Bahagianya yang sudah bisa jalan-jalan ke candi lagi. |
Sejak beberapa waktu lalu, saya sudah niat untuk mengunjungi candi-candi di kawasan Trowulan Mojokerto.
Pada 2017, saya sudah sempat singgah ke beberapa candi di daerah Ngoro Mojokerto. Saat itu, saya sempat ingin melanjutkan perjalanan seorang diri dengan motor sampai ke Trowulan. Namun, jarak yang terlampau jauh membuat saya mengurungkan niat tersebut. Badan saya tidak kuat rasanya jika harus memacu motor sampai Trowulan.
Baca juga: Meniti Kisah Kehancuran Kerajaan Singosari di Candi Jawi
Menunggu dua tahun saat pandemi untuk bisa ke candi-candi seakan lama sekali. Barulah, pada libur lebaran yang singkat ini, saya memutuskan untuk mengunjungi candi di kawasan Trowulan. Selain dekat dengan Surabaya, saya tidak mau waktu liburan yang sangat berharga tersebut habis untuk menunggu macet di jalan.
Bingung untuk Mencapai Candi
Akan tetapi, saya bingung bagaimana bisa ke Trowulan. Saya sempat mencari informasi mengenai angkot atau bus ke sana tetapi nihil. Bisa dikatakan, tak ada angkot atau bus yang berjalan di sekitar Trowulan. Kalau pun ada, ya rata-rata bus jurusan ke arah barat. Itu pun tidak melewati jalan di sekitar candi.
Saya juga sempat berpikir untuk menyewa motor dan berkeliling ke Trowulan. Lagi-lagi saya tak mau ambil risiko karena belum hafal jalan. Saya juga tidak menemukan satu pun rental motor di Mojokerto yang buka. Alasannya, banyak pemilik rental yang sedang mudik. Mojokerto bukan kota yang ramai wisata seperti Jogja yang banyak rental motornya.
Opsi pun berlanjut pada sewa ojek wisata. Ya, saya ingat sudah lama tak melakukannya saat pandemi ini. Makanya, saya mencari apakah ada jasa ojek wisata yang bisa mengantarkan wisatawan yang datang sendirian seperti saya ke Trowulan dan sekitarnya. Ternyata tidak ada.
Saya juga sempat menghubungi sebuah jasa ojek lokal dan mereka pun tidak yakin bisa mencarikan driver karena banyak yang mudik. Memang, euforia mudik tahun ini sangat besar. Saya pun maklum dan mencari opsi lain agar saya bisa menuju Trowulan dengan lancar.
Baca juga: Akhirnya! Gedung Songo
Tiba-tiba, saya ingat dengan grup para driver ojek online di Facebook. Biasanya, ada saja diantara driver ojek online yang menawarkan jasanya di dalam grup tersebut. Entah menawarkan untuk menjadi kurir, jemput anak sekolah dan mengaji, atau menawarkan jasa menjemput di tempat tertentu tanpa melalui aplikasi.
Benar saja, baru beberapa saat membaca unggahan grup, saya menemukan beberapa driver ojek online yang menawarkan jasanya. Saya melihat unggahan tersebut tertanggal pada hari kedua lebaran. Artinya, yang bersangkutan sedang tidak melakukan mudik.
Saya pun mengomentari unggahan tersebut. Sayang, ia tak segera membalasanya. Lalu, saya mengirim pesan dari nomor WA yang tertera di sana. Puji Tuhan, driver tersebut mebalas dan bersedia mengantarkan saya. Saya pun mengutarakan maksud dan tujuan perjalanan saya dengan detail sekaligus menanyakan harganya.
Ia pun memberi harga 110 ribu rupiah PP dari penginapan menuju candi-candi. Lantaran harus menunggu dan barangkali bisa membantu saya mengambil foto, maka harga pun saya naikkan menjadi 150 ribu rupiah. Bagi saya harga tersebut cukup karena dulu saat di Purwokerto, saya juga membayar jasa ojek yang mengantar saya juga dengan harga segitu. Setelah deal, saya pun memberi tahu kepadanya untuk menjemput saya di penginapan jam 8 pagi.
Singkat cerita, pada hari H keberangkatan saya pun dijemput. Ia lalu mengarakan kendaraan ke sisi selatan Kota Mojokerto melewati Kecamatan Sooko. Akhirnya, saya bisa ke Trowulan dengan nyaman tanpa banyak pikiran. Tinggal duduk manis menikmati jalan sambil tentunya membuat konten. Namun, saya sedikit sedih karena Mojokerto belum benar-benar sadar wisata. Susahnya masyarakat luar menuju tempat wisata di Trowulan dengan kendaraan umum adalah alasannya.
