Jejak manusia purba di Musem Sangiran Sragen |
Ketika saya duduk di bangku sekolah dulu, nama Sangiran adalah nama yang sering muncul pada pelajaran sejarah.
Nama tersebut muncul bersama dengan nama Trinil, Pithecantropus, Homo Sapiens, kapak persegi dan kapak lonjong, serta istilah masa praaksara lainnya. Saat itu, saya mengasosiasikan Sangiran sebagai tempat yang jauh dan terpencil karena tempat ditemukannya manusia purba. Narasi buku sejarah yang penggambarkan proses ekskavasi fosil dan artefak oleh para ahli yang sebenarnya dilakukan saat masa kolonial Hindia Belanda membuat persepsi akan Sangiran adalah tempat yang jauh dan tidak terjangkau semakin nyata.
Untunglah, globalisasi di bidang teknologi mematahkan itu semua. Ternyata, Sangiran adalah sebuah desa yang tak terlampau jauh dari Kota Solo. Kini, Sangiran bisa ditempuh menggunakan BRT Trans Jateng dengan lama perjalanan hanya 30 menit saja. Sangiran sendiri merupakan area situs arkeologi yang terdapat di dua wilayah, yakni Kecamatan Gemolong Kabupaten Sragen dan Kecamatan Kalijambe Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Kedua wilayah ini merupakan jalan provinsi yang menghubungkan Kota Solo dengan Purwodadi, Kabupaten Grobogan.
Baca juga: Menjejaki Rumah Kos Peneleh Surabaya, Tempat Kos Bung Karno
Setelah tiba di Terminal Sangiran, saya berjalan kaki sekitar 500 meter untuk sampai di pintu gerbang museum. Warga sekitar sudah memberi tanda jalur khusus bagi pejalan kaki agar tidak melewati jalan raya yang panas. Mereka mengarahkan pejalan kaki ke pemukiman warga yang penuh dengan pepohonan rindang. Tentu, sebagai timbal baliknya, mereka menjajakan dagangan yang juga bisa mendongkrak perekonomian warga setempat.
Meskipun sudah melewati jalur yang tidak panas, tetap saja saya kepayahan. Maklum, jalanan yang saya lalui mendaki dengan kemiringan yang cukup terjal. Usia memang tidak bisa bohong. Untunglah, saya membawa payung andalan saya yang bisa saya pakai agar tidak kepanasan. Beberapa teguk minuman pun membuat saya kembali bersemangat menuju lokasi museum.
Hari masih cukup pagi ketika saya tiba di loket. Saya adalah pengunjung pertama hari itu karena tak ada lagi orang lain di sekitar saya selain petugas loket. Hanya perlu membayar 8 ribu rupiah untuk masuk ke museum ini serta tentunya menunjukkan sertifikat vaksin atau check-in di aplikasi Peduli Lindungi. Selepas melakukan beberapa rangkaian prokes, saya dipersilakan masuk.
Baca juga: Menapaki Jejak Villa Teroris Doktor Azahari di Batu
Sungguh, kesejukan yang sangat nikmat saya rasakan ketika menjumpai beberapa pohon beringin besar di area lapang menuju area museum. Di sana, terdapat pula beberapa warung makan yang siap dengan aneka hidangan jika kita belum sarapan. Saya segera masuk dan disambut oleh beberapa petugas keamanan dan tour guide. Saya sempat ditawari oleh tour guide agar menggunakan jasa mereka. Tawaran ini saya tolak halus karena selain berhemat, saya juga lebih ingin mengeksplorasi sendiri ruangan dalam museum sesuai ingatan saya akan pelajaran sejarah.
Warung di sekitar Museum Purbakala Sangiran Sragen |
Museum Purbakala Sangiran ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagian pertama terdiri dari diorama manusia purba dan hewan yang ada di situs Sangiran sekitar 1 juta tahun yang lalu. Diorama ini hampir mirip aslinya seperti gambar yang ada di buku sejarah.
