"Pithik Ingkung", Pembeda Acara Perpisahan SD di Kota dan Desa

Perpisahan SD di kota (kiri) dan di desa (kanan)

Minggu ini, linimasa jejaring sosial Anda pasti banyak dipenuhi oleh foto rekan atau saudara yang baru saja mengikuti prosesi pelepasan siswa, baik TK, SD, SMP, maupun SMA.


Kali ini, saya akan sedikit membahas acara pelepasan siswa yang pernah saya ikuti. Di sini, saya akan membatasi untuk jenjang SD mengingat saya pernah menjadi guru SD dan pengisi acara beberapa sekolah dasar yang sedang menjalani prosesi sakral ini.

Sebagai salah satu tahapan pendidikan, pelepasan siswa sangatlah penting. Tak sekadar memajang siswa Kelas 6 untuk naik ke panggung dan menyanyikan lagu-lagu perpisahan, acara ini juga menjadi ajang untuk menjalin tali silaturahmi antara pihak sekolah dengan wali murid dan juga sebagai tanda untuk memberikan tanggung jawab kembali pendidikan anak kepada wali murid. Apakah akan dilanjutkan ke bangku SMP atau dihentikan.

Lantas, apa saja perbedaan itu?

Pertama, dari para pejabat yang datang. Dalam berbagai acara perpisahan SD, tentu ada acara sambutan-sambutan yang cukup panjang. Mulai sambutan wali murid, kepala sekolah, siswa sendiri, komite, hingga para pejabat daerah. Nah, yang menjadi menarik untuk dicermati adalah kehadiran pejabat daerah.

Baik di desa maupun di kota, semua sekolah akan mengundang pejabat daerah. Biasanya, pejabat daerah yang diundang adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan (UPT). Saya masih ingat kala harus mengirimkan surat undangan kepada Kepala UPT yang menaungi sekolah tempat saya mengajar dulu.

Saat mengantarkan surat itu, ada sekitar 4-5 surat serupa yang tergeletak di meja tamu. Menurut pegawai UPT, saat hari-H acara pelepasan siswa, ada sekolah lain yang juga mengadakan perpisahan siswa. Untuk itulah, Kepala UPT akan menggilir sekolah mana yang akan didatangi. Tidak mungkin semua sekolah akan menjadi jujugan pejabat tersebut. Sekolah yang tidak didatangi Kepala UPT akan mendapat giliran tahun depan.

Sementara, saat mengisi acara di sekolah ibu saya di desa tadi, Kepala UPT di kecamatan itu, seorang ibu paruh baya sudah siap dengan motornya di sebuah warung makan kecil di Kota Kecamatan pagi buta.

Jalan menuju sebuah SD di kaki bukit

Dari penuturannya, ia akan mendatangi 3 sekolah di wilayah naungannya. Ia gilir waktu untuk kegiatan tersebut dari pagi hingga menjelang sore mengingat cakupan wilayah yang sangat luas. Sekolah-sekolah di lingkungan tersebut, tampakanya telah menjadwal acara pelepasan siswa bergiliran, dari Senin hingga Sabtu. Tujuannya, agar Kepala UPT bisa hadir di semua sekolah.

Nah, uniknya, saya memiliki beberapa poin yang menjadi pembeda acara ini di desa dan di kota. Dulu, setiap tahun, saya mengiringi musik paduan suara di sekolah ibu saya di sebuah desa di Kabupaten Malang. Tepatnya, di sekitar pantai selatan yang jaraknya sekitar 50 km dari Kota Malang. Sementara, sekolah tempat saya mengajar hanya berjarak sekitar 500 m dari alun-alun kota.

Kepala UPT sangat bersemangat untuk memberikan sambutan di sekolah-sekolah naungannya lantaran angka putus sekolah di wilayah tersebut saat itu cukup tinggi. Alasan tidak ada biaya menjadi alasan utama. Siswa laki-laki biasanya akan putus sekolah dengan alasan bekerja di ladang atau menjadi TKI mengikuti jejak orangtuanya sebagai penyadap karet. Sementara, bagi siswa perempuan, selain bekerja, tentu ada beberapa diantaranya yang memutuskan untuk menikah.

Pak Sunarwi, Kepala Sekolah SD tempat ibu saya mengajar turun langsung memberikan instruksi kepada siswi yang akan naik ke panggung. Dengan jarak rumah ke sekolah yang cukup jauh, banyak siswi tersebut rela menginap di sekolah untuk merias wajahnya pada acara perpisahan. Menurut Pak Suanrwi kala itu, usaha memeriahkan acara perpisahan ini adalah salah satu langkah menekan angka putus sekolah

Pejabat dari UPT maupun perangkat desa akan ikut dalam acara perpisahan tersebut tak henti-hentinya mengajak orangtua siswa Kelas 6 agar terus menyekolahkan anaknya. Mereka bahkan akan memberikan dukungan penuh bagi siswa yang mengalami kendala untuk meneruskan ke jenjang SMP yang ada di kota kecamatan, baik negeri maupun swasta. Yang penting tetap sekolah.

