Minggu pagi saya bangun dalam kondisi badan sakit semua.
Kalau orang Jawa bilang kedringes. Ini lantaran saya jarang berolahraga tapi sok-sokan mendaki bukit. Malam-malam pula. Makanya, ketika saya terbangun dalam kondisi kamar ber-AC yang begitu sejuk, saya masih ogah-ogahan. Belum lagi, sepatu saya masih basah bagian dalamnya yang sangat terekomendasi untuk tidak dipakai.
Namun, pesan dari Dimas yang sudah siap untuk mengantar saya membuat saya semangat kembali. Untungnya, sandal saya masih bisa diandalkan. Saya pun segera mandi dan bersiap lalu menjemur sepatu saya di pelataran bagian belakang penginapan.
Di sana, ada seorang mas-mas petugas penginapan yang sedang menjemur berbagai peralatan tidur tamu. Saya pun meminta izin untuk menjemur sepatu saya dan minta kepadanya jika nanti hujan, maka sepatu saya bisa diamankan terlebih dahulu. Si Masnya tanpa banyak kata menyanggupi. Memang orang Purwokerto baik-baik ya.
Setelah sarapan dan membuat Insta Story layaknya kontestan Miss Universe seputar aktivitas saya pagi itu, saya pun menunggu kedatangan Dimas. Rupanya, ia tidak pulang sama sekali dan mandi di Bukit Agaran yang saya datangi malam sebelumnya. Ia pun hampir semalaman tidak tidur di sana. warbiyasah ya jiwa muda.
Baca juga bagian sebelumnya ya....
Perjalanan saya pagi itu akan menuju Kawasan Wisata Baturraden. Tidak perlu waktu lama untuk sampai di sana karena memang penginapan saya berada di utara Purwokerto yang menjadi jalan utama menuju kawasan wisata tersebut. Sepanjang perjalanan menuju Baturraden, saya dimanjakan dengan pemandangan hamparan bunga dari para pedagang di sisi kanan dan kiri jalan. Dengan kabut tipis-tipis yang turun, pemandangan tersebut semakin membuat saya bernostalgia dengan Kota Wisata Batu.
Beberapa bar dan tempat karaoke juga tampak berdiri kokoh yang semakin menandakan bahwa wisata Baturraden menjadi pusat wisata di Purwokerto. Bahkan menurut Dimas, beberapa tempat di sekitar Baturaden kerap digunakan sebagai tempat prostitusi. Hmmm… tidak kaget ya biasanya tempat-tempat berhawa sejuk memang nyaman digunakan sebagai tempat semacam itu. Akan tetapi, saya malah melihat banyak tempat wisata hits kekinian yang mulai dibangun dan sudah buka. Artinya, wisata alam di sekitar Baturraden mulai menggeliat dan banyak bermunculan.
Tempat karaoke dan bar di sekitar Baturraden |
Kami sampai di pintu masuk Baturraden sekitar 25 menit kemudian. Bukannya masuk, Dimas malah mengajak saya ke jalan lain yang ternyata jalan pintas menuju Purbalingga. Jalan itu tampak berkabut dan amat dingin. Meski demikian, beberapa orang tampak asyik berlari di tengah dinginnya cuaca. Ternyata, saat itu sedang dilaksanakan lomba maraton yang diikuti oleh ribuan peserta. Saya langsung takjub dengan semangat mereka yang begitu membara.
Ini ke mana neik? |
Lantaran tak ada jluntrungannya, saya meminta untuk ke pintu masuk kembali. Saya pun lalu membayar tiket sebesar 23 ribu rupiah per orang dan tiket parkir sebesar 5 ribu rupiah. Tiket ini merupakan tiket terusan yang bisa digunakan masuk ke beberapa wisata lain. Makanya, Dimas mengajak saya ke Pancuran Pitu.
Rumah tua |
Untuk mencapai lokasi ini, kami harus berjalan sekitar 5 km lagi dari pintu masuk. Jalan tersebut melewati hutan belantara dengan kondisi jalan rusak. Waduh, saya mulai was-was karena tiba-tiba gerimis mulai turun. Benar saja, baru satu kilo meter kami berjalan, hujan turun amat deras. Untungnya, kami menemukan tempat berteduh berupa bangunan indah nan besar tempat pembibitan bunga.
