Pandemi belum juga usai meski tren kasus covid-19 di Indonesia mengalami penurunan beberapa waktu terakhir.
Gelombang kedua pandemi yang melanda Indonesia pertengahan tahun ini membuat banyak sekali tenaga medis terutama dokter gugur. Dengan gugurnya para dokter ini, tentu membuat jumlah dokter di Indonesia mengalami penurunan. Padahal, rasio antara jumlah dokter dengan jumlah penduduk di Indonesia sangat sedikit.
Menurut data dari WHO, rasio jumlah dokter di Indonesia per 1.000 penduduk hanya 0,4. Artinya, hanya ada 1 dokter yang melayani 10.000 penduduk atau 1 dokter untuk 2.500 penduduk. Jumlah ini membuat rasio dokter di Indonesia terendah kedua di ASEAN. Jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina.
Dampak dari jumlah dokter yang sedikit terutama di masa pandemi ini tentu sangat luas. Beberapa diantaranya adalah tidak maksimalnya pelayanan kesehatan yang dilakukan di berbagai daerah terutama di wilayah terpencil. Banyak kegiatan screening kesehatan yang menjadi terhambat termasuk screening beberapa penyakit menular seperti kusta.
Untuk mengetahui kondisi, solusi, dan harapan ke depan mengenai pelayanan kesehatan terutama kusta serta lika-liku dokter di masa pandemi, maka saya menyimak dialog ruang publik yang dilaksanakan oleh Radio KBR. Ada dua narasumber yang hadir dalam dialog bertajuk "Lika-Liku Peran Dokter di Tengah Pandemi". Mereka adalah dokter Ardiansyah Bahar selaku pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan dokter Udeng Daman selaku Technical Advisor NLR Indonesia, organisasi non-pemerintah yang mendorong pemberantasan kusta di Indonesia.
Dioalog ruang publik KBR membahas lika-liku peran dokter di Indonesia |
Kasus Kusta yang Belum Bisa Tereliminasi
Menurut dokter Udeng, kasus kusta di Indonesia saat ini belum tuntas untuk diselesaikan. Ada sekitar 110 kabupaten/kota di Indonesia yang masih belum bebas kusta. Masih ada 8 provinsi yang berstatus belum eliminasi kusta. Aneka faktor menjadi penyebab penyakit kusta masih belum bisa diselesaikan secara tuntas. Faktor lingkungan menjadi penyebanya semisal sanitasi yang buruk.
Status eliminasi kusta di Indonesia pada 2020. - Sumber: Kompas. |
Perlu diketahui, penularan kusta bisa disebabkan oleh bakteri yang terbawa oleh droplet dari percikan-percikan ludah atau dahak yang keluar saat batuk atau bersin. Menetap atau berkunjung ke kawasan endemik kusta, terutama di daerah dengan sanitasi buruk juga bisa menjadi sumber wabah. Makanya, Pola Hidup Besih dan Sehat (PHBS) yang kurang baik akan menaikkan risiko terutama jika banyak orang yang melakukan kontak erat dengan penderita kusta.
Adanya pandemi membuat kegiatan screening penyakit kusta tidak bisa berjalan secara maksimal. Jika sebelumnya kegiatan bisa dilakukan secara massal melalui layanan kesehatan seperti puskesmas, maka kini menjadi terhambat. Akibatnya, menurut dokter Udeng, banyak kasus kusta di Indonesia yang belum terlacak. Jika ini dibiarkan, maka daerah yang memiliki kasus kusta cukup tinggi akan berpotensi membuat kenaikan jumlah pasien kusta karena tidak terlacak dan tertangani dengan baik.
Banyak Hambatan Pemenuhan Rasio Dokter
Belum optimalnya penanganan kusta akibat kekurangan tenaga medis membuat benang kusut optimalisasi rasio dokter di Indonesia sudah seharusnya dicarikan solusi. Menurut dokter Ardi, jika merujuk pada standar WHO, rasio jumlah dokter yang ideal adalah sekitar 1:1.000. Artinya, satu dokter menangani 1.000 penduduk.
Ada banyak faktor yang membuat jumlah dokter di Indonesia belum mencukupi. Salah satunya adalah pendidikan profesi dokter yang cukup panjang dan berliku. Seorang dokter yang siap untuk diterjunkan butuh lebih dari 6 tahun untuk menempuh masa pendidikan.
Dalam beberapa tahun mendatang, akan ada sekitar 12 hingga 13 ribu dokter baru yang akan lulus kompetensi. Walau demikian, ketersediaan jumlah dokter yang cukup sebenarnya dibutuhkan segera mengingat masih banyak daerah terpencil yang belum mendapat akses kesehatan yang memadai.
