Mbak Desol (kiri) dan Mbak Lilik (kanan) |
Aku menantangmu, Desol! Terlalu lama kau bersembunyi. Adakah belatimu telah tumpul? Ataukah gelar ratu kematian yang kausandang sudah tidak sakti lagi?
*********
Lilik Fatimah Azzahra, pulanglah! Lalukan saja niatmu dari hadapanku sebelum kau lari terkencing-kencing sembari memunguti malu yang berserakan di halaman rumahku.
********
Saya segera bersiap dengan pisau lipat yang sering saya bawa kala melakukan traveling. Terselip rapi di saku celana. Keringat saya mulai bercucuran deras dan sebentar lagi pasti air kencing akan membasahi celana saya. Ah, saya sungguh lemah.
Lemak di tubuhmu akan kumasak beserta bola mata di atas api tungku yang panas.
Aduh, saya semakin bingung. Saya mau bersembunyi tapi tidak ada ruang lagi yang tersisa. Mencoba pasrah dan berharap nasib saya masih baik-baik saja. Itulah yang saya harapkan kala bertemu dua ratu Fiksianer, Desol Desy dan Lilik Fatimah Azzahra.
Tenang, ilustrasi di atas hanyalah khayalan semata. Tak ada pertumpahan darah ataupun memasak bola mata. Saya juga tidak menggunakan diaper karena tidak akan terkencing-kencing. Kalaupun itu terjadi, pastilah akibat ledakan tawa yang keluar dari mulut saya setelah mendengar cerita mereka.
Alkisah, di suatu akhir pekan di bulan Februari 2020, saya bersua dengan dua sahabat karib yang dipertemukan oleh Kompasiana. Dua orang yang berhasil menembus tembok eksklusivitas saya dalam berteman.
Ya, saya memang tidak mudah dekat dengan orang apalagi jika hanya bertemu melalui narablog. Itulah salah satu alasan mengapa saya jarang berinteraksi dengan Kompasianer lainnya.
Tapi tidak dengan keduanya. Entah, alasan apa yang mendasarinya. Kami benar-benar cocok dan klik saat mengobrol. Bermula dari sebuah komunitas blogger lokal yang kini kami semua sudah tak mengikutinya lagi, kami bisa saja bertemu tanpa agenda khusus. Spontan dan dengan acara sederhana namun kaya makna.
Di suatu akhir pekan itu, saya tiba-tiba dikirimi pesan oleh Mbak Lilik.
"Jeng, Yu Desol ingin kumpul. Bisakah bertemu di alun-alun?"
Wah, alun-alun? Harus keluar parkir. Ah berat di ongkos.
Mbak Lilik tahu kegundahan hati saya karena K-reward belum cair.
"Tenang, Jeng. Kita sudah siap pencacah lidah dan penusuk bola mata kalau nanti parkirnya ditarik 50 ribu."
Jadi, saya bisa tenang. Di sebuah episenter Alun-Alun Kota Malang, kami pun mendapatkan kedudukan yang lumayan. Berbincang sebentar mengenai apa yang menjadi kegiatan kami beberapa hari terakhir, rasanya sudah seabad kami tak bertemu.
Ya, sejak Mbak Lilik operasi dan masih berusaha untuk pulih kembali, kami sudah tak bertemu lagi. Alhamdulillah, saya melihat Mbak Lilik sudah sehat dan bisa lincah ke sana ke mari seperti sedia kala. Begitu pula dengan Mbak Desol yang putrinya sudah mulai besar dan bisa ditinggalkan. Sedangkan saya, ya begini-begini saja.
Obrolan pun mengalir ngalor ngidul. Tenang, kami tidak sedang melakukan gibahan. Kami malah mempergunjingkan diri kami sendiri yang entah mengapa mengalami encok pegal linu dalam kegiatan menulis akhir-akhir ini. Mbak Lilik berkata, sekarang setiap 30 menit ia menjeda kegiatan menulisnya untuk berdiri, mengambil cemilan buah, atau minum air putih.
Kalau belajar menulis cerpen ya sama mereka |
Ya, kegiatan itu harus dilakukan agar tidak mengalami nyeri sendi. Hal itu diamini oleh Mbak Desol yang kini aktif mencari video senam yoga untuk menyelingi kegiatan menulis. Semua bermuara agar kesehatan tubuh kami terjaga. Memang, menulis adalah kegiatan yang menyenangkan. Namun kalau terus-terusan dan tanpa ampun, ya jadinya encok.
Kalau saya sendiri, apa yang saya lakukan agar bisa tetap konsisten menulis tapi tak mengalami encok pegal linu? Pastinya berjoget ala JKT48 saya lakukan.
Menyanyi menari sebebasnya.....
Di tengah canda tawa kami, tiba-tiba saja kami lapar. Dan tanpa dikomando lagi, kami mencari bakso yang paling enak. Sebenarnya, bakso kecambah di Universitas Negeri Malang menjadi target utama. Namun, karena kami sedang malas jalan jauh dan sepertinya bakso tersebut sudah habis, maka bakso di Food Court Mitra I Mall jadi pelampiasan.