Awalnya saya tidak percaya akan tingginya angka putus sekolah ini. Namun, suatu ketika saya melihat sendiri ibu saya menasehati dua siswa laki-laki yang secara fisik sudah cukup besar. Ibu menasehati mereka karena keduanya telah benar-benar mantap ikut ayah mereka ke luar kota bahkan keluar negeri untuk bekerja.

Menurut ibu saya, keduanya memang pernah tidak naik kelas selama 2 tahun. Jadi, secara usia, mereka telah matang dan semangat belajar mereka sudah mulai menghilang. Dari data pokok Kemendikbud, pada tahun 2019, meski angka putus sekolah menurun, namun masih cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Faktor ekonomi menjadi salah satu faktor utama terjadinya putus sekolah.

Sementara itu, dukungan informasi dan akses lebih baik di kota membuat angka putus sekolah sangat rendah dan hampir nihil. Saya sudah mendapat jawaban sekolah impian murid-murid kelas 6, baik negeri ataupun swasta. Maka dari itu, pejabat daerah jarang sekali datang ke acara perpisahan.

Siswi di sekolah tempat saya mengajar dulu berpose saat jeda acara. Dengan fasilitas pendidikan yang lengkap dan tingkat kesadaran masyarakat tinggi akan pendidikan, semua siswi tersebut bertekad meneruskan sekolah hingga perguruan tinggi


Kedua, peran wali murid dalam acara perpisahan di kedua daerah ini cukup unik untuk diamati. Di kota, peran mereka saya amati tentu jauh lebih besar. Sejak kelas kecil memang sudah ada paguyuban wali murid. Saat putra-putri mereka beranjak ke kelas 6, mereka juga berperan sebagai evet organizer segala kegiatan siswa-siswi mereka, mulai istighosah, kemah, outbond, perpisahan, hingga rekreasi ke luar kota. Guru-guru biasanya hanya sebatas mendampingi siswa kelas 6.

Sementara, dengan teknis berbeda, dukungan orang tua murid di desa tak terlalu banyak terlihat pada acara pra perpisahan. Semua kegiatan lebih banyak dilakukan oleh para guru. Namun, jangan remehkan peran mereka saat acara perpisahan. Bisa-bisa, acara di kota kalah.

Layaknya acara hajatan pernikahan, perpisahan Kelas 6 juga dilakukan secara besar-besaran. Uniknya, segala keperluan mulai sound system, panggung, dan tata rias disumbang oleh wali murid yang memiliki usaha di desa tersebut. Jadi, dari kejauhan, rasanya seperti ada acara kondangan 7 hari 7 malam. Kondangan siswa-siswi yang mengakhiri masa sekolah mereka di sekolah dasar.

Kedua, peran wali murid dalam acara perpisahan di kedua daerah ini cukup unik untuk diamati. Di kota, peran mereka saya amati tentu jauh lebih besar. Sejak kelas kecil memang sudah ada paguyuban wali murid. Saat putra-putri mereka beranjak ke kelas 6, mereka juga berperan sebagai evet organizer segala kegiatan siswa-siswi mereka, mulai istighosah, kemah, outbond, perpisahan, hingga rekreasi ke luar kota. Guru-guru biasanya hanya sebatas mendampingi siswa kelas 6.

Sementara, dengan teknis berbeda, dukungan orang tua murid di desa tak terlalu banyak terlihat pada acara pra perpisahan. Semua kegiatan lebih banyak dilakukan oleh para guru. Namun, jangan remehkan peran mereka saat acara perpisahan. Bisa-bisa, acara di kota kalah.

Layaknya acara hajatan pernikahan, perpisahan Kelas 6 juga dilakukan secara besar-besaran. Uniknya, segala keperluan mulai sound system, panggung, dan tata rias disumbang oleh wali murid yang memiliki usaha di desa tersebut. Jadi, dari kejauhan, rasanya seperti ada acara kondangan 7 hari 7 malam. Kondangan siswa-siswi yang mengakhiri masa sekolah mereka di sekolah dasar.

Persiapan acara di sebuah SD di desa

Baik di desa maupun di kota, dukungan penuh ini menjadi bukti bahwa masa sekolah dasar adalah masa penting bagi kehidupan seseorang. Mungkin, ada jenjang yang lebih tinggi yang bisa digapai. Namun, lamanya masa belajar di SD membuat acara perpisahan ini menjadi berbeda. Lebih haru dan lebih mengena di hati. Itulah alasan mengapa banyak wali murid dan guru yang menitikkan air mata saat para siswa kelas 6 naik ke pentas, diberi kalungan medali, dan menyanyikan lagu-lagu perpisahan seperti "Terima kasihku" dan "Hymne Guru". Sangat berbeda saat hal serupa dilakukan di SMP, SMA, maupun perguruan tinggi.