Kurangnya distribusi dokter di daerah terpencil menurut dokter Ardi karena banyak dokter yang mempertimbangkan berbagai aspek sebelum bisa terjun ke daerah tersebut. Aspek-aspek tersebut antara lain kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan. Pertimbangan ini harus segera dicarikan solusi terutama oleh pemerintah agar banyak dokter yang mau mengabdi di daerah terpencil.
Rasio Dokter Kurang, Pelayanan Maksimal Pengobatan Kusta Wajib Dijalankan
Meski rasio dokter di Indonesia cukup sedikit terutama setelah pandemi berlangsung, bukan berarti pelayanan terhadap pengobatan pasien penyakit kusta begitu saja diabaikan. Dokter Udeng menyarankan agar pelacakan dan pemetaan penyakit kusta harus tetap dilakukan maksimal. Tujuannya, agar bisa diketahui siapa saja yang tengah menderita kusta secara jelas.
Meski sekarang pemeriksaan bisa dilakukan melalui telemedicine, tetapi pemeriksaan secara tatap muka masih perlu dilakukan. Konsultasi lewat telemedicine hanya membantu dalam hal merujuk ke fasilitas kesehatan jika memang tanda dan gejala yang dikeluhkan mirip dengan penyakit kusta. Untuk memaksimalkan pemeriksaan, maka tenaga kesehatan terutama dokter bisa melakukan pemeriksaan secara door to door yang dilakukan oleh Puskesmas.
Pelacakan penderita kusta oleh seorang dokter. - Sumber: Merdeka.com |
Dalam hal peningkatan kompetensi dokter, menurut dokter Ardi dokter harus tetap melayani pasien yang perlu dibantu termasuk penderita kusta. Kadang, mereka terhambat mendapatkan bantuan karena adanya stigma dari masyarakat maupun tenaga kesehatan sendiri.
Jika penderita kusta sudah mengalami stigma, biasanya mereka akan menyembunyikan gejala dan penyakitnya sehingga berdampak pada keparahan yang lebih serius. Padahal, penderita kusta harus melakukan kontrol pengobatan secara rutin dan berkala untuk memastikan kesembuhannya secara total.
Penderita kusta juga seharusnya bisa dilayani oleh berbagai layanan kesehatan, mulai Puskesmas, RS milik pemerintah, maupun RS milik swasta. Walau setiap daerah memiliki kebijakan tersendiri terkait penanganan penyakit kusta ini yang disesuaikan dengan kondisi endemi masing-masing wilayah tetapi secara umum tak boleh ada diskriminasi terhadap mereka. Terlebih, jika penderita mengalami kondisi yang parah dan butuh penanganan secara segera.
Harapan Untuk Peningkatan Mutu Dokter
Menjadi dokter tentu banyak suka dan duka. Pada masa pandemi ini, dokter adalah garda terdepan bangsa yang sangat berisiko tinggi terpapar virus covid-19. Walau rasa was-was dan takut pasti ada, tetapi lantaran menjadi profesi dan panggilan hati, maka setiap dokter akan tetap memegang sumpahnya untuk bisa menyelamatkan nyawa dari pasien.
Ada beberapa rekomendasi dari dokter Udeng terkait tenaga dokter di Indonesia yang masih kurang ini. Pertama, prioritas distribusi harus dikedepankan. Artinya, daerah mana saja yang butuh banyak tenaga lebih baik menjadi prioritas untuk menerjunkan dokter dalam jumlah banyak. Kedua, peningkatan kapasitas materi kusta di perkuliahan kedoteran agar banyak dokter muda yang bisa menangani penyakit ini.
Ketiga, pelatihan on the job training terkait penyakit kusta juga perlu dilakukan secara berkala. Terakhir, bimbingan dari senior kepada junior bisa terus dilakukan agar transfer ilmu tetap berjalan optimal.
Sedangkan, rekomendasi dari dokter Ardi yang utama adalah setiap dokter tetap harus memegang sumpah dokternya. Ia tak boleh membeda-bedakan pasien dari penyakit yang diderita. Mutu pendidikan kedokteran juga harus tetap ditingkatkan semisal memperbanyak materi mengenai kusta. Tentu, agar harapan ini bisa terwujud, peran pemerintah dan swasta tak bisa dikesampingkan. Peran masyarakat yang aktif dalam melakukan PHBS dan sadar akan kesehatannya juga sangat penting.
Sinergi dari berbagai pihak ini sangat dibutuhkan dalam mencapai eliminasi kusta pada tahun 2022. Dengan sinergi yang baik, penyakit ini akan bisa dihilangkan sehingga Indonesia bisa terbebas dari kusta walau saat ini masih dalam pandemi covid-19 yang cukup tinggi.