Berteduh dulu ya |
Di sana, kami berteduh bersama beberapa orang yang sedang terjebak hujan. Tempat yang sepi itu amat syahdu lantaran juga memuat beberapa pilar yang sangat cocok digunakan untuk photo shoot. Hampir 30 menit kami menunggu di sana hingga hujan reda.
Selepas hujan reda, kami melanjutkan perjalanan kembali masih dengan jalan hutan belantara. Sungguh, saat itu hawa dingin benar-benar menusuk tulang. Suasana semakin bikin ngeri ketika Dimas bercerita bahwa di sana sering ditemukan macan kumbang alias harimau hitam. Satwa ini merupakan satwa khas Gunung Slamet yang legendanya diceritakan turun-temurun.
Alemong, ngeri juga ya kalo ke sini sendirian |
Walau hati semakin dag-dig-dug akan tetapi terbayar ketika kami sudah sampai di parkiran wisata Pancuran Pitu. Di parkiran tersebut ternyata berjejer mobil angkutan desa yang mengangkur penumpang dari Baturraden. Jadi, bagi wisatawan yang ingin datang ke wisata ini, sebenarnya bisa menumpang angkutan tersebut.
Mobil feeder dari Baturraden. Seru juga ya kalau naik satu rombongan naik ini sambil cerita mistis dan makan kuaci. |
Kami tidak diminta untuk membayar tiket lagi dan hanya perlu menunjukkan tiket yang sudah dibayarkan di pintu masuk Baturraden sebelumnya. Untuk sampai ke pancurannya, kami masih harus jalan lagi sekitar 1,5 km menuruni sebuah bukit. Alemong, ini nanti saat kami pulang bakal naik ya nek. Kabar baiknya, jalan yang digunakan sudah bagus berupa anak tangga dengan pegangan yang bisa digunakan.
Sepanjang jalan, kami menemui beberapa warung yang pemiliknya sudah menggoreng aneka gorengan yang menggoda selera. Aduh, bau gorengan tersebut sangat menggoda iman untuk sejenak berhenti dan makan gorengan sejenak. Niat itu kami urungkan karena gerimis mulai turun kembali dan kami ingin sampai di tujuan sebelum hujan turun lagi.
Warung yang menggoda |
Ternyata benar, baru saja kami tiba di lokasi, huan pun turun sederas-derasnya. Di sana hanya ada para pedagang dan pemijat yang begitu menunggu para tamu seperti saya. Kedatangan para tamu begitu mereka tunggu meski hari itu hujan turun deras. Namanya cari rezeki ya, apapun akan dilakukan asalkan halal.
Saya didekati oleh salah seorang pemijat yang menawarkan saya jasa pijitannya. Ada beberapa paket yang bisa saya ambil. Paket paling murah adalah pijatan kaki dengan harga 10 ribu rupiah untuk 20 menit. Lalu ada paket tangan kaki seharga 30 ribu rupiah untuk 30 menit dan yang paling mahal ada paket seluruh tubuh untuk 1,5 jam seharga 100 ribu rupiah. Sebenarnya saya ingin mencoba paket seluruh tubuh. Namun, hujan deras dan angina kencang membuat niat itu saya urungkan. Bisa-bisa saya masuk angin dong.
Pijat dulu gaes |
Maka, saya pun memilih paket paling murah yakni pijatan kaki 10 ribu rupiah. Ya, itung-itung penglaris bagi bapaknya yang baru saja memulai usahanya. Saya lihat belum ada pengunjung lain yang datang selain saya.
Saya pun dipijat dengan balutan belerang dengan cukup mantap. Sensasi hangat belerang dan dinginnya udara membuat pijatan tersebut terasa nikmat. Bapak tersebut juga melakukan teknik pijat refleksi yang sama dengan pemijat langganan saya. Bedanya hanya media cairan yang digunakan. Jika biasanya saya dipijat menggunakan bantuan lotion, pada saat itu saya dipijat dengan belerang.
Selepas memijat, saya pun berteduh di sebuah warung dan memesan minuman. Hujan turun semakin deras. Saya jadi kasihan dengan bapak-bapak pemijat tadi kalau saja tidak ada pengunjung lagi hari itu. Baru saja overthingking, eh tiba-tiba muncul beberapa rombongan besar pengunjung mulai anak-anak hingga aki-aki. Rupanya mereka rombongan keluarga besar.