Berfoto bersama guru lainnya.

Untuk itulah, acara perpisahan ini menjadi salah satu pelecut bagi mereka agar tetap semangat melanjutkan pendidikan karena dukungan bagi mereka masihlah besar. Dengan naik ke panggung, paling tidak rasa bangga telah giat belajar selama 6 tahun harus tetap dijaga untuk meneruskan pendidikan dan menggapai impian.

Ketiga, saya kerap mengamati hidangan yang diberikan saat acara ramah tamah. Sekolah di kota, dengan segala kemudahan fasilitasnya akan memesan makanan dari katering tertentu yang sudah siap di meja. Sementara itu, sekolah di desa yang saya datangi, memiliki cara yang cukup unik.

Wali murid diwajibkan membawa satu buah set makanan di dalam baskom besar. Di dalam baskom itu berisi nasi, lauk pauk, dan tentunya yang menjadi hal wajib adalah pithik ingkung (ayam potong 1 buah utuh). Pithik ingkung ini seakan menjadi syarat selamatan dari wali murid Kelas 6 bagi kelulusan siswa mereka.

Pithik ingkung yang dibawa oleh wali murid

Baskom-baskom itu akan ditampung di beberapa ruang kelas yang "dibedol" untuk digunakan sebagai ruang makan. Nantinya, ada guru kelas dan perwakilan wali murid yang akan menata sedemikian rupa meja makan. Mereka akan menata lauk-pauk menurut jenisnya, semisal sambal goreng, perkedel, mie goreng, ataupun beberapa sayuran. Sementara, pithik ingkung akan dipotong sedemikian rupa hingga tampak apik memenuhi meja hiding. Acara makan-makan akan diadakan selepas seluruh kegiatan usai. Diikuti oleh siswa, guru, wali murid, dan pejabat, semua tampak larut menikmati hidangan itu. Ah, asyik.

Siswa SD di tempat saya mengajar telah mendapat konsumsi kue dan nasi yang dipesan melalui katering

Terakhir, walau inti acara perpisahan yang ada di kota maupun desa sama, namun acara selingan di sekolah kota jauh lebih banyak.
Perpisahan kelas 6 juga menjadi ajang unjuk gigi ekstrakurikuler siswa kelas 1-5. Segala ekskul, mulai menari, menyanyi, hingga olahraga akan tampil. Sementara, untuk sekolah desa, acara selingan hanya sambil lalu. Acara lebih banyak difokuskan pada pemberian informasi pendidikan dari para pejabat terkait.

Siswa kelas 4 dan 5 melakukan catwalk unjuk gigi pada acara perpisahan.


Siswa kelas 5 membacakan pidato dalam bahasa Jawa sebagai bentuk apresiasi pada kakak kelasnya


Nah, itulah sedikit perbedaan acara perpisahan SD di kota dan desa. Perbedaan ini tidaklah mutlak dan sangat mungkin ada banyak variasi di dalamnya, terutama di pinggiran kota yang menjadi batas antara desa dan kota.

Sekian, salam.

17 Comments

  1. Wough, pake acara ingkungan barang..


    Aku inget pernah dicritani tmn yang ngajar di daerah pakis, Magelang... Klo ada acara maem bersama di sekolah, format e Yo nuansa kedaerahannya masih kelihatan gitu. Misal klo anak2 kota, di suruh bw bekal dr rumah...bisa ditebak, lauk model NuGet, sosis, atau sekalian beli olive ....tinggal mbawa

    Nah klo di pakis tadi ya lauk2 rumahan ala pedesaan gitu masih "jalan"...

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahha lega ya mbak pakai ingkung
      iya ini tapi di beberapa daerah tertentu saja sih engga semua

      kalau anak kota lebih ke catering klo engga bekal
      cuma seringnya si catering biar seragam

      Delete
  2. Wah kalo di desa kalo ada acara perpisahan murid kelas enam ada ayam Ingkung nya ya.

    Aku rasa alasan orang tidak melanjutkan sekolah di desa karena ekonomi benar mas, soalnya aku sendiri putus sekolah juga karena orang tua tidak mampu, soalnya dulu kalo sekolah kan tiap bulan ada biaya SPP nya, belum lagi biaya lain.