Pentol ini bagai bola mata yang dicampur lidah para lelaki hidung belang dan ditumis dengan darah para pendusta yang mendidih.
Aduh, mulai kan. Saya mulai ngeri membayangkan makanan enak di hadapan saya menjadi ajang personifikasi fiksi. Ah sudahlah, saus kecap dan sambal tomat yang masih terlihat nyata terus saya tuangkan ke bakso saya. Lemak menumpuk di tubuh? Ah, biaralah.
Kami terus mengobrol dan masih melepas kangen yang begitu lama kami simpan. Sudah berapa bulan ya kami tidak bersua dan memiliki kehidupan masing-masing?
Selepas itu, kami kembali ke alun-alun dan berbincang mengenai kehidupan yang semestinya dibikin simpel saja. Bertemu dengan saudara, keluarga, ataupun teman. Tanpa ada udang di balik bakwan yang sebenarnya bisa merusak hubungan.
Makan bakso dulu gaes... |
Iya saya sepakat. Kami juga sepakat tentang hal-hal sederhana yang membuat bahagia. Berbagi, bercerita, dan tentunya menulis. Semua berujung kepada kepuasan diri tanpa embel-embel terkesan wah atau bagaimana. Lah, kok jadi serius sekali.
Bukan apa-apa sih, sudah banyak kejadian yang membuat seseorang berubah dan meninggalkan esensi kehidupan. Ya, itulah ujian kehidupan. Sebisa mungkin, dengan keadaan apapun, bersyukur dan tetap berbuat baik sesuai kemampuan kita adalah kunci. Dibuat senyaman mungkin tanpa ada banyak drama.
Senyaman seorang anak kecil yang dengan asyiknya bermain tanpa menggunakan baju. Kami tiba-tiba saja kembali tertawa melihat polah anak itu yang dibiarkan main dengan puas sedangkan orang tuanya sibuk bercengkrama. Ya, ada saatnya orang tua melepas kepergian anaknya di suatu masa. Entah menikah ataupun bekerja.
Suasana melow akibat senja yang mulai datang membuat kami seakan larut dalam obrolan. Sebagai yang paling junior, saya banyak belajar dari kedua ratu fiksi itu yang mempersonifikasikan cerita nyata ke dalam fiksi yang mereka tulis.
Oh ya, senja di Alun-Alun Malang itu cantik lho. Saya baru sadar dan bahkan bisa dibilang lebih cantik dari tempat manapun. Kalau masih ada waktu lain, mungkin senja-senja berikutnya akan saya habiskan di sini. Sayang, saya harus kembali ke perbatasan Yogyakarta-Magelang untuk mencari sesuap nasi lagi keesokan harinya.
"Jeng, ronde kedua, yuk. Yang anget-anget enak ini," Mbak Desol pun kembali berulah.
Ya sudah saya manut. Daripada tubuh saya nanti dicincang menjadi enam bagian dan ditemukan di Pasar Besar Kota Malang. Akhirnya, kami pun sepakat menuju Pulosari. Daerah wisata kuliner yang terkenal akan jagung bakarnya.
Lucunya, kami yang membicarakan drama kehidupan mendadak mengalami drama sungguhan. Bermula dari saya dan Mbak Desol yang tak membawa helm dua buah, Mbak Lilik pun akhirnya memesan ojek online. Kami takut kena razia polisi dan berurusan panjang di Polsek Klojen.
Nah, saat saya dan Mbak Desol sudah sampai di TKP eh Mbak Lilik belum datang juga.
"Jeng, ini Yu Lik nyantol di mana ya?" Mbak Desol mulai panik.
Ternyata, Mbak Lilik salah turun. Harusnya turun di Giant Pulosari malah turun di Giant MOG. Walah, jauhnya. Saat saya jemput, Mbak Lilik beralasan kalau driver-nya kepo banget. Mbak Lilik jadi risih. Dan ia pun memutuskan turun saja di sana. Kami berdua pun cekikikan. Memang drama ojol tiada habisnya.
Di Pulosari ini, kami hanya sebentar. Dua ratu fiksi ini terus berfantasi mencincang tubuh orang menjadi beberapa bagian.
"Jeng, kalau motong roti nanggung. Pisaumu kurang tajam. Harusnya dipotong tak karuan seperti memotong tangan para pria yang penuh kemunafikan atau lidah para wanita yang penuh kedengkian".
Aduh ampun, ngeri. Saya lihat jagung bakar serut yang dipesan Mbak Desol sudah acak-acakan. Sementara, roti bakar yang ada di depan Mbak Lilik terkoyak hingga tercerai berai bagian dalamnnya. Layaknya usus para pemfitnah yang harus diurai karena lidah tajam mereka.