Jembatan di dalam musuem |
Bisa dikatakan, pada bagian pertama ini, terpajang jelas kehidupan pada masa berburu dan meramu. Jika kita masih ingat pelajaran sekolah dulu, maka kita akan dicekoki dengan konsep bahwa pada mulanya manusia hidup dengan berpindah tempat mencari makanan berupa hewan buruan mereka. Ketika bahan makanan di tempat tersebut habis, maka manusia purba akan berpindah ke tempat lain.
Baca juga: Mengenang Pahlawan Pergerakan Kemerdekaan di Museum Perjuangan Yogyakarta
Mereka biasa tinggal di sebuah gua yang disebut sebagai Abris Sous Roche. Asli, dulu saya sampai menuliskan nama tersebut di tangan saya ketika akan menghadapi ulangan sejarah dulu ya. Saat itu, saya masih bisa menghafal nama-nama manusia purba tetapi tidak dengan istilah ini.
Gambaran manusia yang tinggal di dalam gua. |
Nah, saya mendapatkan banyak fosil kepala manusia purba dari masa ke masa. Menilik pada buku LKS saat sekolah dulu, ada beberapa jenis manusia purba yang ditemukan. Beberapa diantaranya adalah Meganthropus, Pithecanthropus, dan Homo. Guru sejarah juga kerap memberikan soal bagaimana perbedaan diantara ketiganya yang ditinjau dari volume otaknya.
Berbagai fosil dari kepala manusia purba |
Museum Purbakala Sangiran secara apik menggambarkan berbagai bentuk dan memaparkan volume otak berbagai jenis manusia tersebut. Tahun perkiraan mereka hidup juga dipaparkan jelas.
Pada bagian kedua, digambarkan jelas proses eksplorasi dan ekskavasi yang dilakukan oleh para peneliti. Di sini, ingatan saya akan ulangan sejarah kembali timbul. Apalagi kalau bukan nama-nama peneliti beserta tempat penelitian dan hasil yang mereka temukan. Ada Eugene Dubois, von Koeningswald, Ter Haar dan Ir. Oppennoorth. Nama-nama tersebut kembali bernostalgia di ingatan saya. Namun, kisah perjuangan mereka yang digambarkan dalam bentuk diorama sangat apik. Tak jarang, mereka mulai frustasi ketika hasil penelitian dan penemuan yang diharapkan tak kunjung didapat.
Salah satu peneliti manusia purba. Ada yang tahu namanya siapa? |
Padahal, mereka sudah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran agar bisa melakukan penelitian tersebut. Meskipun hampir semuanya orang Belanda atau Jerman, sesungguhnya mereka berjasa juga menyingkap tabir misteri mengenai penelitian prasejarah di Indonesia. Berkat mereka, kita jadi tahu bahwa kehidupan manusia purba di Indonesia sudah ada sejak lama.
Diorama kehidupan manusia purba pada masa berburu dan meramu |
Pada bagian kedua ini juga digambarkan peta persebaran manusia purba di Indonesia. Pelajaran ini juga kerap ditanyakan pada ulangan sejarah dengan tema asal-usul masyarakat Indonesia. Sama dengan apa yang saya dapat saat sekolah dulu, peta tersebut menggambarkan jalur migrasi bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) dan Melayu Muda (Deutro Melayu) dari Yunan. Konsep jalur migrasi manusia purba ke Indonesia ini sebenarnya menandai tidak pentingnya perdebatan siapa orang pribumi di Indonesia karena menurut penelitian valid ya kita semua sebenarnya pendatang dari luar wilayah Nusantara.
Diorama yang menggambarkan proses eksavasi |
Bagian ketiga dan yang terakhir adalah diorama kehidupan manusia purba Penggambaran diorama manusia purba pada bagian ini cukup apik. Saya terkesima dengan gambar sekumpulan manusia purba yang baru saja mendapatkan binatang buruan. Sepintas, sang pemburu adalah seorang pria. Di dekatnya, ada seorang wanita yang sedang menyusui anaknya.