Para pengunjung pun berdatangan |
Beberapa menit kemudian muncul lagi rombongan lagi dan begitu seterusnya. Mereka mulai mandi di bawah pancuran pitu dan beberapa mulai melakukan pijat. Beberapa bapak bahkan melakukan pijat seluruh tubuh. Kata Dimas, tempat ini memang sakral. Banyak yang rela datang meski hujan deras demi mandi atau pijat. Oh pantesan.
Kesakralan tempat ini karena adanya petilasan Mbah Atas Angin yang berada di dekat tujuh pancuran yang mengalirkan air panas bercampur belerang. Beliau memiliki nama asli Syeh Maulana Magribi dan berasal dari Turki. Saat tiba di Pulau Jawa, beliau menderita penyakit gatal-gatal. Oleh seseorang bernama Haji Datuk, beliau disarankan untuk pergi ke sebuah kaki gunung untuk mengobati sakitnya. Akhirnya beliau datang ke Pancuran Pitu tersebut dan berhasil sembuh berkat air panas yang mengalir.
Pancuran Pitu dan Makam Mbah Angin di dekatnya |
Petilasan tersebut masih terjaga dengan baik hingga sekarang. Menurut Dimas lagi, kadangkala tempat ini juga didatangi pada malam-malam tertentu. Saya jadi parno sendiri jika membayangkan malam-malam berjalan ke tempat ini dan mandi di sana. Namun, namanya kepercayaan orang ya kita harus hormati. Apapun itu, saya menyaksikan sendiri kesakralan tempat ini ketika hujan turun deras yang sangat mungkin sepi pengunjung tetapi nyatanya makin siang makin ramai.
Hampir tengah hari saya berada di sana. Saya malas beranjak karena cuaca masih hujan dan melihat perjuangan ke tempat ini yang begitu sulit kok sayang ya jika hanya sebentar. Saya mengamati orang-orang yang asyik bermain air di bawah pancuran sembari mencari belerang. Saya sudah posisi enak makan gorengan dan minum teh hangat 2 gelas sambil berselimutkan jaket. Asli, itu adalah posisi ternyaman di tempat tersebut.
Foto dengan Dimas dulu |
Barulah, ketika cuaca mulai cerah, saya meminta Dimas mengantar ke penginapan kembali. Sebenarnya, saya masih mau ke wana wisata Baturraden lagi karena tiket saya masih bisa digunakan. Namun, saya masih kepikiran sepatu yang saya jemur di penginapan tadi. Belum lagi, malamnya saya mau jalan-jalan lagi untuk menikmati sisa malam di Purwokerto.
Kebun pembibitan bunga yang sungguh indah |
Jadi, tunggu lanjutan ceritanya ya.
Lahh udah part 4 aja ya...
ReplyDeleteNinggalin jejak dlu ntr sore balik lagi.. hehe.. mau baca dari part 1.. hahah 😁
batu raden, masih asri seperti terakhir saya kesana + kabutnya yang kadang pekatt,
ReplyDeletedi purwokerto jarak dari kota ke tempat wisata yang ada nggak jauh jauh banget ya mas Ikrom? tau tau cuman 25 menitan udah sampe
ReplyDeletedan awalnya tadi aku kiran pancuran pitu adalah air terjun gedeee gitu, ternyata bukan ya. baru tau juga
Kalau jalan2 gini emang enaknya pake sendal gunung ketimbang sepatu, ga enak kalau pas hujan.
ReplyDeleteAkhirnya bisa lihat Baturraden juga. Soalnya pas motoran ke Jogja, silaturahmi dulu sama temen yg orang Banyumas (kebetulan lagi mudik), rumahnya di Sumpiuh. Karena udah motoran siang sepanjang Pantai Selatan yg lagi panas2nya, pas rebahan di rumahnya minta rekomendasi tempat yg dingin2 kayak Lembang atau Ciwidey. Dikasih Baturraden, sekaligus karena ada cerita petilasan Syekh itu buat digali aspek sejarahnya. Tapi karena nimbang2 waktu perjalanan, ga jadi.
Wiiiiii, akhirnya bisa yalan-yalan setelah tahun lalu digempur Corona ya, Mas 😆. Kalau yalan-yalannya di tempat yang asri gini kayaknya enak. Apalagi bisa mandi air panas. Cocok banget kalau pagi-pagi soalnya lagi dingin-dinginnya. Hehehe. Ngomong-ngomong, Mas Ikrom ikut mandi air panas gak nih? 🤭
ReplyDelete