Makan jagung bakar dan roti bakar di Pulosari |
Eh, saya baru menyadari kalau potongan roti bakar saya benar-benar rapi. Terpotong enam bagian dengan simetri lipat sedemikian rupa. Apakah ini mencirikan tulisan kami? Entahlah. Yang jelas, saya hanya bilang "dadah" alias "bye" kalau disuruh menulis fiksi. Awalnya di mana, ujungnya di mana.
Dan akhirnya, kisah irisan fakta dan fiksi ini harus diakhiri. Saya tidak tahu kapan lagi bisa bertemu mereka dan entah apa lagi yang kami lakukan. Yang pasti, saya tak jadi lari tapi malah tersenyum dalam diri.
Berkat Kompasiana, saya mengerti arti dari sebuah pertemanan. Yang tidak aneh-aneh dan sederhana tapi tetap menemukan makna apa itu sharing and connecting sesungguhnya. Sesuai tagline lama dari Kompasiana. Sebuah hal yang sayangnya jarang saya temukan akhir-akhir ini.
Salam.
***
Berteman itu menyenangkan ya mas.. saya juga berharap suatu waktu nanti bisa bertemu dengan mas Ikrom dan kawan kawan lainnya. Sekedar berhaha hihi dan bercanda.
ReplyDeleteMungkin itu juga alasan saya membuat forum agar kedekatan itu bukan sebatas antara blog dengan blog saja.
Walau saya tidak tahu kapan bisa bertemu dengan kawan kawan blogger lainnya.. hahaha.. soale belum pernah ketemu satu pun...
Lagi juga, saya takut ditolak mas Ikrom kalau ngajak ketemuan.. wkwkwkwk
tulisan yang bagus mas, menggambarkan sekali pertemanan yang terjadi..
iya Pak memang menyenangkan meski sepele dan sederhana ya Pak
Deletewah ya pasti mau lah banyak banget yang pingin saya diskusikan sama Pak Anton hehe
sayang ya bogor jauh.....
cuma memang saya itu kalau engga klik susah temenannya tapi kalau udah klik ya wis sampe cekakak cekikik seharian bisa hahahaha
bwahahhahah kocak banget yakin tiyep moco tulisan sing ada quotenya kui loh
ReplyDeletebtw aku arep tiru tiru mba desi dan mba lilik tiap beberapa menit sekali nulis taksisipin senam ama nyemil buah kali ya biar ga linu persendian
tapi aku kok ngakak nek bayangin dirimu andai beneran nggo diapers njuk ntar nyanyi lagunya jkt48 aku jadi pengen dance jkt48 hahhahahha
btw aku pengen roti sing diiris rapi dan simetris...bercengkrama di taman yang cantik dan terbebas dari drama pertemanan yang hobi ghibah di belakang n hobine nyindir #eh hahhahahhahaha
tapi aku mah ga percoyo sampean dadah bye bye ama fiksi...fiksine peyan apik tenan loh suweerrr hihi...modelan koyo wes tertata sering dimuat di koran ngono loh..aku taksinau marang mba desi mba lili n mas ikrom lah ben tambah pinter merangkai kata wkwkkwkwk
itu quote kutipan cerpen dua mbak mbak itu
Deleteiya mbak biar engga sakit ya dan karena memang faktor U butuh olahraga juga ahahaha
hahahah aku mung iso iku gae olahraga
hahahahah iki gak nyindir lo mbak ancen kan ngunu
hahahahaha menurutku isi welek dan sering direvisi karo mbak mbak iku
coba baca ae mbak tulisane mereka ndek Kompasiana
apik apik lo
Salamat pooo
ReplyDeleteSeru banget ya manung meet up - meet up
walang anuman po....
DeleteNenek mau ikuuuutttt ... he he ...
ReplyDeletemari nek.....
DeleteHaii mas Ikrom. Senang sekali yaa bisa berjumpa dengan teman teman blog ya. Aku sih memmang punya teman dari blog, namun hanya baru sebatas chat saja. Itu pun lebih sering di grup, dibanding chat pribadi. Aku belum pernah bertemu dengan teman teman di blog secara langung heehee
ReplyDeleteKemudian, ternyata agenda yg mas Ikrom ceritakan adalah setahun yang lalu yaaa? sebab dituliskan itu sebelum pandemi merebak.
sekali kali ketemu mas
Deletesaya sepetinya kenal dengan banyak blogger padang
di Kompasiana ada perkumpulan namanya Kompal
kompak banget lo mereka aku sering liat acaranya seru seru
mungkin bisa gabung mas...
iya ini sebelum corona kurang sebulan hahaha
seneng banget bisa ketemu langsung ya, aku ikut seneng
ReplyDeletebaidewei roti bakar pulosarinya menggodaku, lama banget aku ga mampir ke kawasan pujaseranya pulosari
rindu banget sama kawasan ini, astagahh. bingung nih dari kapan lalu pengen ke malang
iya mbak sekarang sepi pulosarinya
Deletepadahal enak lo roti bakar di sini