Kawasan Candi Dekat dengan Kota Mojokerto
Dari Kecamaran Sooko, saya pun sudah sampai di wilayah Kecamatan Trowulan. Jarak antara pusat Kota Mojokerto dengan kawasan situs bersejarah di Trowulan hanya sekitar 20 km. Tidak terlalu jauh dan didukung dengan jalanan yang sepi, membuat saya cepat sampai. Duh, rasanya berlibur di tempat yang tak banyak disinggahi orang adalah sebuah surga. Makanya, pada liburan mendatang saya juga akan melakukannya.
Baca juga: Menikmati Keheningan Candi Gebang yang Terlindas Zaman
Candi pertama yang saya jelajahi adalah Candi Tikus. Candi ini saya pilih karena berdasarkan peta Google map yang saya baca merupakan candi terjauh. Saya memilih candi yang paling jauh terlebih dahulu baru kemudian yang paling dekat. Untuk menempuh perjalanan ke candi ini, Saya penasaran sih kenapa candi ini disebut sebagai candi tikus. Ternyata, saat awal penemuannya,candi ini merupakan sarang tikus.
Baru saja melangkah masuk ke dalam loket dan membayar tiket sebesar 3 ribu rupiah, saya bertanya dalam hati. Lah, ini di mana candinya kok tidak kelihatan?
Mana candinya??? |
Ternyata, candi ini merupakan bekas petirtaan yang letaknya berada di bawah permukaan tanah. Pantas saja tidak kelihatan candinya. Saya jadi ingat Candi Sambisari yang dulu saya kunjungi di kawasan Sleman, DIY. Candi itu juga berada di bawah permukaan tanah karena sempat terkubur oleh lapisan tanah akibat erupsi Gunung Merapi.
Oh itu candinya! |
Bedanya, jika Candi Sambisari digunakan sebagai tempat pemiujaan, Candi Tikus ini memang digunakan sebagai tempat petirtaan. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa candi ini merupakan bekas saluran air yang digunakan bagi masyarakat Trowulan. Jika ini benar, maka sungguh menakjubkan sekali melihat perkembangan tekonlogi pada zaman Majapahit tersebut.
Ada kolam ikannya. |
Banyak Pancuran pada Candi
Saya langsung menuruni anak tangga dan mendekati ke badan candi. Walau tidak bisa benar-benar mendekat karena memang basah dan terdapat bekas genangan air, tetapi saya melihat beberapa lubang yang bisa jadi sebagai saluran air entah ke mana. Tidak hanya itu, ada juga pancuran yang berada di kaki candi. Pancuran ini terbuat dari batu andesit dan ada yang terbuat dari batu bata.
Pancuran dari batu andesit |
Perbedaan jenis bahan keduanya bisa jadi candi ini dibangun dalam dua tahap. Pancuran dari bata merah terlihat lebih kaku dibandingkan dari bata andesit. Artinya, pembangunan candi dari batu bata dilakukan terlebih dahulu.
Katanya sih buat saluran air |
Puas berkelilinhg bagian di sekitar kaki candi, saya kembali naik. Di sana, tampak seorang ibu paruh baya yang sedang menunggu anak, menantu, dan cucunya berfoto di dekat candi. Sepasang suami istri itu tampak belum puas dengan hasil fotonya sementara si ibu seakan sudah lelah ingin segera beranjak dari situ.
Rombongan suami istri dan ibu mertua |
Akhirnya, si istri memanggil saya meminta tolong memotret mereka. Saat memotret, saya tampak shock karena anak kecil yang berusia setahunan sudah dipakaikan kacamata jumbo dan beberapa pernak-perniknya. Meski bagi saya cukup berlebihan, tetapi ya bagaimana lagi, mereka kan sedang liburan?
Lantaran sudah lelah dan lama, saya pun menuju sebuah gazebo tempat mas driver menunggu saya. Sembari meneguk air putih, saya memandangi kembali candi yang cukup sepi itu. Andai saja Mojokerto bisa memenej pariwisata terutama pariwisata sejarahnya, saya yakin candi ini juga akan ramai. Saya pun kembali ke parkiran dan membayar parkir motor sebesar 5 ribu rupiah.
Ada nomer ojeknya kah mas, mau coba jg nih hi hi..
ReplyDelete