Stasiun Blitar yang sepi |
Meski berbatasan langsung dengan Malang, saya jarang sekali main ke Blitar.
Alasannya, tidak ada saudara atau teman dekat di sana. Saya juga sampai saat ini belum mendapatkan sesuatu yang bisa menarik keinginan saya untuk datang ke kota kelahiran Bung Karno ini. Terakhir kali saya benar-benar mengunjungi Blitar adalah saat saya bengong dan nganggur selepas sidang skripsi, hampir 10 tahun lalu.
Pengoperasian kereta api lokal Penataran membuat saya pun tertarik mengunjungi kota ini. Saya ingin mencari tahu, bagaimana sih perkembangan kota ini setelah tak saya singgahi dalam waktu lama? Apakah transportasi umum masih sulit didapatkan di sana?
Kereta api Penataran yang berangkat dari Malang sampai di Blitar setelah menempuh waktu dua jam perjalanan. Hanya perlu vaksin minimal dosis pertama agar bisa naik kereta ini. Tentu, setelah kita membayar tiket sesuai dengan harga yang telah ditetapkan. Oh ya, sementara ini anak-anak berusia di bawah 12 tahun dilarang untuk menaiki kereta. Selama perjalanan berlangsung, saya bisa tidur cukup pulas lantaran tak mendengar suara tangis dan tertawa dari anak-anak.
Tak ada Gojek di Blitar
Setelah turun di stasiun, saya sudah pede berjalan kaki ke tempat aman untuk mengorder Gojek. Saya mendapatkan promo dari Malang berupa potongan harga hingga 10 ribu rupiah. Alhasil, saya pun mantap jika nantinya harus mengunjungi banyak tempat berbekal saldo Gopay yang saya miliki.
Namun apa lacur. Gojek belum tersedia di kota ini. Saya panik dan mencoba untuk mengorder kembali. Kebetulan, tujuan pertama saya adalah Istana Gebang yang merupakan kediaman Bung Karno sewaktu kecil. Saya pun mencoba memesan lewat aplikasi Maxim dan tenryata nihil. Dari sini saya baru paham jika hanya aplikasi Grab yang tersedia di kota ini. Pantas saja, saya hanya menemukan tanda Grab Food pada aneka warung dan rumah makan di dekat stasiun. Tak ada logo Go Food atau Shopee Food yang kini kian marak.
Saya pun berjalan ke arah alun-alun demi memperpendek jarak agar mengurangi biaya pengantaran. Tak dinyana, saya menemukan sebuah pusat perbelanjaan yang berdiri megah bernama Blitar Square. Sontak saya pun kaget dan takjub Blitar memiliki sebuah Mall. Saya masih ingat dulu ketika masih kuliah, saya sering mengolok-olok rekan saya dari Blitar karena kota ini tidak punya Mall. Wah, sekarang ada Mall di Blitar meski terlihat sepi karena efek pandemi.
Blitar Square yang sepi |
Dari Mall ini, saya memesan Grab agar bisa ke Istana Gebang. Menurut Mas Driver, memang hanya Grab yang kini beroperasi di Blitar. Dulu sempat ada beberapa operator ojek lokal tetapi kini sudah tak beroperasi lagi. Makanya, Grab menjadi the only one penyedia aplikasi ojek di kota ini.
Bang, antarkan aku bang.... |
Menjejaki Masa Kecil Bung Karno di Istana Gebang
Sesampainya di Istana Gebang, saya disambut seorang Bapak tua yang kebetulan (maaf) tunadaksa. Beliau adalah penjaga museum ini yang menanyakan asal saya. Beliau meminta maaf karena tempat ini masih tutup karena PPKM. Wah, bukan Bapak yang salah, ini salah saya yang masih aja jalan-jalan pas PPKM.
Saya pun meminta izin untuk memotret bagian luar dari musum ini. Tentu, patung Bung Karno berukuran besar terpampang nyata di sini. Ada juga beberapa balai dan gazebo yang sangat rindang di tengah panasnya cuaca. Lantaran tutup, saya tidak bisa bercerita banyak.
Patung Bung Karno di Istana Gebang |
Balai Kesenian Istana Gebang |
Bapak penjaga museum yang sangat ramah |
Wisata Kuliner Es Pleret di Taman Kebon Rojo
Dari kediaman Bung Karno ini, saya lalu menuju Kebon Rojo. Sebuah taman dan kebun binatang mini yang sering menjadi juugan warga Blitar untuk berwisata. Sayangnya, sama dengan tempat wisata lain, tempat ini masih tutup. Meski begitu, bukan berarti saya tak bisa menikmati kawasan wisata ini.
Taman Kebon Rojo yang masih ditutup |
Tempat ini malah menjadi tempat wisata kuliner yang asyik untuk didatangi. Berbagai pedagang makanan dan minuman hadir dengan membawa kebahagiaan bagi wisatawan yang kecele akibat tutupnya Kebon Rojo.
Saya tertarik dengan Es Pleret. Warna-warni Pleret yang terbuat dari tepung beras ini membuat saya kepincut. Tak ayal, satu gelas es pleret saya pesan dari seorang ibu yang berjualan di sekitar Kebon Rojo ini. ibu tersebut sangat ramah dan bercerita pernah tinggal lama di Malang. Ia juga bercerita bahwa saat ini sudah lama sekali tak pergi ke Malang. Walah, malah kebalikan dong dengan saya.