Diorama manusia purba yang menyusui anaknya |
Gambaran ini amat jelas menyiratkan peran dan tugas di dalam rumah tangga sebenarnya sudah ada sejak manusia purba. Bagaimana kesulitannya seorang ayah mencari nafkah dan kelimpungannya seorang ibu mengurus rumah tangga digambarkan cukup apik. Saya jadi belajar bahwa memaknai kehidupan masa prasejarah tidak sekadar hafalan jenis mereka atau tempat penemuan mereka tetapi bisa dimaknai dengan proses yang terjadi dan hubungannya dengan keadaan sekarang.
Jalan Raya Sangiran dilihat dari dalam Museum Sangiran |
Diorama yang begitu hidup ini membuat saya sempat ngeri. Takut kalau-kalau mereka hidup dan mengagetkan saya. Asli, saking besarnya mereka hampir seperti nyata. Saya bahkan sampai sesekali melirik ke petugas keamanan di ruangan tersebut jaga-jaga saja jika keparnoan saya menjadi nyata.
Gazebo yang nyaman |
Bagian terakhir ini ditutup dengan gazebo dan taman yang indah. Saya bersantai sejenak dan merasakan sepoi angin yang berembus. Senang juga bisa kembali datang ke museum setelah lama tak merasakannya akibat wabah covid-19. Dan sama seperti kunjungan ke museum lain, sepinya museum ini menandakan bahwa kepedulian orang Indonesia akan wisata ke museum masih rendah.
Sampai hari ini istilah kayak Meganthropus Paleojavanicus jelas masih menempel di kepala. Saya sayangnya lupa kalau Sangiran pernah disebut di buku Sejarah. Jika enggak baca pos ini, mungkin juga enggak akan tahu. XD
ReplyDeleteMelihat patung lilin seukuran manusia memang ngeri sih, Mas. Aroma masa lalu suka terasa mencekam gitu. Haha.
soalnya asli mirip banget sama aslinya ya mas haha
DeleteMemang kalo bahas Sangiran itu ingatnya pelajaran sekolah dulu, pitechantrophus erectus dan manusia homo Sapiens.
ReplyDeleteTernyata Sangiran tidak jauh dari solo ya.
Memang kalo dalam ruangan lalu banyak patung diorama dengan ukuran mirip aslinya jadi agak parno ya, siapa tahu manusia purba nya hidup dan mengigit.😂
wkwkwk itu mas yang bikin parno apalagi gede banget dioramanya
DeleteApalagi kalo sebelum ke Sangiran nonton film horor dulu, tambah parno ya mas.🤣
Deletewaduh beranak dalam kubur, Mas?
DeleteAstagaaa, ada gambar dewasahhh hahahaha.
ReplyDeleteSaya kayaknya udah nyaris lupa tentang Sangiran, cuman ingat Homo Sapiens dll itu.
Baru ngeh kalau itu di Sragen ya ternyata.
Baru sekali saya ke Sragen, jauh banget soalnya dulu rasanya, tapi sekarang sejak ada tol jadi terasa dekat ya :D
hahahahha no sensor2 ya mbak
Deleteiya sekarang juga ada tol jadi cepet klo ke sini
I find history very interesting whether it is about early men or other interesting characters along the way. They have contributed to our world
ReplyDeleteyes, from the past, we can learn how the human lives
DeletePitecanthropus erectus dan homo sapiens jadi nama pertama muncul pertama kalau bahas tentang evolusi pada manusia. Masa sekolah ngomongin ginian emang seru. Imajinasinya kemana-mana. Apalagi ketika jaman berburu dan meramu. Istilah ini bahkan masih sering digunakan.
ReplyDeleteKalau dari semarang ga terlalu jauh untuk ke sangiran. Apalagi bisa diakses pakai kereta api dari semarang.
Cerita yang bagus mas ikrom :D
serasa nostalgia ya mas dengan sitilah itu
Deleteiya dari semarang malah lebih deket karena sragen kan jalur kereta api dari surabaya
tapi eku gatau kalau naik kereta turunnya di mana