh hrs pake kertas rasanya gemees. Kalo di buku tulis masih mendingan, ga bakal kebuang ujung2nya.