Hmmm menggoda sekali |
Duar.... beginilah penampakan Es Pleret itu |
Tekstur dari Pleret yang kenyal dan halus membuat kesegaran santan dan es yang tercampur begitu menggelora. Sungguh, menyeruput Es Pleret di kala cuaca terik di Blitar adalah sebuah keniscayaan maha dahsyat. Saya sampai sendawa saking enaknya menyantap es yang juga ada dawet di dalamnya ini. Beberapa tegukan pun saya selesaikan hingga ludes tak bersisa. Saya sangat bahagia ketika harga yang harus saya bayar hanya sebesar 5.000 rupiah saja.
Berkunjung ke Monumen PETA
Selepas mengucapkan terima kasih, saya pun menuju arah Monumen PETA untu mengambil beberapa foto. Kebetulan, di sekitar Kebon Rojo juga berdiri beberapa sekolah katolik dan gereja katolik yang ikonik. Gereja bernama Santo Yusup dengan warna pink ini pun saya potret untuk saya kirimkan ke rekan saya di Filipina. Ia sangat senang jika saya kirimi foto gambar Gereja Katolik. Menurutnya, Gereja Katolik di Indonesia banyak sekali variasi bangunannya terlebih sangat dipengaruhi oleh arsitektur Belanda.
Gereja Santo Yusup Blitar |
Para pedagang di sekitar Kebon Rojo mendapatkan banyak sekali berkah pada hari itu. Saya lihat para pembeli ada saja yang datang untuk membeli dagangan mereka. Kalau orang Jawa bilangnya mlintu. Biar tidak laris betul tetapi ada lah yang membeli. Saya pun membeli pizza dan salad sebagai amunisi untuk makan di kereta nanti.
Dengan langkah pasti, saya menuju ke monument PETA yang berada jalan nasional Blitar-Malang. Taman ini berdiri megah dan sangat ikonik sebagai bentuk perlawanan rakyat Blitar terhadap kesewenang-wenangan Jepang. Epos mengenai Supriyadi, pahlawan asl Blitar yang memberontak dan hingga kini masih belum diketahui keberadaannya begitu membekas jika berbicara tentang Blitar. Jejak sejarah kota ini pun tak melulu soal Bung Karno tetapi juga perlawanan PETA ini.
Saya suka jalanan di Blitar tidak seramai di Malang atau Jogja jadi bisa menyerang dengan tenang |
Monumen PETA Blitar |
SDK Santa Maria Blitar yang juga ikonik |
Sebenarnya, saya masih ingin berjalan ke arah Taman Makam Pahlawan yang berada di seberang Monumen PETA ini. Hanya sayang, perut saya sudah keroncongan sebagai tanda bahwa saya harus segera makan siang. Sebuah pesanan Grab Bike pun saya lakukan demi memuaskan hasrat kuliner saya.
Ke manakah saya akan berlabuh?
btw begitu keluar dari stasiun Blitar apa nggak dikerubut calo ojek, Mas? Aku tuh sekarang ini agak malas naik kereta karena alasan banyaknya calo ojek yang ada di stasiun dan bikin nggak nyaman. pernah di stasiun Tawang dan Pwt udah aku tolak halus karena dijemput. tp tetep aja nawarin dan nungguin aku berasa aku tawanan. huhu
ReplyDeleteya memang mereka ga jahat, sopan2 juga, tp bikin nggak nyaman. lah jadi curhat, wkwkwk
baru tahu ada monumen peta, kudet banget aku sm sejarah ya Tuhan
Ya dikerubutin mbak
Deletemakanya langsung ngecir keluar heheh
iya si emang ngeri dan kikuk ya
soalnya mereka klo matok harga gak kira kira
hahahahha berasa jadi tawanan perang ya mbak
Oh di Blitar cuma ada grab ya mas. Kenapa begitu ya, apa karena kalah bersaing ya?
ReplyDeleteSaya belum pernah ke Blitar, jadinya bewum mendatangi rumah bung Karno maupun para pahlawan peta.
Jadi pengin nyoba es Plered nya, kelihatannya enak mas.😋
nah iya ini yang aku masih belum paham
Deletebisa jadi juga ya
enak esnya mas dan murah lagi
Itulah susahnya jalan2 tak bawa kendaraan ya, Mas Ikrom. Kalau pergi sendirian enaknya pakai motor. Bebas menyelinap ke mana2. Selamat malam, terima kasih telah berbagi kisah.
ReplyDeleteiya kalau pakai motot bisa keliling jauh ya Bu Nur
Deletesayang ga ada persewaaan motor di sini
saya malah penasaran dengan rasanya es pleret itu...
ReplyDeletecobain mas
Deleteenak dan murah kok
Jadi pingin ke Blitar pake kereta api ...
ReplyDeleteEh iya saya dari Jogja
Dulu sering ke Blitar tapi dengan bus ...dan capek nya harus ganti bus 3x(sebelum pandemi)
Blitar daerah bacem dan sekitarnya ko sulit ya cari grap ,mau ke selokajang order grap gak dapet²
ReplyDelete