    ReplyDelete
    Replies
    1. alasan biaya dan tradisi mas
      saya selalu tidak sampai hati kalau ada anak putus sekolah
      apalagi zaman sekarang ya

      Delete
    2. Kalo sekarang mah harusnya tidak ada alasan putus sekolah karena tidak bisa bayar SPP soalnya kan udah gratis, beda dengan jaman presiden Soeharto dulu.😄

      Kalo dulu orang tuaku bilangnya, yang penting bisa baca dan tulis saja sudah cukup, nanti juga ke sawah ngga perlu ijasah, yang penting bisa macul.

      Eh bukan ke sawah tapi akhirnya malah ke warteg.😂

      Delete
    3. kalau sekarang memang gratis mas cuma kadang engga ada sekolah lanjutan kayak SMP dan SMA di daerah itu
      jadinya mereka akhirnya memutuskan sekolah juga soalnya kalau mau ke SMP atau SMA jauh banget dan ga ada biaya huhu

      Delete
  3. Baca ini jadi ingat masa perpisahan jaman SD deh, Mas Ikrom. Menurutku perpisahan jaman SD itu memang jauh lebih berkesan daripada perpisahan waktu SMP ataupun SMA. Mungkin gara-gara jangka waktunya lebih lama kali ya, mas. SD kan 6 tahun, sementara SMP & SMA cuma 3 tahun. Setelah 6 tahun bareng-bareng sama temen sekelas, eh akhirnya harus pisah juga. Seneng sih, bisa naik jadi anak SMP, tapi sedih juga pisah sama temen yang udah bareng bertahun-tahun. 😭

    Ngomong-ngomong, itu asyik banget, mas, makan pitik ingkung rame-rame. Berasa banget kekeluargaannya. 😆

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak saking lamanya sampe mewek dan nangis bombay ya
      padahal klo udah gede banyak yang lupa dan putus silaturahmi hahah

      ini emang asyik
      soalnya mereka piara ayamnya udah lama
      biasanya mereka masih kelas 5 an udah piara
      pas kelas 6 bisa disembelih buat perpisahan haha

      Delete
    2. Oh miara ayam sengaja dari kelas lima buat perpisahan SD, Mantul ya mas 😀

      Delete
    3. iya biar engga beli mahal mas

      Delete
    4. Saya juga lagi miara ayam mas, tapi di shopee pets.😆

      Ngga tahu nanti ayamnya dikirim apa enggak.😂

      Delete
  4. Aku waktu SD kayaknya ga ada perpisahan deh mas, lulus2 aja udah hiks, sedihnya, pas SMP pun gitu, ga ada acara kusus buat perpisahan, nah pas SMA baru ada, nyewa gedung, pake kebaya dll, itu baru merasakan perpisahan yg sesungguhnya hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah padahal perpisahan SD itu memorable banget lo mbak soalnya saking lamanya sekolah haha

      kalo SMA biasanya banyak uang ya sekolahnya jadi sewa gedung atau hotel plus pakai kebaya
      aku dulu juga gitu

      Delete
  5. Wah seru juga ya ada ingkungnyaa.. kalo ditempatku biasanya ingkung tuh identik sama ulang tahun sama syukuran kalo ada fsilitas baru gituu

    ReplyDelete
  6. ternyata perpisahan sekolah emang selain berkesan agak heboh juga ya mas...soale ngundang upt juga pejabat terkait..seksi wara wiri kudu tanggap wekekek...dan itu kontribusi wali murid ortu murid juga keren banget...yang punya usaha sound system n tata rias bisa unjug gigi memeriahkan acara

    btw mas...aku trenyuh baca angka putus sekolah di kab malang ini ya mirip mirip kampungku mas...tapi kalau yang cewe iya mas dijodohke orang tuanya...ning nek cowo aku baru ngeh sampe kon kerjo dan jadi TKI...dulu temen sekelasku ada beberapa kali yang nunggak emang kelas 6 e jadi tinggi banget...kan dah akhil baligh...nah bar selese sekolah juga merantau di jakarta kerja mas...temen smp ku juga hiks

    oya mas guru gurune isih nom nom yo mas wkekkek..seru paati jadi guru muda

    tapi sing paling bikin kepengen itu iwak pitik ingkunge mas ya Alloh dimaem karo mue, perkedel, ma urab wenak mas...po meneh nek nasi kuning xixixi

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahah seksi wara wiri ancen kudu tanggep ngapain aja
      hatrus siap 24/7 wkwkwk

      iya kontribusi wali murid juga penting banget
      tanpa mereka engga bakal bisa sukses


      biasanya kerja dulu di JKT trus pas udah usia SMA baru deh jadi TKI di perkebunan kelapa sawit
      biasane se gitu

      wkwkwk iya masih seumuran
      tapi sekarang ya wis mulai menua hahahaha

      pitik ingkunge jan mak yus
      opo maneh sambel gorenge hmmm

      Delete
Next Post Previous Post