Candi Brahu Trowulan Mojokerto |
Perjalanan mengunjungi situs bersejarah saya di Trowulan saya akhiri di Candi Brahu.
Udara siang yang panas tiba-tiba menjadi mendung setelah saya dan Mas Ojek yang mengantarkan saya keluar dari Siti Hinggil Trowulan. Tak ingin kehujanan dan menjadi gagal mengunjungi Candi Brahu, akhirnya kami pun segera bergegas untuk meninggalkan tempat tersebut. Takut hujan tiba-tiba mak bres dan wassalam.
Melajukan motor di Desa Bejijong yang kaya akan situs bersejarah, nyatanya tak bisa kami lakukan dengan cepat. Lantaran, di sepanjang jalan terhampar apik rumah-rumah penduduk yang didesain khas Majapahit. Mulanya, saya hanya menemukan satu dua buah saja ketika menuju Siti Hinggil Trowulan. Saya kira, rumah-rumah tersebut adalah penginapan atau homestay yang bisa digunakan para pelancong untuk lebih mendalami jejak sejarah di Trowulan ini.
Rumah Trowulan Bergaya Era Majapahit
Kalau tidak, barangkali rumah tersebut adalah semacam sanggar atau pusat kerajinan oleh-oleh yang menjual berbagai pernak-pernik khas Trowulan. Ternyata dugaan saya salah. Rumah-rumah tersebut adalah rumah penduduk biasa. Rumah warga pada umumnya yang digunakan untuk tempat tinggal dan beraktivitas biasa.
Baca juga: Seberapa Mengenaskan Candi di Porong Sidoarjo?
Saya semakin heran karena rumah-rumah ini tampak berjajar rapi dengan tembok dari bata merah yang disusun sedemikian rupa seakan tanpa semen. Atap rumah-rumah tersebut berbentuk limas persegi panjang dengan genting wuwung melengkung. Yang unik adalah bentuk jendelanya dibuat tanpa kaca dengan kayu beriris. Sangat dibuat mirip dengan rumah khas Majapahit yang saya lihat pada serial Tutur Tinular meski terlihat lebih modern.
Rumah khas Majapahit Trowulan Mojokerto |
Tidak hanya itu, di sepanjang pemukiman yang disulap menjadi nuansa Majapahit tersebut, dihiasi juga dengan tembok berbata merah dan emblem atau lambang surya. Di dalamnya, ada Dewata Sanga yang menjadi lambang resmi dari Kerajaan Majapahit.
Sungguh, berjalan di jalan desa tersebut menjadikan saya seakan seorang ksatria berkuda yang sedang menjalankan misi di Tanah Majapahit. Sambil menunggangi kereta kuda atau menunggang kuda, rasanya semangat ini berkobar untuk menumpas pemberontakan dari Tong Bajil – tokoh yag diceritakan sebagai pengacau di kerajaan tersebut.
Rumah yang dibangun atas kerjasama pemerintah dan masyarakat |
Sayang, lamunan saya berakhir ketika ada papan tempat laundry dan penjual pulsa di depan saya. Ya kali zaman Majaphit sudah ada orang jual paket internet. Bisa rusak nanti jalinan sejarah yang terbentuk. Seperti dalam kisah Doraemon yang kacau akibat mesin waktu.
Walau begitu, saya sangat mengapresiasi usaha dari Pemprov Jatim, Pemkab Mojokerto, perangkat daerah, dan masyarakat sekitar yang mau menata wilayah mereka sehingga bisa di-Majapahit-kan. Tidak mudah lho menata rumah-rumah seperti itu apalagi di zaman sekarang yang banyak sekali kepentingan. Hanya saja, promosi terhadap wisata Trowulan harus ditingkatkan lagi agar mendongkrak perekonomian masyarakat setempat terutama mereka yang sudah rela rumahnya dibuat ala-ala Majapahit.
Candi Brahu Tempat Kremasi Jenazah Raja
Setelah melewati hutan sebentar, saya tiba di pelataran Candi Brahu. Candi ini ternyata cukup ramai dibandikan dua candi yang saya datangi sebelumnya. Ramainya candi ini bisa jadi letaknya dekat denganjalan by pass antara Mojokerto dengan Jombang. Jadi, pelancong yang sedang bepergian dari dua kota itu bisa mampir sejenak di Candi Brahu ini.
Baca juga: Membaca Bukti Bakti Anusapati di Candi Kidal
Sama seperti dua candi sebelumnya, saya juga membayar tiket masuk sebesar 3 ribu rupiah. Kali ini, tiket parkir hanya 3 ribu rupiah untuk sepeda motor. Puji Tuhan, saya menemukan sebuah pohon cukup besar tak jauh dari loket masuk.
Maka, tak perlu menunggu waktu lama lagi saya melakukan ritual wajib ketika mengunjungi candi. Ritual tersebut tak lain memotret candi dari balik pohon. Dengan hiasan ranting pohon dan dedaunan yang tumbuh subur di atasnya, rasanya saya mendapatkan potret paripurna. Candi yang saya potret bak sedang memakai mahkota Puteri Indonesia.
Saya melakukan ritual dulu memotret candi |
Posisi loket masuk ternyata berada di bagian samping kiri candi. Bagian depan dari candi sendiri menghadap ke arah selatan atau di sebelah kiri dari loket masuk. Nah, saya terpukau dengan candi ini karena jika dilihat dari jauh tampak seperti susunan permainan lego. Susunan batu bata yang mirip legi tersebut begitu apik membangun badan candi dengan bagian lubang di tengah.
Berasa ke zaman lalu |
Menurut informasi yang saya baca, lubang besar tersebut merupakan pintu untuk tempat pembakaran atau penyimpanan abu jenazah raja. Akan tetapi, tidak ada tangga menuju pintu atau lubang tersebut. Hanya ada tangga menuju selasar candi. Hilangnya tangga ini membuat perdebatan diantara para sejarawan apakah benar Candi Brahu ini memang dijadikan sebagai tempat abu jenazah raja atau tidak.
Baca juga: Menikmati Keheningan Candi Gebang yang Terlindas Zaman
Saya pun memutari candi mengikuti arah jarum jam. Tidak ada relief yang saya temukan di sepanjang selasar atau kaki candi. Mulanya, saya mengira candi ini dibangun pada akhir masa Majapahit karena menggunakan batu bata merah yang khas. Rupanya dugaan saya salah.
Lebih Dulu Dibangun Dibanding Candi Lain di Trowulan
Candi bercorak agama Buddha ini ternyata sudah dibangun sejak abad ke-10 Masehi. Bukti yang mendukung dugaan ini adalah adanya prasasti yang ditemukan di sekitar candi atau di desa yang saya lewati tadi. Prasasti tersebut adalah Prasasti Alasatan yang dikeluarkan oleh Mpu Sindok, raja Kerajaan Medang Kemulan yang bertahra sekitar tahun 939 M. Artinya, meski berdekatan dengan candi lainnya di Trowulan, tetapi candi ini dibangun tidak sezaman dengan candi-candi tersebut.
Tidak ada relief di dinding candi |
Tidak ada informasi lain yang saya dapatkan selain penamaan candi ini. Diduga, nama Brahu berasal dari nama Waruhu. Nama ini merujuk pada sebuah bangunan suci sesuai Prasasti Alasatan. Jika benar, bisa dikatakan bahwa Trowulan sudah menjadi daerah penting bahkan sebelum masa Majapahit. Kalaus aya perhatikan daerah ini memang cukup subur dan cenderung datar (flat) kontor tanahnya sehingga mudah sekali berkembang suatu peradaban.
Santai dulu bestie |
Santai sambil makan bakso |
Untung saja, hujan tak jadi turun. Saya lalu melipir ke geazebo di pinggir taman. Saya sejenak meneguk air mineral yang saya bawa. Di depan saya, ada bapak-bapak yang menyiram tanaman hias yangh dibentuk seperti stupa. Kegiatan melelahkan di siang bolong seperti itu.
Reruntuhan Candi Gentong yang dekat dengan Candi Brahu |
Perawatan candi memang membutuhkan banyak biaya dan tenaga. Tiket masuk 3 ribu rupiah bagi saya amat murah dibandingkan keindahan candi dan pengetahuan yang saya dapat. Namun, jiak tiket sampai hampir sejuta rasanya juga tak masuk akal. Memang butuh kalkulasi yang pas agar masyarakat bi sake candi dengan nyaman dan bebas tetapi tidak merusak atau membuat perawatan candi menjadi berat.
Suasana perjalanan menuju candinya benar-benar diatur dengan sedemikian rupa untuk mendapatkan kesan zaman Majapahitnya. Keren
ReplyDeleteSuka juga dengan link youtube-nya Mas Ikram, mantap pisyan
khas banget ya, dari Bata Merah
ReplyDeleteSebenarnya banyak candi ya di Jatim ini, sayang saya jarang datenginnya, kayaknya bisa nih dijadikan rujukan jalan-jalan, anak saya kebetulan suka banget dengan sejarah, dia sering nanya tentang Trowulan dan semacamnya :D
ReplyDeleteSewaktu ke sini tahun 2017an lebih banyak santai sambil motret dari kejauhan heheheh
ReplyDelete